Selamat ulang tahun, Astrid. Panjang usia dan cepat dapat jodoh, pesan Rizmah di WhatsApp-ku. Aku tersenyum. Rizmah, sahabat dan kawan seperjuanganku, ketika bekerja puluhan tahun lalu.Â
Mengingatnya, tiba-tiba aku disergap ingatan. Kenangan masa lalu. Aku membuka laci meja di kamarku dan mengeluarkan setumpukan buku harian. Tanpa ragu aku menarik buku yang di atasnya tertulis: 2008.Â
Tahun 2008. Tahun pertamaku bekerja di lembaga pendidikan asing, bersama Rizmah. Kami menjadi dekat karena sama-sama belum tahu apa-apa. Ia bekerja sebulan sebelum aku. Kami sama-sama belajar menyelesaikan tugas-tugas harian.Â
Sembarang aku membuka halaman. Di sana tertulis 20 Juni 2008. Tiga hari sebelum ulang tahunku. Dan aku merayakannya di Gorontalo bersama Pak Mike, bos Amerika kami.Â
Untuk menyegarkan ingatan, aku mulai membaca.Â
* Â
Tiap kali bertugas ke daerah, kepalaku refleks berencana untuk sekaligus kulineran. Ya, aku tidak mau rugi. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, istilahnya. Lagipula lidahku sudah terbiasa kuajak berpetualang mencicipi makanan baru dalam rangka menambah koleksi pengetahuannya tentang rasa. Kali ini aku bertugas ke Majene dan Gorontalo. Dengan Pak Mike.Â
Awal minggu depan kami sudah berangkat. Nelly, supervisorku, sudah mengingatkan aku soal Pak Mike yang alergi kacang dan panas. Bos Amerikaku yang satu ini memang banyak pantang makanan. Bisa seharian ia hanya makan keju dalam rangka menetralisir badannya yang sedang alergi.Â
Namun, Pak Mike suka menantang dirinya dengan makanan pedas. Saat rasa pedas sudah memenuhi mulutnya, maka dalam sedetik kulitnya yang putih pucat itu akan memerah serupa kepiting direbus. Tak lama titik-titik air muncul di dahinya. Dia akan tertawa sembari mengusap keringatnya yang bercucuran itu. Dia akan membuka jasnya seperti berkata, petualangan baru dimulai. Â
Pak Mike pun tak tahan panas. Kalau kami rapat di ruang kerjanya di kantor, perlu mengenakan dua lapis baju hangat dan syal tebal penutup leher karena begitu masuk wajah akan disergap rasa dingin dan diri akan membeku dalam waktu lima detik seperti berada di dalam lemari es. Tak salah kalau kami menjulukinya: beruang kutub.Â
Perjalanan kami bermula dari Jakarta, terbang ke Majene di Sulawesi Barat, lalu Gorontalo di ujung utara pulau. Kami akan menghabiskan lima hari kerja dua hari vakansi.Â
Aku sudah mengatur jadwal ketat kami bertemu bupati, kepala-kepala sekolah, dan berkunjung ke beberapa tempat yang akan menerima bantuan tenaga ahli dari lembaga pendidikan kami.Â
Kalau disuruh memilih, aku lebih suka pergi sendiri. Aku mengatur perjalananku dengan gaya koboi. Sementara dengan Pak Mike, aku harus memastikan semua beres, kebutuhannya terjamin dan aku berada di sampingnya tiap saat sebagai penerjemah.Â
Semua nama kontak di kedua tempat sudah kucatat. Jadwal kerja di lapangan, pertemuan dengan orang-orang kunci, berkas  penandatanganan kerjasama, sudah siap. Tiket kami sudah di tangan, penginapan, rental mobil, kontak sopir yang akan menjemput di bandara, uang advance, lengkap di tanganku. Meski Pak Mike hanya tinggal duduk manis, dia seorang perfeksionis dan mengingat agenda secara detail. Dia ingin kerja yang teratur.Â
Pagi-pagi buta kami bertemu di bandara. Setelah cekin, Pak Mike mengajakku minum kopi untuk mengusir situasi malas. Waktu itulah aku ingat bahwa aku belum mencari tahu soal makanan yang ingin kucicip dan restoran yang ingin kusambangi, nanti di Majene. Ah, semoga dewi keberuntungan berbaik hati mengaturnya, pikirku.
