Mohon tunggu...
Ita Sabilah Putri
Ita Sabilah Putri Mohon Tunggu... Lainnya - get an A please

having a good day

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gender dan Terorisme: Gender dan Teroris Perempuan

24 Desember 2020   09:07 Diperbarui: 24 Desember 2020   09:09 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gender dan Terorisme: Gender dan Teroris Perempuan

Secara nyata Terorisme sesalu dikaitkan dengan adanya bentuk Radikalisme yang terjadi dalam masyaraka. Radikalisme sendiriri didasarkan pada dua faktor. Pertama, sebagai ideologi, metodenya berfokus pada ideologi dan mengabaikan latar belakang sosial. Kedua, sebagai salah satu bentuk kelompok ekstrimis, aktivisme sangat erat kaitannya dengan doktrin kelompok tertentu Sebagai kelompok ekstrim, biasanya berharap bisa menunjukka kebangkitan dari suatu agama tertentu.  

Selanjutnya konsentrasi aksi terorisme yang biasanya menunjukan bagaimana bentuk maskulinitas yang mendasar dan tertaman dalam "sosok" laki laki, saat ini mulai bergeser pemaknaannya. Munculnya aktor baru dalam aksi teror yang melibatkan perempuan dan anak menegaskan bahwa konsep jihad yang diakui dalam kejahatan terorisme tidak hanya wajib bagi umat laki laki saja. Bagi mereka, hal itu juga berlaku bagi wanita muslimah.

 Propaganda atas nama agama dengan mudah menarik perempuan menjadi syuhada aksi teror. Peran perempuan dalam aksi teroris Bukan lagi perantara atau pelindung suami, suami juga teroris. Dalam hal ini dinyatakan ada dua faktor yang melatarbelakangi minat perempuan terhadap aksi teroris. Pertama-tama, wanita setuju dan percaya pada ide Shirafa. Shirafa adalah sistem yang didasarkan pada hukum Islam dan menargetkan berbagai kesenjangan sosial ekonomi. 

Partisipasi perempuan dalam kelompok teroris merupakan wujud kesadaran mereka akan ketidakadilan, ketidaksetaraan dan kekecewaan pada kesenjangan ekonomi. Mereka percaya bahwa semua kecemasan mereka dapat diatasi dengan cara kekerasan, yaitu melalui aksi teroris. Kedua, budaya patriarki yang berakar pada tradisi konservatif yang selalu menjadikan perempuan nomor dua setelah laki-laki. Mereka percaya bahwa kelompok radikal dapat menampung apa yang mereka inginkan dan melibatkan perempuan dalam aksi teror. 

Mereka mengira inilah bentuk "kesetaraan" yang mereka peroleh, sehingga mereka berada pada posisi yang sama dengan Laki -- laki. Dapat dikatan bahwa partisipasi perempuan merupakan salah satu bentuk pengakuan organisasi radikal atas ketimpangan dan ketidakadilan, ketimpangan dan ketidakadilan yang demikian selalu membuat perempuan menjadi lemah. Bagaimana memanfaatkan perempuan sebagai alat perbandingan bagi laki - laki agar berani menjadi partisipan aktif dalam aksi terorisme. Bagaimana perempuan dikendalikan oleh ide - ide radikal. 

Oleh karena itu, terjadi perbandingan teroris. Jika saja perempuan dan anak - anak berani menikah, maka laki-laki harus lebih berani dari pada perempuan dan anak -- anak. Namun, meskipun penekanan lebih pada peran dan partisipasi perempuan dalam kekerasan politik, studi terbaru tentang interaksi gender dan terorisme juga membahas bagaimana "maskulinitas" dapat lebih meningkatkan pemahaman tentang radikalisasi dan partisipasi laki-laki, terutama mempertimbangkan Pria mendominasi di antara pria. teroris. 

Memahami maskulinitas tidak hanya untuk memahami laki-laki, tetapi juga untuk memahami struktur kekuasaan dan adat istiadat gender yang menaklukkan laki-laki dan perempuan. Ekstremis kekerasan seringkali dapat menggunakan konsep kekerasan maskulin sebagai jalan keluar dari ketidakberdayaan, kebencian dan marginalisasi.

Selanjutnya kekhawatiran tentang dukungan dan partisipasi wanita dalamKelompok radikalisme memengaruhi resolusi utama Dewan Keamanan PBB yang mendesak Negara Anggota untuk mempertimbangkan peran wanita dalam terorisme. Pada saat yang sama, Direktorat Eksekutif Anti - Terorisme Perserikatan Bangsa - Bangsa atau UN Counter - Terrorism Executive meminta negara - negara untuk memasukkan perspektif gender ke dalam alat analisis pendorong radikal dan penilaian risiko. 

Dia selanjutnya menyerukan perlunya mengembangkan tindakan penanggulangan ekstremisme yang sensitif gender dan anti-kekerasan, dan mempertimbangkan untuk meningkatkan kekuatan perempuan dalam counter-terrorism (CT) dan countering violent extremism (CVE) dalam tindakanya terhadap hak asasi perempuan. Biasanya, strategi balasan seperti itu memperburuk stereotip gender, dan perempuan yang berpartisipasi dalam program CVE "dipuji karena keterlibatan pribadi mereka daripada institusi politik mereka, karena mereka adalah ibu daripada pemimpin, sehingga menegaskan norma gender saat ini". 

Melalui penggunaan ekspresi gender dan berbagai konsep maskulinitas. Bagaimana ide maskulinitas dan "maskulinitas" mempromosikan, mempromosikan dan mempertahankan profesionalisme, termasuk perasaan terkait hak, supremasi, rasa hormat dan sikap, tidak hanya terus memberikan pemahaman tentang berbagai jalur radikalisasi, tetapi juga mengungkapkan Strategi rekrutmen yang efektif menyesuaikan dengan pria dan wanita yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun