Ayah saya pecinta Pohon Natal. Di masa kecil saya, tahun 70-80-an, menjelang akhir November, ayah saya sudah sibuk berburu pohon cemara asli ke desa. Dan, pada tanggal pertama bulan Desember, pohon cemara sudah berubah Pohon Natal di rumah kami.Â
Pohon Natal di rumah kami berdaun rimbun, tingginya dua meter. Warnanya hijau paten. Kalau ayah saya hidup zaman sekarang, mungkin beliau akan diprotes oleh pecinta alam karena tiap tahun langganan menebang pohon cemara untuk dijadikan Pohon Natal kesukaannya.
Kami tinggal di Sukabumi, kota kecil yang sejuk di Jawa Barat. Di sini pohon cemara tumbuh melimpah. Seingat saya, gereja dan rumah kawan-kawan saya yang merayakan Natal, juga memasang Pohon Natal dari pohon cemara asli.Â
Cemara tumbuh subur di daerah bertemperatur sejuk. Berasal dari keluarga pinus, daun-daun cemara serupa batang korek api yang bergerumbul. Gerumbul-gerumbul itu membentuk ranting yang muncul dari batang pohon. Ranting-ranting tumbuh rapi sejajar di sekeliling batang, berjarak sama dengan ranting di bawah dan di atasnya. Di pucuk pohon, segerumbul daun membentuk puncak.
Tiap Desember rumah akrab dengan aroma cemara. Tiap kali melewati Pohon Natal, saya suka memetik sedikit daun-batangnya di tangan, dan meremasnya, lantas menaruhnya di depan hidung saya, menghirup wanginya yang tajam- segar, lama-lama. Aduh, suka sekali.Â
Cemara takkan layu selama ia menjadi Pohon Natal, sepanjang Desember. Sungguh pohon yang tabah dan indah.Â
Sebelum Pohon Natal berdiri, ayah saya sudah menyiapkan drum besi yang dipotong sekitar 30 cm. Batang pohon ditempatkan pada bagian tengah drum, lalu batu-batu ditempatkan sekeliling agar pohon dapat berdiri tegak. Di atas batu-batu ditutup dengan kado-kado kosong berpita berwarna-warni. Bagian luar drum dibersihkan dan dibungkus dengan kertas mengkilat warna hijau atau merah, keliling.
Pohon Natal sudah berdiri. Sekarang saatnya mendekor. Segala ornamen sudah dikeluarkan, dilap, diangin-angin. Dulu, ornamen-ornamen bergambar peristiwa Natal --gambar orang Majus, bintang, bayi Yesus dan Maria, dll- Â terbuat dari gelas alumunium tipis yang mudah pecah. Mereka ditempatkan di kotak-kotak dan disimpan khusus, tidak boleh dilempar apalagi dibanting. Kalau itu dilakukan, maka sewaktu kotak dibuka mereka sudah pecah berantakan.Â
Ayah dan kakak dan abang saya menggantungkan ornamen-ornamen ke seluruh tubuh Pohon Natal kecuali bagian belakang yang merapat ke dinding. Setelah itu selendang rumbai-rumbai terbuat dari kertas mengkilat warna-warni. Hijau, merah, perak, kuning, biru. Mereka dipasang lurus dari atas ke bawah atau melingkar bertumpu ranting-ranting. Â
Setelah itu lampu-lampu ditempatkan merata --cahaya mereka pun warna-warni- agar ketika disambungkankan ke aliran listrik, Pohon Natal akan hidup gemerlapan.Â
Dan yang terakhir ..., salju. Ayah saya suka salju-saljuan di Pohon Natalnya.Â
Salju-saljuan terbuat dari cairan sabun dicampur garam. Cairan dikocok beberapa lama sampai membentuk busa, dan tegang. Busa-busa tegang itu ditempelkan di antara daun cemara. Warna putihnya dramatis bersanding dengan hijau pohon. Garam berfungsi agar busa itu tahan lama. Namun, busa-busa cepat menguap dan hilang dalam sehari. Setelah itu ayah akan memerintahkan asisten-asistennya -abang-abang saya- untuk kembali mengocok air sabun.Â
Mengocok sabun bukan pekerjaan ringan. Minimal dikocok selama sepuluh menit dengan tenaga yang kuat dan konsisten. Saya tahu abang-abang saya mengeluhkan tugas itu. Tapi mereka tidak mungkin menghindar dari agenda tahunan. Berada di sekitar Pohon Natal dan memperhatikan kesejahteraannya. Saya, karena masih terlalu kecil, tidak kebagian tanggung jawab itu semua.
Sekarang Pohon Natal benar-benar sempurna. Saat malam tiba, kami sengaja mematikan lampu ruang keluarga, dan Pohon Natal itu akan menghibur kami dengan keindahannya. Desember takkan menjadi Natal tanpa Pohon Natal ayah. Â
Di balik semua itu, menjelang bulan akhir tahun itu, kami anak-anak ayah, seperti makan buah simalakama. Natal identik dengan libur, makan enak, segala serba baru. Tetapi Natal juga beban karena harus memastikan buat Pohon Natal kesukaan ayah kami berjaya sebulan penuh.Â
Tahun-tahun berlalu. Saya tidak ingat kapan ayah saya menghentikan kebiasaannya berburu pohon cemara asli. Dia membeli pohon cemara plastik menggantikan Pohon Natalnya.Â
Dulu, Pohon Natal palsu ini satu per satu rantingnya dapat dilepas, ketika akan dimasukkan lagi ke dalam boksnya. Pekerjaan memasang dan menghias Pohon Natal menjadi lebih ringan. Salju-saljuan tidak ada lagi, diganti dengan kapas, yang dipasang sekali untuk selamanya. Namun, saya harus kehilangan momen mencium aroma daun cemara yang telah mengisi memori saya selama iniÂ
Setelah ayah kami meninggal tahun 1990, kami membeli Pohon Natal palsu yang lebih kecil. Di antara kami, tidak ada yang terlalu bersemangat menghias Pohon Natal. Ibu saya tidak mempermasalahkan ada atau tidak ada Pohon Natal di rumah. Ia lebih mempedulikan ada makanan di meja makan kami selama Natal.
Sampai kami berhenti memasang Pohon Natal di bulan Desember setelah kami masing-masing keluar dari rumah. Ibu saya memasang Pohon Natal seadanya. Lama setelah itu tradisi memasang Pohon Natal menghilang, sampai lahir keponakan-keponakan yang kecil. Pohon Natal dipasang untuk memberi keceriaan di rumah saat Natal tiba.Â
Sampai detik ini, tiap Desember saya akan ingat Pohon Natal ayah yang luar biasa itu. Saya suka melihat pohon-pohon Natal plastik masa kini namun tanpa ikatan emosi. Aroma cemara selalu saya bayangkan di bulan Desember.Â
Tiap Desember saya mengenang lagi semangat ayah kami menghadirkan Pohon Natal asli di rumah. Ingatan harumnya menghangatkan hati. Â Â Â Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H