P e n d a h u l u a n
Seorang penumpang yang baru turun dari sebuah pesawat penerbangan domestik itu berjalan melenggang, dengan tenang di bandara Soetta. Walau tak ada sopir yang menjemput, itu bukian masalah sama sekali buatnya.
Beberapa tahun yang lalu, hal itu cukup menjadi masalah yang mengesalkan karena bus bandara memiliki batas waktu operasi pada malam hari. Sedangkan memilih taksi kadang juga belum tentu aman, terutama aman di kantong. Itu akibat tidak ada kepastian rate-nya.
Jika mengantuk sedikit saja, memiliki resiko akan diputar-putarkan rutenya oleh supir taksi yang tak memiliki itikad baik. Belum lagi, argometer yang konon kabarnya, bisa diutak-atik agar berputar lebih cepat ('argo kuda'). Alhasil, ongkos yang harus dibayarkan ketika tiba di rumah atau hotel, akan melambung tinggi.
Untunglah, sekarang ada 'taksi' online, seperti Grab Bandara DivTro, misalnya. Melalui petugasnya di point/ titik penjemputan (booth) yang telah ditentukan di bandara, penumpang bisa memesan mobil yang mengantar ke tempat tujuan dengan hati legawa, karena calon penumpang sudah tahu estimasi biaya perjalanan.
Bertambah lega lagi, sebab keamanan penumpang semakin terjamin setelah Grab bergabung dengan Inkoppol (Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia).
Apakah ini semua ini merupakan tanda peningkatan ekonomi, dalam kerangka analisis ekonomi sederhana?
Tentu jawabannya 99% adalah 'Ya' dari segi konsumen/ pengguna jasa taksi bandara online.
Bagaimana dari sisi penyelia jasa (Labor) Grab? Belum tentu jawawannya juga 'Ya'
Berdasarkan wawancara dengan satu responden saja -- sebutlah namanya pak supir X - penulis memperoleh beberapa potong informasi.
Dulu setiap baru saja kembali dari mengantar kustomer, pak X sudah mendapat panggilan/ order lagi. Tak diragukan, pendapatan para supir saat itu sangat tinggi akibat frekwensi order yang tinggi tersebut.