Pagi Selasa 25 Maret, saya ikut Piter Randan Bua, penulis buku “Berkaca pada Kepemimpinan Ahok” (2013), sowan Ir. Basuki Tjahaya Purnama, M.M., atau akrab disapa Ahok, di kantor Wagub Jalan Medan Merdeka Selatan Jakarta Pusat.
Piter tiba subuh di Jakarta dengan kereta malam dari Semarang, langsung ke kantor Wagub, saya menyusul kemudian, baru teman-teman penerbit Visi Bandung. Mereka akan mendiskusikan “The Ahok Way”, buku kedua Ahok yang juga ditulis oleh Piter. Saya berencana akan beraudiensi tentang kegiatan situs yang saya kelola, Kebuncerita.com.
Pukul 7.15 kami naik ke lantai 2. Di lobi, penerima tamu mempersilakan langsung ke ruang tunggu, di dalam ruang kaca.
Lima menit berlalu, dari kaca kami melihat tiga kru satu stasiun televisi, muncul, lalu dua laki-laki dan seorang ibu, tampaknya warga, tak lama beberapa staf berkemeja batik, barulah Ahok. Kedatangannya langsung disambut salah satu laki-laki warga yang menyerahkan map, Ahok menerima dan membaca isinya sambil terus mendengarkan penjelasan, mengeluarkan hape, mencari-cari nama di sana, bertanya secukupnya kepada si lelaki, dan menelepon seseorang.
Kami segera keluar dari ruang kaca.
Saya masih bisa melihat napas Ahok yang turun-naik, mungkin sehabis naik tangga. Ia menelepon, to the point masalah, memberi instruksi. Selesai. Lalu giliran si ibu menyerahkan suratnya, menerangkan masalahnya: AC di tokonya tidak dingin, dia memasang AC sendiri atas biaya sendiri dan bayar listrik sendiri, tetapi diminta dibongkar oleh seseorang, mungkin pengelola. Kedua tangannya ikut berbicara. Ahok mendengarkan sambil sesekali melihat ke si ibu, bertanya secukupnya, memencet satu nomor di selularnya, berbicara di telepon, persis seperti sebelumnya.
“Oke, sudah ya,” kata Ahok kepada mereka yang rupanya pedagang Tanah Abang. Mereka mengangguk ringan, berterimakasih.
Kemudian Ahok bergerak menyalami Piter, bertanya, “Mana, ini semua rombonganmu?”
Kami diminta masuk lagi ke ruang tunggu, sementara kru stasiun tivi lengkap dengan kamera video, menghadang. Ahok tertahan di sana, lima menit wawancara.
Selesai, Ahok berjalan masuk ke ruang tunggu, duduk di kursinya, diikuti dua ajudan berpakaian batik yang duduk di satu ujung yang lain.
“Beginilah pagi-pagi saya, sudah marah-marah ...,” Ahok menjelaskan masalah yang baru diselesaikannya, kemudian berkata kepada rombongan, “Maaf ya, saya tidak bisa berlama-lama. Banyak yang harus diurus.”
Tak menunggu, Piter menyerahkan dummy buku sambil memperkenalkan penerbitnya. Ahok memperhatikan desain buku dan memuji, meminta agar meng-email isi, mungkin dia bisa sempat membaca.
“Pak, menteri sudah tiba,” selak salah satu ajudannya, mengingatkan. Ahok menoleh ke arah ajudannya sejenak.
Pak Ichwan Chahyadi, dari penerbit Visi, yang tampaknya khawatir kehabisan waktu, bersiap, tak sabar menunggu saat tepat untuk menjelaskan tujuan dan rencana terkait buku. Ahok mendengarkan, mengangguk-angguk, sementara kedua ajudan tampak gelisah juga, berdiri.
“Itu masih dummy, Pak Ahok, tapi silakan, itu untuk Pak Ahok saja,” kata Pak Ichwan.
“Kalau begitu tanda tangan penulis dan penerbitnya di buku,” pinta Ahok.
Kemudian acara tanda tangan, kedua ajudan berdiri lebih dekat ke arah rombongan, segera Pak Ichwan berseru, “Foto, foto!” Oke, jepret, jepret! Saya dengan cepat menyerahkan kamera kepada salah satu ajudan, meminta tolong untuk memotret kami, satu dua kali.
Saya berterimakasih kepada si ajudan, sementara Ahok sedang membagikan kartu namanya kepada kami. Sambil memegang kamera, saya pun menyerahkan kartu nama saya kepada Ahok, baru akan berbicara urusan saya, rasanya tak mungkin, karena Ahok dan teman-teman terus tek-tok berbicara cepat, sampai akhirnya seorang ajudan dengan simpatik berkata pelan kepada saya, “Kirim saja surat dan dokumen Mbak ke alamat di kartu nama itu, pasti diperhatikan.” Ah, itu menenangkan. Saya memandang si ajudan, mengangguk, berterimakasih.
Tiba-tiba Ahok sudah berada di luar ruang kaca, diiringi ajudannya, kami pun keluar ruang kaca, sementara Ahok masuk ke pintu kayu lain di ujung sana. Saya melirik ke jam dinding di ruang staf, sepuluh menit kurang dari pukul delapan.
Ahok sudah menghilang dari pandangan. Kami saling lihat, turun melalui lift, tertawa-tawa sampai sakit perut, berbagi bagaimana kami berupaya dengan cara masing-masing, untuk kebagian bicara barang satu dua patah kata.
Saat sarapan bersama, pun kami masih mendiskusikan waktu singkat itu. Seperti mimpi. Tetapi kami senang melihat pelayan rakyat itu, bekerja menunaikan tugasnya. Betul-betul 30 menit yang berharga.
*
Itasiregar, 26 Maret 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H