Hari Minggu kemarin saya dikunjungi seorang kawan. Saya sedang ibadah live streaming GRII Jakarta. Sembari menjaga toko buku kecil tempat saya mangkal hampir tiap hari.Â
Ternyata kawan saya pun sedang ibadah Minggu. Sambil menenteng tas dan hape di tangan, ia mengatur diri, menarik kursi dan duduk di depan saya, meski tidak berhadapan. Di toko buku kecil ada meja di bagian tengah ruanh. Untuk orang duduk membaca.
Kami saling memberitahu, ibadah apa yang kami ikuti. Teman saya ibadah via Zoom, dengan kelompok kecil yang dipimpin seorang tua. Kami beribadah masing-masing meski sekarang tidak fokus lagi, karena sesekali kami berbicara.
Saya dan kawan saya sedang menyiapkan satu pameran yang akan digelar pada Desember, akhir tahun ini. Jadi kami sering jumpa. Membincang apa saja yang perlu dibicarakan.
Menjelang akhir Zoom, saya menguping, kawan saya ditanya seseorang tentang kondisi si A.Â
Kawan saya menjawab bahwa si A tidak jadi bekerja di restoran (kawan saya punya restoran) karena dilarang ayahnya. Dilarang bukan karena tidak boleh bekerja, tapi supaya ayahnya merasa aman si A dalam pengamatan, kapan saja, di rumah. Keluarga berencana membawanya ke satu pelayanan kristen yang khusus melayani mereka dengan odgj (orang dengan gangguan jiwa).
Siapa, si A, tanya saya.
Nanti aku cerita, jawab kawan saya.
Ibadah selesai. Kawan saya membuat kopi untuk dirinya (toko buku saya ada di dalam satu hotel milik kawan saya yang lain, yang juga kawan dari kawan yang sedang bersama saya).
Lantas kawan saya mulai bercerita.
Bahwa dulu, dalam satu masa, dia ada dalam kondisi sangat buruk, skizofrenia tahap sekian. Ia tidak dapat mengendalikan dirinya, berteriak marah tanpa sebab. Di dalam dirinya bergejolak rasa marah, kecewa, putus asa yang dalam, yang dia sendiri tidak dapat kuasai, yang menekan jiwa dan kesadarannya. Suaminya, yang sudah putus asa dengan kondisi istrinya, akan membawanya ke rumah sakit jiwa. Saat itu mereka ingat orang tua, yang memimpin ibadah Zoom tadi. Di rumahnya ada piano. Mereka pun ke sana.