Jika ada sesuatu yang hilang dari bangsa Indonesia tanpa disadari. Maka, itu adalah Toleransi. Maka, wajar jika sesuatu yang nyaris hilang itu, diusahakan untuk ditemukan kembali.
Tak dipungkiri, tak seluruhnya masyarakat, mengerti akan arti kata toleransi. Tetapi, mereka telah mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan toleransi bangsa ini mewujudkan sebuah Negara yang bernama Indonesia. Setelah sebelumnya, hanya berupa angan-angan pada sebagian orang.
Toleransi bukanlah sesuatu yang perlu diajarkan, kata-kata ini dalam segala padanannya, sudah dipraktekan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Bagaimana Soekarno yang Jawa dan Islam diterima dengan segala tangan terbuka pada daerah pengasingan di Ende. Bermain Tonil bersama masyarakat Ende di Gedung Imaculata yang nota bene milik Umat Khatolik Ende.
Dalam khasanah kepemimpinan awal-awal kemerdekaan, siapa yang tak mengenal M Natsir, sebagai pemimpin umum Partai Masyumi. Ignatius Joseph Kasimo tokoh Partai Khatolik serta Johannes Leimena dari Partai Kristen. Ketiga tokoh yang dalam berpolitik, berseberangan. Namun dalam kehidupan keseharian mereka, merupakan tokoh yang saling bersahabat. Bagaimana Natsir mengunjungi rumah I.J. Kasimo ketika Natal tiba untuk mengucapkan selamat Natal, sementara IJ Kasimo selalu mengunjung rumah Natsir ketika lebaran tiba. Di Parlemen, mereka pernah bersama-sama mengajukan mosi untuk menyelesaikan sengketa di tubuh Angkatan Perang.
Setelah Masyumi dibubarkan Soekarno, lalu Natsir aktif bergerak di Dewan Dakwah sekitar tahun 1967. Namun, persahabatan dengan IJ Kasimo dan J Leimena tetap berjalan akrab. Natsir selalu mengirimkan bingkisan bunga pada kedua sahabatnya itu, setiap tahun baru.
Pertanyaannya kini, mengapa jalinan kasih antar mereka yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda pandangan Politik dapat terjalin sedemikian rupa? Itulah yang perlu kita temukan. Memperoleh jawaban atas pertanyaan diatas, layaknya menemukan sesuatu miliki kita yang nyaris hilang. Bangsa ini pernah memilikinya. Namun, kini seakan telah nyaris sirna.
Secara sederhanyanya, toleransi hanya akan dapat terbina jika kita mampu melakukan hal-hal sebagai berikut:
Satu, Dapat menarik benang merah pada “persamaan”. Pada kasus contoh pada para pemimpinan kita diatas, mereka memiliki rasa yang sama dalam menilai persamaan. Mereka tidak memperbesar perbedaan yang mereka miliki. Namun, mencoba merekat persaudaraan itu, pada hal-hal yang sama. Ada rasa yang sama pada mereka, bahwa Negara ini baru saja merdeka, ada rasa yang sama bahwa perjuangan mengisi kemerdekaan baru saja dimulai, ada rasa yang sama bahwa landasan-landasan bernegara harus diperjuangkan dengan segala upaya yang ada. Namun, perjuangan itu, bagaimanapun kerasnya, selesai dalam ruang rapat-rapat pleno di gedung Parlemen saja. Tidak perlu dibawa dalam pergaulan keseharian mereka.
Dua, Menyadari Memang Kita Berbeda. Sejak awal, idealnya perlu disadari bahwa kita memang berbeda. Lalu, jika kenyataannnya memang tidak sama. So what? Kita memang berbeda kok. Untuk apa memaksakan agar kita menjadi sama. Tugas selanjutnya, bagaimana perbedaan itu, menjadikan sebuah harmonisasi yang indah. Seperti dinginnya udara pagi dengan hangatnya sinar Mentari pagi. Indahnya sebuah keluarga yang dibina oleh sepasang wanita dan Pria.
Mungkinkah semua itu dilakukan dan terjadi? Justru sangat mungkin. Bayangkan jika pagi yang dingin tanpa Mentari. Bayangkan jika rumah tangga terdiri dari sepasang wanita dan wanita atau pria dan pria. Bayangkan jika sebuah bangunan rumah tanpa menggunakan semen, pasir dan batu yang ketiganya jelas berbeda. Namun, ketika disatukan menjadi komponen bangunan yang menjadikan bangunan kokoh. Kemampuan untuk memadukan perbedaan menjadi harmonis inilah kuncinya Toleransi.
Tiga, Perlu kecerdasan. Dalam kebhinekaan Indonesia, dibutuhkan kecerdasan yang lebih pada masyarakatnya. Utamanya dalam meng’ekspresi’kan keberagamaan diantara mereka. Kecerdasan masyarakat kita, sudah terbukti ampuh mereka lakukan selama ini. Harap dibedakan antara “pintar” dan “cerdas”. Bukan hanya di kota, masyarakat desa, juga memiliki kecerdasan tak kurang dari mereka yang di kota. Contoh sederhana, ketika kita kehujanan ditengah perjalanan di daerah perdesaan dan mampir ke rumah penduduk, mereka dengan tangan terbuka menerima kita, ada air teh hangat atau kopi panas yang terhidang. Tuan rumah, tidak bertanya apa suku kita, apa agama kita. Tetapi, mereka hanya bertanya, dari mana dan mau kemana? Sebuah pertanyaan yang menunjukkan keakraban. Ketika terjadi pesalinan tengah malam pada tetangga, tidak ada pertanyaan, suku apa dia, apa agamanya. Refleks tetangga yang memiliki mobil segera mengeluarkan kendaraan dan mengantarkan sang calon Ibu ke RS.