---
Ketika saus kacang atau sambal gado-gado dituangkan di atas wadah, terinfiltrasi merata ke setiap pori sayuran yang teracik di dalamnya, dan kemudian dilengkapi dengan taburan bawang goreng, maka selesai sudah penyajian hidangan bernama gado-gado, yakni satu jenis makanan khas Betawi. Hidangan yang cukup mudah dibuat dan murah ini umum ditemui, dari 'sekelas' warung mpok Betawi hingga hotel berbintang.
Di luar negeri kreasi resep mutakhir makanan ini cukup dikenal, dengan nama keren: 'mixed vegetables with spicy peanut sauce'.
Terasa nikmat penganan yang penuh kandungan protein nabati tersebut, apalagi jika disantap bersama. Itu seharusnya. Namun bisa saja berubah nuansa guyub tersebut, ketika unsur selera per individual terlalu diperturutkan.
Indra pencecap kemudian disadari bersifat begitu relatif, tidak absolut, sehingga ada sekelompok pengkonsumsinya yang tidak menyukai level kepedasan tertentu, atau mempermasalahkan tingkat rasa asin, manis, dan sebagainya, yang berujung pada penilaian kepuasan.
Apabila diperturutkan lebih jauh lagi, jenis sayuran pun akan ditunjuk sebagai penghilang rasa kesedapan gado-gado, misalnya saja sayur pare (paria) yang pahit, rajangan kol yang tidak disukai, kentang, kacang panjang, rebusan kangkung , tauge yang terlalu layu, ataupun cacahan mentimun segar namun hambar.
Lauk tambahannya (topping) berkontribusi untuk dikritisi juga, misalnya telur rebus, dan potongan tempe tahu goreng. Bahkan, terasi pun dinilai memprovokasi jika keadaan sudah seperti ini.
Suasana gaduh tak terelakkan ketika individu per individu terlalu memperturutkan kata hati, maupun rasa dan selera menurut kata lidah.
Walhasil , akan nihil-lah rasa kebersamaan.
Analogi di atas mungkin sedikit banyak bisa mengilustrasikan situasi di negeri tercinta kita.