Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Tersisa dari Yun dan Mas, Sisi Lain Cerita Reuni Kemarin.

25 Januari 2014   12:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390648542102039886

[caption id="attachment_318173" align="alignleft" width="300" caption="Perjalanan..yang penuh likunya..(dok. Pribadi)"][/caption]

Pagi masih menyisakan embun, ketika saya memacu kendaraan, saya ingin sepagi mungkin tiba di rumah Mas (Masdar teman satu kelas dulu).Ada misi suci yang saya bawa, yang saya tidak ingin saya sampaikan pada Mas, biarlah kejutan itu berjalan alami,tanpa rekayasa.

Masih jam enam pagi, ketika saya mengetuk pintu Mas, Mas telah siap untuk meluncur, saya liat dia hanya memakai kemeja putih, celana Jean.Sederhana sekali, sekaligus flamboyant. Masih seperti dulu. Tanpa banyak asesories. Kami yang datang dari seberang, segera akrab ditengah dinginnya kota Bandung saat itu. Sayup terdengar lagu Mus Mujiono.

Perjalan yang penuh likunya….

Kini telah tiba…

Disisimu selamanya…

“Mas, kamu masih ingat Yuni?” Kata saya membuka percakapan diantara jalan yang berliku, naik dan turun. Saya menoleh kearah Mas, ada rona merah disana, dia tersenyum. Tanpa Jawaban.

“Saya harap Yuni datang”. Kata saya lagi. Mas masih tersenyum tanpa jawaban. Kalimat terakhir ini, sebuah harapan jujur dari saya. Berharap Yuni benar-benar datang. Dulu kami sobatan empat orang. Saya, Mas, Yuni dan neng. Saya dan Mas dari seberang, Yuni dari semarang dan neng dari Tasik. Semuanya sekolah di Bandung. Apakah karena kami semua pendatang atau karena ada kecocokan pribadi? Yang jelas kami bersahabat kental.

Dipertengahan tahun kedua, ada yang berubah dalam persahabatan itu. Mas “jadian” dengan Yuni. Sangat samar memang. Mas sangat menjaganya. Karena dia “tahu diri”. Banyak pertimbangan yang harus dibuatnya, ketika semester lima, Mas menceritakannya pada saya posisinya. Ada orang tua yang berharap banyak padanya,ada faktor orang sebrang dan Yuni yang datang dengan segala “toto kromo” jawa dan keluarganya di Bandung yang akademisi.

Selesai sekolah, kami semua bubar. Saya ke Jakarta, Mas tak tentu rimbanya, setahun kemudian neng saya dengar menikah dan Yuni empat tahun kemudian menikah dengan masnya yang terkadang menjemputnya ketika pulang sekolah. Belakangan saya tahu dia adalah anak pak De dari Yuni yang kuliah di daerah Dago.

Tahun berlalu, kami semua terbawa nasib peruntungan hidup masing-masing, hingga empat tahun lalu saya bertemu dengan Mas, disebuah kota, berjarak 90 km sebelah barat Bandung, Mas yang kini sudah menjadi entpreuner sukses. Telah mempercayai anak tunggalnya untuk meneruskan usahanya. Mas sendiri sudah banyak bergelut dalam dunia sosial. Dalam sebuah acara sosial itulah saya bertemu dengannya. Dalam perbincangan panjang, dipertemuan pertama itupula saya tahu, kalau Mas kini sudah sendiri lagi, istrinya berpulang karena serangan Jantung.

Sementara, tiga tahun lalu, ketika saya mengunjungi pernikahan kerabat di daerah atas Bandung, saya bertemu dengan Yuni, saya tidak akan kenal jika Yuni tidak menyapa dulu, Yuni benar-benar wanita mateng, aroma “keilmuannya” sangat terasa, unggah-ungguhnya begitu kental. Ketika saya ingatkan tentang “Mas”, ada rona merah di wajahnya. Lalu berganti sedih. Saya tanyakan kenapa? Yuni, menceritakan suaminya sudah mendahuluinya. Tak lama setelah diangkat sebagai Dekan.

Perjalanan ini, masih menanjak dan menurun, saya mematikan AC, lalu membuka kaca jendela, menghidupkan rokok dan menghisapnya. Mas tidak saya tawari, karena saya tahu dia tidak merokok. Syair-syair Mus Mujiono masih terus terdengar.