Dari Jakarta kami terbang ke Makassar. Aku tertawa geli melihat tubuh Pak Mike yang tampak sesak di kursi pesawat yang kelihatan terlalu kecil untuknya.Â
Dua jam berikutnya kami tiba di bandara, dijemput oleh kendaraan sewaan yang akan mengantar kami ke Majene. Kami langsung cus jalan karena ini perjalanan enam jam.Â
Pukul 12, perutku lapar. Aku meminta kami berhenti untuk turun makan. Sopir berhenti di kedai cepat saji KFC agar tidak terlalu lama menunggu. Aku menghabiskan dua ayam goreng dan seonggok nasi sementara Pak Mike minum kopi, merokok dan mengoceh.Â
Pukul 3 sore kami tiba di Majene. Pak Mike ingin kami berkeliling kota sebelum diantar ke hotel. Waktu berlalu cepat. Tiba-tiba sudah pukul 6. Kami akan dijemput untuk makan malam di rumah Bupati.
Pak Mike mengenakan baju batik yang tampak serasi dengan kulit putihnya. Wajahnya cerah. Senyumnya lebar. Aku merasa lega. Dia belum makan sejak pagi dan masih bisa tersenyum, kupikir.Â
Malam itu kami disuguhi beragam hidangan ikan. Sup ikan, ikan bakar, sayuran dan beragam sambal. Pak Bupati menjelaskan nama-nama ikan.Â
"Semua ikan ini segar, baru dipanen dari laut. Silakan menikmati!" ujar Pak Bupati.Â
Aku takjub melihat Pak Mike berhasil menghabiskan semangkuk sup ikan dan dua ekor ikan bakar ukuran besar. Mungkin untuk maksud ini dia melewatkan sarapan dan makan siang, pikirku sambil mengetuk-ngetuk daguku dengan jari telunjuk. Tentu aku senang melihat semangat Pak Mike. Sedikitnya, aku tidak akan mendengar omelan atau keluhannya nanti.Â
Malam baik. Selesai makan kami masih mengobrol di beranda belakang rumah dinas Bupati yang indah  menghadap laut lepas.  Â
Keesokan hari, agenda padat menunggu. Kami bertemu beberapa kepala sekolah, pejabat dinas pendidikan, berkunjung ke sekolah dan calon rumah yang akan ditinggali para tenaga ahli yang akan dikirim ke kota ini. Hari yang produktif.Â
Pekerjaan selesai pukul 5 sore. Diantar ke hotel, Pak Mike memintaku untuk tidak mengganggunya sampai nanti malam kami dijemput makan malam. Aku mau tidur, kata Pak Mike.Â
Sore itu, memanfaatkan waktu luang yang tak lama itu, aku berjalan-jalan di sekitar hotel. Pantai terlihat di ujung mata tetapi akan menghabiskan waktu kalau pergi ke sana. Aku berjalan santai dan melihat penjual-penjual ikan bakar di pinggir jalan. Ikan apa itu, pikirku ingin tahu.
Aku berjalan mendekat ke satu kedai. Seorang laki-laki muda sedang membolak-balok ikan-ikan langsing di atas pembakaran besi. Aku berdiri dalam jarak dua meter, mengawasinya bekerja. Â Â
"Ikan terbang, Kak. Ikan terbang tuing-tuing," kata laki-laki itu dengan senyum di wajah, tanpa kutanya.Â
"Hah, ikan terbang?" tanyaku terkejut. Kepalaku berputar-putar, mengingat-ingat sesuatu yang berkaitan dengan ikan terbang. Hmm...Â
"Logo stasiun tivi, Kak. Hahaha...," tebak laki-laki penjual itu tertawa, seakan membaca pikiranku.Â
"Ah, ya. Indosiar. Memang ikan terbang itu betulan ada, ya?" tanyaku tak percaya.
