Beranjak dari Kota Surabaya selama sekitar 3 jam menuju Gunung Bromo, kita akan menjumpai Kabupaten Pasuruan Kecamatan Tosari yang merupakan pintu gerbang menuju Bromo . Jika mendengar kata Bromo, tidak akan bisa terlepas dari suku Tengger dan Semeru. Etnis Tengger merupakan etnis asli Bromo. Sementara itu, semeru merupakan gunung api tertinggi di pulau Jawa. Salah satu desa yang terdapat dikecamatan Tosari adalah Desa Ngadiwono. Jalan menuju Desa Ini terbilang cukup baik. Jalanan beraspal dengan tikungan tajam dapat kita jumpai cukup sering jika melalui Bangil, namun jika menuju Desa Ngadiwono melalui Nangkajejer tikungan yang dilalui tidak cukup tajam. Perjalanan melalui Nangkajejer kita akan menjumpai deretan kebun apel milik masyarakat. Lebih tinggi lagi, kita dapat melihat deretan pinus yang tak mampu menutupi keindahan lereng gunung yang dilukis masyarakat dengan ladang kol, kentang, dan daun bawang.
Memasuki Desa Ngadiwono, kita dapat melihat arsitektur khas pegunungan, tanah yang tidak rata menciptakan pola pemukiman acak dan bertingkat. Sebagian besar masyarakatnya beragama hindu, meskipun masih terdapat beberapa masyarakat yang beragama islam dan kristen. Desa Ngadiwono memiliki satu pura yang berada di tempat yang cukup tinggi di desa tersebut.
Tengger sendiri memiliki asal muasal yang cukup unik. Kata Tengger berasal dari legend Rara Anteng dan Joko Seger. Teng- pada kata Tengger berasal dari nama Rara Anteng dan Ger pada kata Tengger berasal dari kata Joko Seger . Suku Tengger masih memiliki tradisi dan kebiasaan yang kuat dalam masyarakatnya. Tiba di Desa Ngadiwono Kabupaten Pasuruan, dapat dijumpai masyarakat etnis Tengger. Budaya msyarakat tidak terlepas dari setiap sendi kehidupan. Kehidupan yang sederhana meskipun sudah mulai menyatu dengan kehidupan modern sangat teasa di desa ngadiwono. Dapat kita lihat orang orang tua masih banyak berjalan kaki dengan memanggul beban di pundak hilir mudik di Desa tersebut. Meskipun kondisi desa yang berada di pegunungan menjadikan sebagian besar kontur desa merupakan turunan dan tanjakan, namun para orang tua tersebut masih cukup kuat untuk melaluinya setiap hari bahkan sesekali menyapa masyarakat yang kebetulan berjumpa.
Desa Ngadiwono yang terletak di atas 1000 mdpl memiliki suhu yang cukup dingin terlebih saat musim hujan. Tungku menjadi cara yang dipilih sebagian besar masyarakat untuk menghangatkan badan. Hampir setiap rumah di Desa Ngadiwono memiliki tungku kecil yang digunakan sebagai tempat membakar arang yang kemudian tungku tersebut dapat dibawa ke ruang tamu atau ruang makan untuk membantu melawan udara dingin yang datang ke rumah rumah di desa tersebut. Kentang seolah menjadi takdir dan berjodoh dengan udara dingin di Desa Ngadiwono. Masyarakat setempat menikmati kentang dengan berbagai cara terutama menjadi camilan saat berkumpul mengelilingi tungku. Kentang yang menjadi komoditi utama desa tersebut terkadang diolah dengan di rebus, dikukus atau digoreng. Namun udara dingin yang seringkali membuat rasa hangar pada kentang tidak bertahan lama menjadikan kentang bakar menjadi pilihn favorit. Pasalnya, kentang yang sudah direbus, dikukus, dan digoeng tersebut jika sudah dingin dapat dipanaskan kembali di atas tunggu hingga menjadi kentang panggang yang rasa dan teksturnya tidak kalah menggoda untuk disantap disaat dingin menggigit.
