Waktu berputar terus, jam satu dua tiga…. dua puluh empat, lalu satu lagi. Hari Senin selasa rabu… minggu, lalu senin kembali. Berputar…… untuk akhirnya sampai pada titik yang sama, walau sebenarnya tidak juga sama persis. Bisa saja ditempat yang sama, tetapi itu pada waktu yang lain. Bisa saja, harinya sama, tetapi waktu sudah berbeda. Senin yang sekarang akan beda dengan senin minggu lalu. Diantara perputaran waktu pada ruang tempat yang sama, terjadi peristiwa-peristiwa, kisah ini.
Aku setiap pagi berdiri di halte ini, lalu naik Bus Kota jurusan Kota, kalau saja macet tidak begitu parah perjalanan cukup satu setengah jam. Dulu ketika Jakarta belum semacet sekarang, rata-rata perjalanan hanya memakan waktu satu jam.
Rutin, …..teratur. Begitulah irama hidup yang kujalani, apalagi setelah menjadi single parent, suami lebih dulu menghadap sang Maha Kuasa. Pagi pergi ke Kota, sore pulang ke rumah. Ketika pagi hendak menuju Kota, aku berdiri di halte yang sama. Halte S. setiap pagi, biasanya hanya sendiri aku berdiri, sementara diujung sisi kiri ada seorang wanita yang selalu duduk disitu, sebentar-sebentar menjulurkan tatapannya pada Bus yang datang atau motor yang lewat, seakan sedang menunggu seseorang. Begitulah kejadiannya setiap pagi.
Pagi ini, aku kembali berdiri di halte ini, pagi ini aku agak cepat datang, seperti biasanya, wanita itu sudah ada disana, duduk di kursi yang sama, dengan perilaku yang sama, masih menjulurkan pandangannya pada Bus Kota yang datang atau motor yang lewat. Lalu aku mendekat, mengulurkan tangan.
“Sarah..” kataku
“Endang” Jawabnya singkat.
“Sedang menunggu seseorang mbak?” tanyaku pula
“Iya.. bu” Jawab Endang singkat.
“Keliatan special someone” kataku iseng
“iya bu. Namanya Atok. Dia sahabat saya di Facebook”
“Terus…”
“Awalnya kami hanya saling sapa, lalu chatting, demikian terus berhari-hari, lalu kami pacaran… walau dalam dunia maya. Atok laki-laki asal Malang itu, berjanji akan menemui saya bu. Dia berjanji untuk kopi darat. Saya juga sudah sangat berharap untuk bisa bertemu, melihat wajahnya yang lugu” begitu Endang cerita tanpa aku minta. Bus Kota yang aku tunggu datang, akupun segera naik.
******
Hari ini aku sudah berdiri kembali di Halte S. Endang kulihat masih duduk di kursi yang sama, perilakunya masih sama seperti kemarin. Aku segera menghampirinya.
“Pagi….” Sapaku
“Pagi juga bu. Kemarin ceritanya terputus ya bu, Bus yang ibu tunggu keburu datang” kata Endang.
“hehehehe…..”
“Kalau Ibu tidak keberatan, saya akan lanjutkan cerita saya bu”
“Ok, silahkan”
“Atok cerita, kalo dia cinta saya bu, dia cerita kalo dia mau menikahi saya, karena dia sudah berumur bu, sudah kepala tiga, menurut Atok, sayalah wanita yang ada dalam khayalnya selama ini, wanita yang menjadi idamannya, wanita yang selama ini dia cari untuk menjadi pendamping hidupnya. Dia juga cerita tentang khayal masa depan kami. Atok menginginkan kami punya dua anak, satu lelaki, satu perempuan, kami akan menempati rumah yang sedang saja, rumah yang akan dibuat sesuai dengan design yang kami rancang sendiri. Di belakang rumah akan kami Tanami bermacam sayuran, disitu, pada teras belang rumah, akan ada empat kursi dan satu meja, kami dan dua anak kami akan menghabiskan sore di sana, atok dengan kopi hitam kentalnya, saya dan anak-anak dengan teh hangat. Kami akan saling bercerita, Atok akan bercerita tentang kejadian siang tadi ketika dia kerja, saya akan cerita, apa saja yang saya lakukan ketika Atok kerja dan anak-anak sekolah. Anak-anak akan cerita tentang kejadian yang mereka alami ketika sekolah tadi, tentang teman-temannya, tentang guru-gurunya, tentang cita-cita mereka kelak. Komunikasi yang intens, terbuka dan dalam suasana santai di temaram senja, akan mengokohkan cinta dan kasih saying kami berempat, kata Atok.” Saya hanya mendengar saja penuturan Endang, segurat kebahagiaan memancar di wajah Endang ketika dia cerita.
Bus Kota yang aku tunggupun datang, aku naik, meninggalkan Endang yang masih menunggu Atok yang belum juga datang.
********
Pagi ini, kembali aku berdiri di halte yang sama, kulihat Endang masih duduk di bangku yang sama. Aku segera menghampirinya. Lalu setelah berbasa-basi, Endang melanjutkan ceritanya.
“Atok begitu detail menggambarkan masa depan kami bu, setelah pertemuan pertama, kami akan menemui orang tua saya bu, Atok akan memperkenalkan diri, setelah itu, pada bulan yang sama, dia akan membawa orang tuanya dari Malang untuk melamar saya. kami akan menikah dengan pesta yang sederhana saja, lalu setelah dua bulan campur di rumah mertua, Atok akan membawa saya ke Malang, disana kami akan memulai kehidupan yang sesungguhnya sesuai dengan cita-cita kami, diatas tanah orang tua Atok, Atok putra tunggal dari kedua orang tuanya bu” kata Endang panjang lebar.
“semuanya detail bu. Saya benar-benar terhanyut dengan semua cerita Atok bu. Saya berharap semuanya nyata, sudah gak sabar untuk ketemu Atok. Dia berjanji akan menemui saya di Halte ini. Dia akan datang dengan Bus yang berhenti di Halte ini, atau dia akan akan datang dengan naik motor” kata Endang pula.
Bus Kota yang aku tunggupun datang, aku naik, meninggalkan Endang yang masih menunggu Atok yang belum juga datang. Diatas Bus Kota aku merasa ada sesuatu yang tertinggal, aku lupa menanyakan alamat Endang.
*******
Waktu terus berputar, perpuatarannya ibarat mengitari sebuah titik pada sebuah poros, selalu kembali pada titik yang sama, meski waktunya sudah berbeda.
Aku kembali berdiri di halte ini, pada waktu yang sama, pagi hari. Telah lima minggu setelah kali terakhir aku ngobrol dengan Endang. Endang masih duduk di bangku yang sama, prilakunya masih sama, masih menjulurkan kepalanya pada setiap Bus Kota yang datang atau pada motor yang lewat.
Endang sudah tidak mengenali aku lagi, aku pun sudah mulai ragu untuk menyapanya, dia sudah tidak peduli pada siapapun yang berdiri di halte itu. Endang lebih disibukkan dengan perhatiannya pada Bus Kota yang datang dan motor yang lewat. Pakaiannya sudah mulai lusuh, raut wajah itu mulai kusut. Agaknya pakaian itu sudah berhari-hari tidak pernah diganti, wajah kusut itu, agaknya sudah berhari-hari tidak mandi.
Endang masih disibukkan dengan perhatiannya pada Bus Kota yang datang dan motor yang lewat. Dia masih berharap Atok akan datang menemuinya, menjemputnya dan membawanya pada masa depan yang dijanjikan Atok.
Entah sampai kapan? Tak ada yang tahu, termasuk aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H