Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Penting Rasanya, Apapun Warnanya

19 Februari 2013   02:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:05 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah, orang tua kita, umumnya selalu kita banggakan, masing-masing kita bangga pada sosok sang ayah, sisi yang dibanggakan boleh bermacam-macam, tetapi yang jelas, menjadikannya sosok idola bagi sang anak.
Bagi saya, Ayah, adalah sosok yang tidak suka marah, selalu memiliki cara unik untuk menjelaskan sesuatu, ada kebijakan pada setiap tamzil yang dia terangkan, logika sederhana yang menginspirasi.
Beberapa puluh tahun lalu, ketika ibu merintis usaha eskpedisi, kita mengalami kendala soal siapa yang menurunkan barang, ketika mobil ekspedisi datang tengah malam, soalnya ketika itu umumnya orang sedang tidur nyenyak, jika membangunkan mereka yang biasanya menurunkan barang, juga tidak enak, sedangkan menunggu waktu hingga pagi, kasihan pada mobil ekspedisi, karena mereka harus segera kembali. Lalu Ayah dengan logika sederhananya, memberikan lahan kerja pada mereka yang sedang nganggur, caranya dengan dibelikan Becak, Becak itu dicicil selama dua tahun, tanpa bunga serupiahpun, untuk penghasilan tukang becak ini, ayah menawarkan angkutan barang ekspedisi dari rumah kami ke toko-toko dengan alamat yang tertera pada barang ekspedisi, ketika malam tiba, ayah menawarkan mereka menempati gudang sebelah rumah, hasilnya, sejak saat itu, kita tidak pernah kesulitan menurunkan barang tengah malam lagi, karena abang becak ini, selalu siap menurunkan barang, jam berapapun datang. Mereka mendapat penghasilan dari menurunkan barang, kita terbebas dari kesulitan mencari orang untuk menurunkan barang, ketika dua tahun kemudian becak-becak itu lunas, si Abang-abang ini tetap menempati gudang sebelah rumah, bahkan mereka kini, dianggap sebagai bagian dari keluarga kami.
Beberapa tahun sebelum Ayah meninggal, saya sempat marah besar pada adik saya, dia yang dikuliahkan dengan jurusan yang menjanjikan, lalu lulus dengan IP yang sangat baik, dengan perantaran kolega saya, saya titipkan pada perusahaan yang sesuai dengan keahliannya, ketika beberapa tahun kemudian, sang adik telah mencapai posisi yang diidamkan setiap orang, tiba-tiba mengundurkan diri. Alasannya sangat sederhana, dia ingin lebih punya waktu untuk keluarganya, ingin lebih membahagiakan keluarga. Sebuah pernyataan yang mengada-ada, bukankah dengan posisi yang sekarang, dia dapat lebih membahagiakan keluarganya?
Berita tentang marahnya saya, akhirnya didengar ayah, lalu kamipun dipanggil, saya telah siapkan beberapa argumentasi untuk menjelaskan mengapa saya marah, mungkin demikian juga dengan adik, mengapa dia keluar dari kerjanya.
Singkat cerita, ketika kami datang, Ayah saya liat santai-santai aja, tidak ada tanda-tanda akan memarahi saya atau memarahi adik, lalu kamipun ngobrol kesana-kemari tanpa pernah menyinggung masalah pokok, kenapa kami dipanggil. Lalu ayah akhirnya menyuruh adik saya untuk mengambil 3 buah gelas, berikut air putih, sementara saya disuruh mengambil tiga buah pewarna berikut gula putih yang telah disediakan Ayah di lemari.
Ketika semua pesanan Ayah telah tersedia diatas meja, di depan kami, lalu Ayahpun mulai mengaduk gula putih pada tiga gelas yang telah diisi air putih itu.
Apakah ketiga gelas ini, rasanya manis? Begitu Tanya Ayah pada kami.
Betul, rasanya manis. Demikian jawab kami serentak.
Lalu ayah memasukkan ketiga zat pewarna masing-masing kedalam tiga gelas yang berbeda itu lagi, kemudian mengaduknya lagi.
Apakah gelas yang berwarna merah, rasanya manis?
Betul, rasanya manis
Apakah gelas yang berwarna hijau, rasanya manis?
Betul, rasanya manis
Apakah gelas yang berwarna orange, rasanya manis?
Betul, rasanya manis
Nah, Ayah hanya ingin menjelaskan, bahwa rasa itu seperti kebahagian dalam keluarga, sedangkan warna dalam gelas itu, adalah bidang kerja kalian masing-masing, Ayah gak peduli apa warnanya, yang mesti kalian pastikan rasa di dalam gelasnya, Ayah hanya ingin kepastian jawaban dari kalian, apa rasa dalam gelas itu yang akan kalian berikan pada keluarga kalian?
InsyaAllah manis, yah….. demikian kami jawab serentak.
Kalau gitu jawabannya, berarti semua masalah selesai, Ayah bangga dengan kalian.
Begitu sederhananya masalah kami diselesaikan oleh Ayah, tetapi untuk menjamin rasa dalam gelas itu, saya butuh waktu seumur hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun