Salju-saljuan terbuat dari cairan sabun dicampur garam. Cairan dikocok beberapa lama sampai membentuk busa, dan tegang. Busa-busa tegang itu ditempelkan di antara daun cemara. Warna putihnya dramatis bersanding dengan hijau pohon. Garam berfungsi agar busa itu tahan lama. Namun, busa-busa cepat menguap dan hilang dalam sehari. Setelah itu ayah akan memerintahkan asisten-asistennya -abang-abang saya- untuk kembali mengocok air sabun.Â
Mengocok sabun bukan pekerjaan ringan. Minimal dikocok selama sepuluh menit dengan tenaga yang kuat dan konsisten. Saya tahu abang-abang saya mengeluhkan tugas itu. Tapi mereka tidak mungkin menghindar dari agenda tahunan. Berada di sekitar Pohon Natal dan memperhatikan kesejahteraannya. Saya, karena masih terlalu kecil, tidak kebagian tanggung jawab itu semua.
Sekarang Pohon Natal benar-benar sempurna. Saat malam tiba, kami sengaja mematikan lampu ruang keluarga, dan Pohon Natal itu akan menghibur kami dengan keindahannya. Desember takkan menjadi Natal tanpa Pohon Natal ayah. Â
Di balik semua itu, menjelang bulan akhir tahun itu, kami anak-anak ayah, seperti makan buah simalakama. Natal identik dengan libur, makan enak, segala serba baru. Tetapi Natal juga beban karena harus memastikan buat Pohon Natal kesukaan ayah kami berjaya sebulan penuh.Â
Tahun-tahun berlalu. Saya tidak ingat kapan ayah saya menghentikan kebiasaannya berburu pohon cemara asli. Dia membeli pohon cemara plastik menggantikan Pohon Natalnya.Â
Dulu, Pohon Natal palsu ini satu per satu rantingnya dapat dilepas, ketika akan dimasukkan lagi ke dalam boksnya. Pekerjaan memasang dan menghias Pohon Natal menjadi lebih ringan. Salju-saljuan tidak ada lagi, diganti dengan kapas, yang dipasang sekali untuk selamanya. Namun, saya harus kehilangan momen mencium aroma daun cemara yang telah mengisi memori saya selama iniÂ
Setelah ayah kami meninggal tahun 1990, kami membeli Pohon Natal palsu yang lebih kecil. Di antara kami, tidak ada yang terlalu bersemangat menghias Pohon Natal. Ibu saya tidak mempermasalahkan ada atau tidak ada Pohon Natal di rumah. Ia lebih mempedulikan ada makanan di meja makan kami selama Natal.
Sampai kami berhenti memasang Pohon Natal di bulan Desember setelah kami masing-masing keluar dari rumah. Ibu saya memasang Pohon Natal seadanya. Lama setelah itu tradisi memasang Pohon Natal menghilang, sampai lahir keponakan-keponakan yang kecil. Pohon Natal dipasang untuk memberi keceriaan di rumah saat Natal tiba.Â
Sampai detik ini, tiap Desember saya akan ingat Pohon Natal ayah yang luar biasa itu. Saya suka melihat pohon-pohon Natal plastik masa kini namun tanpa ikatan emosi. Aroma cemara selalu saya bayangkan di bulan Desember.Â
Tiap Desember saya mengenang lagi semangat ayah kami menghadirkan Pohon Natal asli di rumah. Ingatan harumnya menghangatkan hati. Â Â Â Â
     Â