"Ya, ini buktinya. Kakak duduklah, mau cicip berapa ekor? Lima, sepuluh? Rugi melewatkan ikan tuing-tuing bakar!" tembak penjual itu.Â
Menurut, aku duduk menunggu dibakarkan sepuluh ekor ikan terbang tuing-tuing. Benar, rasanya enak gurih. Dagingnya putih dan berteksktur lembut. Pertama, kau mengupas kulit ikan yang hitam kena bakaran, baru kau makan daging ikannya yang segar. Dicampur sambal kacang, luar biasa rasanya.Â
Ini belum masuk daftar kulinerku, batinku. Sambil makan, lelaki penjual itu menceritakan peristiwa Adam Air yang meledak di udara tahun 2007, dan puing-puingnya diperkirakan jatuh ke perairan Majene. Sampai sekarang belum ketemu puing-puingnya, dan di situ tempatnya, kata penjual itu sambil menunjuk lautan di ujung sana. Aku mengangguk-angguk.Â
Malam itu kami kembali dijamu dengan menu serba ikan. Dua hari di sini berat badan saya bertambah lima kilo, kata Pak Mike kepada tuan kami. Kami tertawa.Â
Pagi-pagi sekali keesokan harinya, mobil sewaan menjemput kami ke hotel untuk ke Makassar. Dari sana kami akan terbang ke Gorontalo.Â
Wajah Pak Mike merah muda. Sepanjang jalan ia meributkan soal ikan-ikan yang dia makan. Aku menjawabnya dengan pengalaman makan ikan bakar tuing-tuing di pinggir jalan.Â
Pak Mike memandangku, berkata, "Kamu membiarkan aku melewatkan ikan khas Sulawesi Barat? I don't believe this, Astrid."
"Lho, Pak Mike bilang, saya tidak mau diganggu oleh apa pun," bantahku tertawa.
Di bandara Makassar, kami tak sempat makan siang. Di pesawat, Pak Mike melewatkan makan dan ingin tidur saja. Aku sekarang tahu modusnya. Dia menyiapkan lambungnya kosong untuk jamuan makan malam nanti.Â
Di bandara Gorontalo, kami dijemput kendaraan dinas seorang pejabat dewan daerah. Kami diajak bertemu sore itu juga karena nanti malam dia akan terbang ke Jakarta. Dia tak ada waktu lain.Â
Kami tiba di satu restoran bagus. Pak Mike minta dipesankan kopi.Â
Kami berbicara-bicara sementara kopi disajikan. Tak lama petugas restoran menghidangkan mangkuk besar di tengah meja dan mangkuk-mangkuk kecil di depan meja kami.Â
"Silakan dicicip, Bu Astrid, Pak Mike," kata pejabat itu, mempersilakan.Â
Petugas restoran membantu menyendokkan sup ke mangkuk-mangkuk kami. Aku menjenguk isi mangkuk. Jagung pipil, suwiran ikan sepertinya, kelapa parut, daun kemangi, daun bawang, tomat. Ditaruh terpisah di atas meja, sambal dan jeruk nipis.Â
"Binte bilihuta, Bu Astrid, silakan," kata Pak Pejabat menjelaskan, sebelum aku bertanya.Â
"Hah?" Aku kaget mendengar jawaban itu, berseru, "Itu judul lagu, Pak."Â
Pejabat itu tertawa kecil, "Benar. Itu judul lagu yang menceritakan makanan khas Gorontalo yang namanya binte biluhuta. Terdiri dari jagung manis pipil dengan suwiran ikan tongkol atau cakalang, dimasak dengan beragam bumbu. Silakan, ini hidangan favorit warga di kala santai."Â
"Kalau saya tidak ke Gorontalo, saya tidak pernah tahu bahwa Binte Biluhuta itu nama makanan," kataku.Â
Pak Mike memandangku dengan wajah ingin tahu. Aku menceritakan singkat apa yang barusan kami percakapkan.Â
Pak Mike mengangkat alisnya, "Tak perlu heran, bukan? Negerimu yang terdiri dari ribuan pulau dengan ratusan etnik, risikonya, ratusan makanan khas daerah yang mungkin tidak akan selesai kita cicipi selama hidup," ujar Pak Mike tertawa.Â
Aku menikmati hidangan Binte Biluhuta dengan rasa takjub yang tak habis-habisnya.Â
*
Tanggal 23 Juni 2008. Empat belas tahun lalu aku mencatat di buku harianku: Di hari ulang tahunku yang ke-30, aku baru tahu bahwa Binte Bilihuta itu nama makanan Gorontalo sementara aku sudah menyanyikannya berulang kali tanpa tahu artinya.Â
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H