Masyarakat Tengger di Desa Ngadiwono menyebut diri mereka Tengger Ngadiwono. Meskipun tidak ada perbedaan antara suku Tengger namun perbedaan desa menjadi sebuah ‘identitas’ bagi etnis Tengger. “.. Nggak ada (Marga) disini. Tapi kalau ada yang Tanya orang Tengger? Hee eehh tengger mana? Kita jawabnya Tengger Ngadiwono” penjelasan ibu Rit.
Ibu Rit, seorang ibu muda dengan dua orang anak laki laki dan seorang suami merupakan salah satu keluarga yang menempati Desa Ngadiwono. Suami ibu Ririt, Pak Agus bekerja sebagai petani di beberapa ladang mereka yang letaknya sekitar 100 meter dari rumahnya. Sementara Bu Rit menjaga usaha kecil kecilan di rumahnya dan pada sore hari menjadi guru PAUD di desa Ngadiwono, Beberapa kali dalam sebulan ibu Rit juga pergi ke Nangkajejer untuk kuliah PGTK disebuah universitas. Anak laki laki pertama Bu Rit dan Pak Agus bernama Char, baru berusia 6 tahun bersekolah TK di Desa Ngadiwono. Sementara anak laki laki keduanya, bernama Ghe berusia 11 bulan. Keluarga kecil bu Rit menempati rumah yang terletak di sebelah balai desa. Tepat di pinggir jalanan yang mulai menurun.
Ibu Rit merupakan penduduk asli desa Ngadiwono. Orang tua Ibu Rit dan Pak Ag merupakan penduduk asli setempat. Char menunjukkan kepada kami rumah yang ditingali Mbah Kung dan Mbah Buk serta rumah yang ditinggali Mbah No yang ternyata berdekatan.
Pagi hari, Ibu Rit biasanya melakukan sembahyang pagi di pura sekitar jam 4 pagi sementara pak Ag melakukan sembahyang di pura pada sembahyang sore hari. Untuk pembagian pekerjaan rumah ibu Rit bertugas merawat anak anaknya sementara pak Ag mengerjakan pekerjaan berat seperti bekerja di lading dan mengangkat Air yang berasal dari sumber air yang terletak beberapa meter dari rumah mereka dengan menggunakan Jerigen. Meskipun terdapat perbedaan tugas antara suami dan isteri di keluarga ibu Rit, namun hal tersebut tidak menghalangi Pak Ag untuk ikut serta dalam merawat anak anaknya.
Pagi hari sebelum pak Ag pergi ke Ladang, Beliau membantu isterinya menjaga Ghe, balita sebelas bulan tersebut terlihat nyaman dalam gendongan ayahnya. Sambil menjaga toko kecil milikinya, Pak Ag membawa Ghe berjemur dibawah matahari pagi di teras rumahnya. Hujan seharian semalam, menciptakan suhu dingin yang membuat siapa saja menggigil, termasuk Ghe. Bu Rit menyiasatinya dengan memakaikan Ghe 5 lapis baju yaitu, singlet, kaos tangan panjang, kaos tangan pendek, sweater dan jaket betopi untuk menutupi telinga Ghe agar tidak masuk angin. Tidak banyak perawatan balita pada Ghe yang berbeda dengan perawatan balita modern pada umumnya. Dari segi makanan tambahan Ghe telah mulai mengkonsumsi nasi yang dihaluskan, kadng ditambah sayur atau buah dan dicampur susu formula. Sedangkan untuk sarapan Ghe biasanya mengonsumsi bubur bayi dalam kemasan ditambah roti yang dihaluskan.
Setelah berjemur sekitar 15 menit, Pak Ag kembali membawa Ghe masuk kedalam rumah untuk dimandikan. Sebelum mandi, sambil menunggu bu Rit menyiapkan air hangat untuk Ghe, Pak Ag akan melakukan Antung Antung kepada Ghe. Yaitu mengangkat kaki dan tangan Ghe tinggi hingga badannya terangkat sambil mengucapkan kalimat “Cepet besar, sehat badannya…”
Antung Antung dilakukan dengan cara mengangkat tangan kanan dan kaki kanan bayi hingga badan terangkat dan menggoyangkannya sedikit kemudian mengangkat kaki kiri dan tangan kiri hingga badannya terangkat sabil menggoyakgkannya sedikit. Setelah itu, mengangkat kedua tangannya hingga badannya terangkat, mengangkat kakinya ke atas hingga posisi kepala berada di bawah dan menggoyangkan badan balita sedikit. Kemudian mengangkat tangan kanan bayi dan kaki kiri bayi hingga tubuh bayi terangkat serta mengangkat tangan kiri bayi dan kaki kiri bayi hingga tubuh bayi terangkat sambil sedikit di goyangkan.
