Thiru menunjuk tempat Sekolah Menengah Kebangsaan St. Francis yang didirikan tahun 1880. Aku menawari Thiru bergambar dengan latar belakang sekolah itu, tetapi ia menolak. Aku dan keluargaku jarang berfoto, ujarnya. Mereka tak ada foto keluarga. Koleksi foto-foto hanyalah pasfoto setengah badan tanpa senyum untuk mengurus kartu identitas, rapor sekolah, sertifikat, ijazah, dan surat-surat serupa. Â
Kami bergegas turun karena hujan gerimis. Thiru berhenti di depan pengemis perempuan tua berwajah India, memberinya koin sepuluh sen. Setiap kali melihat perempuan tua terlantar di mana pun, aku ingat Ibu, katanya. Ingatan Thiru tentang ibunya mengesankanku  meski seluruh hidup mereka diliputi kepahitan. Sementara aku tak punya satu cerita pun yang ingin kukatakan tentang Ibu. Bahkan kematian Ibu tak jelas dalam pikiranku. Manakah yang lebih menyenangkan, hidup menderita tetapi bersama orangtua yang mencintai sepenuh hati atau hidup tak berkekurangan tetapi tanpa kehadiran orangtua? Pertanyaan yang aneh, kupikir, lalu segera kutepis. Â
"Naftali, apa kamu ini? Melamun?" tanyanya.
Aku tersadar. Thiru mengulangi pertanyaannya. Mendengar kata makan, seketika perutku menjadi dingin dan kosong. Lapar. Sarapanku tadi pagi adalah telur rebus yang dijebloskan Thiru ke mulutku.Â
Kami tiba di satu jalan dan Thiru seperti mencari-cari sesuatu. Ia berkata ia pernah diajak ayahnya makan di restoran itu. Ia mengamati jalan, memperhatikan nama toko, mengingat tikungan, melihat ke kiri-kanan, berkomat-kamit, hingga pada satu resto bertajuk South Indian Cuisine, air mukanya berubah gembira, "Nah, ini restoran yang kucari!"Â
"Oh, please, Thiru. Jangan lagi. Kita sudah makan seperti itu, kenapa ini lagi? Aku tidak bisa makan makanan ini!"
"Aku jarang ke Melaka, Sayang. Apa salahnya? Dulu keluarga kami pernah sekali makan di sini," katanya bersemangat.
Thiru memasuki restoran favorit masa kecilnya. Seorang laki-laki berkulit hitam berpipi gembil berambut ikal tersenyum ramah, mempersilakan kami duduk. Setelah itu ia melebarkan dua hamparan daun pisang muda hijau segar di meja kami. Lalu ia kembali dan menaruh nasi secukupnya, menuang tiga macam sayur: tumis tauge-cabai hijau-tahu dengan santan encer, labu kuning berbumbu, labu siam jagung berbumbu kental. Dua yang terakhir berwajah seperti kolak. Lalu si Gembil bertanya: mutton, ayam, ikan? Thiru menyebut mutton. Aku tak menjawab, memandang Thiru, dan tanpa bertanya menjawab untukku: ayam untuknya. Pegawai itu mengangguk dan berlalu.Â
"Nasi dan sayuran itu boleh kau makan sebanyak yang kau mau," kata Thiru.Â
Hatiku hancur memandang wajah ketiga sayuran buruk itu. Sayuran itu seperti dikocok menjadi satu lalu diberi bumbu. Berlepotan, sangat amat tak menarik. Bagaimana orang bisa tega makan seperti ini? Mutton dan ayam tiba dalam mangkuk baja hitam yang gemuk. Thiru menarik mangkuknya. Aku melihat potongan daging ayam bertumpukan di dalam mangkuk. Bumbunya merah lunyai. Aku menghibur diri, siapa tahu rasa balado. Thiru mengunyah dengan anggun seperti biasa dan matanya mendelik melihatku belum juga makan. Tangan dan matanya sibuk bergerak seolah-olah ada puluhan jenis makanan di depannya.
Aku mencuci tangan. Aku merancam tumis tauge cabai hijau dengan nasi, lalu menunggu rasa di mulutku. Gurih dan asin. Lumayan. Aku mengambil sejumput ayam, memadunya dengan nasi, dan kecewa. Tidak pedas, tidak manis, tidak asin. Tidak enak. Ketika lidahku merasa-rasa, si Gembil muncul dan menaruh dua mangkuk berisi kuah. Thiru langsung meneguknya. Si Gembil kembali dengan dua mangkuk tabung berisi cairan seperti santan pecah, Thiru langsung menghirupnya tandas, berkata, sup yogurt.Â