Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Untuk ex Fasilitator yang Belum Move On

7 Maret 2015   04:31 Diperbarui: 24 Mei 2016   12:29 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kita adalah sang Mentari Pagi, Bukan Mentari yang kan terbenam di senja hari (dok.Pribadi)

Sejak satu Januari 2015 program PNPM resmi dibubarkan, oleh Pemerintahan Jokowi. Sejak itu pula, dimulailah berbagai aneka cerita tentang nasib fasilitator yang mengalami kegalauan karena kehilangan pekerjaan. Bahkan hingga kini, memasuki bulan ketiga tahun 2015, keluh kesah tentang kegalauan itu, belum juga hilang. Terutama bagi ex fasilitator yang belum bisa move on dari kondisi Jobless yang dialami. Benarkah kehilangan pekerjaan, telah berakibat membuat galau? Apakah bukan justru sebaliknya, justru kehilangan pekerjaan, merupakan hikmah yang perlu disyukuri. Apa saja, hikmah yang diperoleh dibalik kehilangan pekerjaan? Untuk itulah tulisan ini dibuat.

Diantara hikmah yang bisa diperoleh dari berhentinya program pemberdayaan, hingga berakibat kehilangan pekerjaan, antara lain;

Satu, Membersihkan diri dari sahabat abal-abal. Betapa selama ini, fasilitator hidup dalam dunia maya. Tak sedikit diantara mereka, merasa diri hebat. Indikasinya, begitu banyak orang sekeliling, memandang mereka dengan pandangan kagum, betapa banyak diantara mereka yang disebut sahabat, begitu akrab menyapa dan mendekat. Kinilah saatnya mempertanyakan tentang sahabat itu? siapa saja diantara mereka yang disebut sahabat itu, masih dekat dengan kita, masih suka bertegur sapa dengan kita, masih suka beramah tamah dengan kita? Jika jawabannya, hanya sedikit atau segelintir orang. Maka, yang sedikit dan segelintir orang itulah sesungguhnya yang benar-benar  sahabat kita. Sementara, sejumlah besar lain, yang telah menghilang, sesungguhnya bukan sahabat. Mereka hanya sekelompok orang yang memiliki kepentingan dengan kita. Ketika kepentingan itu sudah tidak ada lagi. Maka, merekapun menghilang. Jadi, syukuri saja, kondisi yang kini sedang kita alami, sebagai seleksi alam untuk menyeleksi, siapa kah sesungguhnya sahabat kita. 

Dua, Ajang pembuktian, siapa diri kita sebenarnya. Selama ini, banyak diantara fasilitator yang merasa diri hebat. Memiliki kelebihan yang tak dimiliki oleh komunitasnya. Sebut saja. Misalnya, Faskab. Merasa diri hebat diantara fasilitator kecamatan, indikasinya, karena jabatannya yang dimiliki lebih tinggi daripada fasilitaor kecamatan. Atau contoh yang lain, sebut saja, misalnya, Korprov. Merasa diri paling hebat karena merasa menjadi orang nomer satu di Provinsi. Sebut saja misalnya FK, merasa diri hebat karena menjadi orang nomer satu di kecamatan, tempat bertanya orang "Desa" dalam menjalani program pengentasan kemiskinan. Ketika Program selesai, lalu jabatanpun hilang. Kini tanyakan pada diri. Jadi apa saya sekarang. Jika jawabannya tidak jadi apa-apa, hanya jadi seorang "Jobless". Maka, sesungguhnya, itulah kualitas diri kita  yang sesungguhnya. Sesungguhnya, kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Kehebatan tempo hari, bukan karena kehebatan diri. Tetapi, kehebatan yang dilekatkan pada posisi jabatan. Tidak lebih.  Ketika jabatan itu hilang, hilanglah semuanya.

Hikmah dari pengetahuan akan siapa diri kita sesungguhnya. Memudahkan kita untuk mengoreksi diri, merubah sikap. Jikapun, kelak, kita memiliki jabatan yang bagus, Pasca periode Jobless kini.  Kita akan menjadi pribadi yang baru. Pribadi yang menilai sesuatu dengan lebih jernih, tanpa terlalu terbebani dengan struktur posisi atasan-bawahan.

Tiga, Jadi kepompong, sebelum Kupu-kupu. Tak selamanya mendung itu kelabu, tak selalu susah akan abadi. Orang bijak, menyatakan, tak ada lebaran tanpa terlebih dulu puasa. Tak ada kelulusan sebelum ada ujian. Boleh jadi, kondisi pahit sekarang, hanya sebagai ajang peringatan, agar kita mau merasa syukur akan semua kemudahan yang selama ini telah hadir. Saatnya kita sekarang berpuasa, menjelang hari lebaran tiba. Akibat turunan dari sikap positif itu, kita akan ringan menjalani kondisi yang kurang menyenangkan, yang sekarang sedang kita jalani. Kondisi pshykis yang ringan, akan membuka peluang untuk berpikir kreatif, melihat setiap peluang yang ada. Meraih apa yang selama ini luput dari pandangan kita.

Peluang yang ada, jika dijalani dengan kesunggguhan dan pikiran jernih dan ringan, akan membuka peluang sukses lebih besar. Sekaligus, menutup kemungkinan sikap keceroboh yang berakibat kegagalan. Karena, kita tak ingin mengulangi kondisi sakit, seperti yang kini sedang dirasakan.

Kondisi diujung lorong kesusahan itu, diiktibarkan sebagai Kupu-kupu. Akan tiba saatnya kelak, Cantik dan terbang tinggi, meninggalkan jauh, kondisi sulit yang telah membelenggu selama ini. Atau menikmati hari lebaran diujung puasa yang selama ini dijalani.

Empat, Kita Bukan Lilin. Selama ini, nyaris semua fasilitator, merasa dirinya seorang motivator. Selalu mereka yang memberikan motivasi dan bimbingan agar warga binaannya, terbebas dari belenggu ketertinggalan. Baik ketertinggalan dari segi ilmu, dari segi informasi dan ekonomi. Tak sedikit diantara warga binaan fasilitator  itu telah berhasil. Menjadi pribadi atau kelompok yang sama sekali berbeda, antara sebelum adanya motivasi dan bimbingan dengan setelah ada motivasi dan bimbingan.  Jika untuk orang lain, kita mampu membuat mereka survive. Lalu, mengapa untuk diri sendiri tidak mampu? Bukankah, kita manusia? Bukan lilin. Membakar diri untuk sebuah kondisi lepas dari kegelapan, sementara diri sendiri terbakar dan hancur meleleh.

Dari keempat hikmah yang kita peroleh, dari kondisi Jobless yang kini sedang kita alami, lalu pertanyaannya, apa yang salah dengan kondisi Jobless itu? Bukankah, kondisi itu lebih banyak memberikan keuntungan daripada kerugian yang ditimbulkan. Bukankah ujian hanya butuh beberapa hari dari waktu bertahun-tahun yang kita habiskan di bangku sekolah. Bukankah kepompong hanya butuh beberapa hari saja, sebelum jadi Kupu-kupu yang indah. 

Saatnya kini, ex fasilitator untuk move on. Apakah program akan dilanjutkan lagi atau tidak, bukan masalah bagi kita. Yang menjadi masalah kita. Bagaimana segera bangkit. Kebutuhan anak Istri tidak menunggu apakah program akan dilanjutkan atau tidak. Cukuplah waktu tiga bulan untuk galau. Mulai besok, semuanya akan berakhir. Berganti dengan kerja. Kerja yang akan membuat bahagia  anak,  isteri dan lingkungan bahagia….. wallahu A’laam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun