Sesungguhnya kota ini yang sekitar 30 menit berkendara dari Bandara Silangit atau 6 jam dari Medan, punya banyak cerita sukses di masa lalu.
Setelah Perang Batak (1878-1907), yang ditandai mangkatnya Sisingamangaraja XII di medan perang, Belanda menjadikan Balige sebagai Onderafdeling (kawedanan dipimpin wedana orang Belanda yang disebut Kontroleur) Toba, di bawah Afdeling (kabupaten) Bataklander.
Secara geopolitik dan geoekonomi, Belanda memandang kota ini sangat strategis hingga menjadikannya markas untuk memobilisasi militer dan logistik ke seluruh Tano Batak.Â
Pada tahun 1917-1920, dibangun jalan raya yang menghubungkan pantai timur dan barat Sumatera bagian utara. Lintasan baru memunculkan perusahaan-perusahaan transportasi darat, salah satunya perusahaan otobus Sibual-buali, yang sangat populer masa itu.
Belum lagi bangunan untuk fasilitas pendidikan (sekolah), kesehatan (rumah sakit), keagamaan (gereja), ekonomi (bank, onan, pabrik), hiburan (bioskop, lapangan sepakbola), politik dan pemerintahan (tangsi militer dan pos pengamatan). Semua ada di Balige dan masing-masing punya cerits sukses sendiri.
Belanda menjadikan kota sebagai pusat pendidikan dengan mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) -pendidikan dasar setara sekolah dasar. Anak-anak kepala nagari di seluruh kawasan danau Toba diamanatkan untuk bersekolah di sana.
Zendeling RMG, badan misionaris Jerman, mendirikan rumah sakit dan sekolah perawat, yang pelayanannya masyhur hingga ke luar pulau dan negeri, sampai tahun 70-an. Zendeling juga membang gereja HKBP pertama di Balige, sekolah tinggi Bible Vrouw di Laguboti, Bank partikelir didirikan sebagai respons atas menggeliatnya ekonomi kota. Kegiatan industri tenun yang massif, yang dimulai tahun 40-an, mengantarkan Balige menjadi pusat tekstil kedua terbesar di Indonesia setelah Majalaya. Industri tekstil ini juga melahirkan konglomerat bumi putera TD Pardede, yang menjadi distributor benang dan cat. Balige tahun 50-an sudah ada bioskop, juga klub-klub sepakbola.Â
Namun, bila berkunjung ke Balige, apalagi bagi mereka yang baru pertama tiba di kota, cukup sulit untuk mendapat informasi kota secara cepat dan mudah. Tidak ada pusat informasi untuk diakses. Tidak ada petunjuk informasi turis, pergi ke lokasi-lokasi wisata, kuliner, hiburan, atau sekadar duduk di toko buku atau perpustakaan. Untuk berkunjung ke satu kilang, pabrik tenun misalnya, untuk membuktikan dulu ada industri tenun di kota ini, tidak ada akses.
Transportasi? Meski ini bagian penting, ada informasi rental kendaraan namun ongkos yang lebih sering ditentukan oleh pemilik rental. Itu cukup untuk menciptakan semacam keraguan dalam memakai jasanya. Pengemudi becak di dalam kota pun tidak cukup dibekali informasi untuk mengantar pengunjung ke tempat-tempat strategis kota.
Teman saya dari Yogya berlibur seminggu ke Toba, dan berkata, kalau tidak ada teman di Toba, dia tidak cukup yakin untuk pergi. Terlalu riskan bila informasi kurang. Apa saja yang bisa dikunjungi selama tiga atau empat hari di kota misalnya, dia tidak bisa dapatkan informasi itu. Padahal, setiap hari setiap saat, pemerintah mengumumkan telah melakukan ini dan itu, untuk tujuan sebanyak mungkin dikunjungi turis.
Dalam kasus saya di atas, kecuali saya tidak ada undangan datang ke desa Lumban Tor, mungkin saya tidak tahu Monumen DI Panjaitan sudah berdiri di sana, meski tempat itu memang belum diresmikan.Â