Seorang ayah, sebut namanya Abu Hasan berduka. Bagaimana tidak? Ia kehilangan salah seorang putri yang dicintainya, Najma.
Abu Hasan telah berusia baya. Kecintaannya pada Najma sungguh besar. Najma memang gadis manis yang cerdas, penurut, sholihah. Kesibukannya sehari-hari selain belajar, bekerja, adalah juga merawat Abu Hasan yang mulai kehilangan ketangkasannya mengerjakan segala sesuatu. Konon kabarnya Najma sakit sebentar, lalu ia meninggal tak lama kemudian.
Pedih hati Abu Hasan tak terkira. Terbayang bagaimana si kecil Najma menggelayut, bermain-main, bermanja dan sedikit nakal. Beranjak remaja hingga dewasa ia semakin cerdas dan mampu menjaga diri, pun menunjukkan tanda sebagai anak berbakti yang sholihah. Sungguh, meski saudara-saudara Najma masih hidup, Najma tetaplah bintang berkelip di hati Abu Hasan.
Abu Hasan menangis, berurai air mata. Wajah, senyum, tawa Najma terpatri. Ia tak mampu melukiskan kepedihan seorang lelaki tua yang berharap bersandar pada gadis baik macam Najma yang kelak akan merawatnya hingga ajal menjemput. Nyatanya, ajal lebih dahulu memilih Najma.
Malam hari, Abu Hasan sering menangis. Menangis, menangis, menangis. Ia ingin bersahabat dengan takdir, tetapi hatinya sangat amat bersedih.
Hingga rasanya, lelaki tua itu kehilangan akal sehatnya. Aku sudah tak waras, pikirnya suatu ketika, sebab dari kamar mendiang Najma lamat lelaki tua itu mendengar sedu sedan tangisan.
Tangisan itu berulang setiap malam.
Abu Hasan mulai beranggapan, kematian Najma menumbuhkan kegilaan dalam dirinya. Ia akhirnya berkunjung pada ulama setempat dan berkeluh kesah, betapa gundah gulana hatinya semenjak kematian putri tercinta. Sabar, itu nasehat sang ulama, 5 huruf yang mengandung makna dalam. Abu Hasan pun mulai menceritakan keanehan di rumahnya, terutama suara tangis yang muncul dari kamar almarhumah Najma. Tangis sedu sedan perlahan yang terdengar terutama ketika malam.
Sang alim ulama menyimak baik-baik kisah Abu Hasan.
“Aku khawatir aku gila, ataukah itu isyarat dari putriku bahwa ia bersedih sebab aku tidak mengikhlaskan kepergiannya?”
Sang ulama termenung beberapa saat.
“Wahai Abu Hasan, apakah putrimu giat beribadah?”
“InsyaAllah demikian.”
“Ia rajin sholat malam?”
“InsyaAllah ya…”
“Apakah ia suka membaca qur’an usai sholat malam?”
“Ya. Aku sering memergokinya demikian.”
Semakin berdukalah Abu Hasan mengingat betapa Najma adalah buah hatinya yang demikian sholihah, menghiasi malam-malam rumah mereka dengan munajat kepada Allah SWT. Namun sang ulama, mengucapkan kalimat yang diluar dugaan.
“Tahukah kau, wahai Abu Hasan, bahwa tangis itu bukan pertanda kau gila atau Najma memberikan isyarat? Itulah makhluk gaib yang menangisi kepergian putrimu. Mereka kehilangan bacaan Qur’an yang biasa disenandungkan tiap malam. Bukan hanya kau yang kehilangan Najma, tapi kalangan jin dan malaikat pun menangisi kematian putrimu yang sholihah, yang menghiasi malamnya dengan bacaan Qur’an yang indah.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H