Ghe terlihat menikmati ritual itu, ia pun mengeluarkan tawanya. Setelah mengangkat Ghe sekitar 6 kali, Pak Ag menelungkupkan Ghe di kakinya kemudian memijat punggung Ghe dengan perlahan dan lembut.
Gambar. 2. Antung Antung Oleh Pak Ag
Kegiatan Antung Antung ini dilakukan setiap Ghe akan mandi, baik mandi pagi maupun mandi sore. Menurut bu Ririt kegiatan Antung Antung dilakukan agar bayi dan balita sehat karena hal ini dianggap olahraga bayi atau balita. Antung-Antung dilakukan hingga anak tersebut tidak dapat diangkat lagi oleh orang tuanya.
“…biar sehat diangkat tangan kanan kaki kanan, tangan kiri kaki kiri, tangannya, kakinya, terus tangan kanan kaki kiri, tangan kiri kaki kanan, terus di pijet. Itu sampe gak bisa lagi diangkat. Kayak ini kan (Char) udah gak bisa lagi diangkat.” Ungkap Bu Rit.
Bu Rit juga menambahkan bahwa sesekali jika balita tersebut sakit atau tidak enak badan atau masuk angin, Antung- Antung akan dilakukan oleh si Mbah bayi tersebut. Si Mbah akan melakukan Antung Antung tersebut kemudian memijat lembut perut balita tersebut.
“..Kalau masuk angin atau kecapean Antung Antung sama si mbah. Nanti di pijet perutnya. ..” ujar Bu Rit
Dalam melakukan Antung-Antung tidak ada minyak khusus yang dioleskan ke tubuh balita ketika memijat. Biasanya ibu Ririt menggunakan minyak kayu putih yang digunakan sekalian untuk menghangatkan tubug Ghe
Tak hanya di Etnis Tengger, di beberapa etnis lain di Indonesia yang masih mempercayai pemijatan dukun bayi, mengangkat tangan bayi atau kaki bayi secara terbalik hingga kepala bayi berada di bawah biasanya dilakukan oleh dukun bayi. Hal ini dipercaya sebagai salah satu olahraga bagi bayi tersebut, karena bayi belum dapat berolahraga seperti orang dewasa sehingga gerakan ini dapat merenggangkan otot otot bayi.
Senam dianggap dapat meningkatkan hubungan emosional antara orang tua dan balita tersebut . hal ini terlihat dari ekspresi Ghe yang tertawa tawa saat ayahnya melakukan Antung- Antung. Namun perlu diperhatikan untuk gerakan gerakan Antung-Antung seperti yang dilakukan oleh Pak Ag. Beberapa referensi menyatakan bahwa menarik tangan anak hingga anak terangkat dapat menimbulkan cedera pada anak. Cedera ini dapat menimbulkan masalah yang cukup serius berupa keretakan tulang pada anak tersebut .
Gambar. 3 Pak Ag memijat punggung Ghe sebelum mandi
Pemijatan punggung yang dilakukan oleh Pak Ag pada Ghe juga memiliki khasiat tersendiri antara lain untuk merelaksasikan punggung bayi yang kebanyakan dalam posisi tidur, selain itu untuk memaksimalkan tumbuh kembang bayi . Kebiasaan Antung Antung tidak hanya memiliki dampak buruk berupa cedera. Jika dilakukan dengan lembut dan perlahan, cedera tersebut dapat dicegah dan justeru memperoleh manfaat dari Antung-Antung yaitu berupa kedekatan emosional orang tua kepada balita tersebut. Antung-antung juga dapat digunakan sebagai salah satu cara ayah mengajak anaknya bermain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H