Perjalan yang penuh likunya….

Kini telah tiba…

Disisimu selamanya…

=====================================================

Reuni ini benar-benar luar biasa, kami berempat bertemu kembali, ada kegembiraan diantara kami, suasana tiga dasar warsa lebih seakan kembali lagi, sekan baru kemarin rasanya, kami semua hanyut dalam masa lalu, kalau saja, saya tidak melihat kerutan diwajah, serta kumis yang memutih. saya liat Mas dan Yuni, mulanya agak kaku, tepi pelan-pelan, semuanya cair, kami kembali lagi seperti dulu.

Saya duduk dipinggir, sebelah saya neng, lalu yuni, setelah itu Mas, ada raut gembira di wajah Mas, raut yang lain, lebih gembira ketika masih sekolah dulu. Sebagai lelaki saya tahu, cinta Mas itu mulai kembali, CLBK itu, cinta lama belum kelar itu, kini menghampirinya, tak ada sesuatu yang ditahan lagi, tak ada lagi pertimbangan “tahu diri” itu.Semuanya terlihat lepas. Dalam hati, saya bersyukur, untuk sementara misi yang saya emban berhasil, semua mengalir, seakan tanpa scenario, tak ada yang tahu, bahkan Maspun.

Di sudut mata saya, saya melihat bagaimana Mas, menggenggam tangan Yuni, tak ada perlawanan disitu, sementara kami tertawa lebar, yuni masih dengan “unggah-ungguh”nya hanya menebar senyum penuh arti. Cukup bagi saya yang sudah bangkotan ini, mengetahui, apa yang dirasa Mas, dirasakan pula oleh yuni. Sebagai sahabat, saya tahu yang membedakan mereka hanya karakter. Mas dengan kelembutannya yang masih menyisakan “orang sebrang” sementara yuni, yang kini jadi wanita matang yang njawani.

Saya sengaja mengajak neng jalan ke sisi lain dari sekolah kami, untuk memberikan kesempatan Mas dan Yuni berdua. Pada Neng, saya ceritakan kondisi Mas kini, demikian juga kondisi yuni. Serta apa yang dulu pernah diceritakan Mas pada saat kita masih sekolah dulu. Cukup lama kami tinggalkan mereka, ketika kami kembali ke tempat duduk semula, acara reunian sudah hamper selesai.

Sore itu, lepas reunian, kami lanjutkan dengan hang out, tempat kami nongkrong dulu, ternyata tempat itu sudah berubah, kini, berdiri Mall megah disitu, lalu kami menuju sebuah tempat kuliner diatas, cukup lama kami diatas, lalu mendekati tengah malam, atas usul saya, kami mengantarkan yuni ke rumahnya, neng tidur di rumah yuni malam itu. Kami kembali ke kota kami. Diperjalanan, Mas saya liat lebih banyak diam, tapi raut wajah itu, terlihat sumringah, segar. Saya tidak ingin mengganggu kebahagiaan yang sedang dirasa Mas, saya juga tidak ingin bertnya kesannya tentang yuni, apa yang dirasakannya kini, apa langkah yang akan diambilnya. Bagi saya terlalu awal untuk mengetahui semuanya, biarlah dia rasakan dulu kebahagiaan awal itu, selanjutnya, biarlah Mas yang memutuskan langkah apa yang akan diambilnya. Saya kembali, membuka kaca kendaraan, udara segar segera masuk, saya memulai kebiasaan buruk saya, menyalakan rokok. Sementara syair Mus Mujiono masih terdengar lembut.

Perjalan yang penuh likunya….

Kini telah tiba…

Disisimu selamanya…

Sore ini, saya kembali menuju rumah Mas, rencananya saya akan menginap disana, mempersiapkan sesuatunya, karena besok, pagi-pagi benar, kami akan ke Bandung, melamar Yuni untuk Mas. Reuni kemarin, benar-benar sesuatu. Dua sahabat kami, akan benar-benar akan bersatu, reuni itu, ternyata awal dari perjalanan panjang dari sebuah kenyataan yang selama ini hanya ada dalam khayal mereka.

Saya masih ingat, sepotong syair Mus Mujiono yang menemani kami dalam reuni kemarin.

Perjalan yang penuh likunya….

Kini telah tiba…

Disisimu selamanya…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun