Pagi minggu di Maumere, udara terasa sejuk, entah karena semalam turun hujan, hingga sebagian jalan protokol terdapat genangan air di beberapa titik, atau karena lelah dalam perjalanan antara Ende - Maumere sehari sebelumnya, terbayar lunas dengan pulasnya tidur tadi malam. Sebagai seorang yang berusia lima setengah dasa warsa, dan menempuh perjalanan seorang diri dengan motor roda dua, lelah tubuh merupakan bagian yang tak terbantahkan.
Selesai mengisi, BBM di Pom Bensin di perbatasan kota menuju Larantuka, mata ini menangkap penjual lontong sayur yang mengenakan Jilbab. Sebuah isyarat bahwa panganan yang dijualnya dijamin “halal”. Saya segera menepikan sepeda motor untuk sarapan.
Selesai dengan urusan perut pagi itu. Adagiumnya, daripada masuk angin, lebih baik masuk nasi. Saya bertekad untuk menuntaskan perjalanan hingga berakhir siang atau sore hari, di Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur. Kota Kabupaten yang terletak paling timur dari Pulau Flores.
Belum berapa lama motor yang saya kendarai berjalan, saya telah tiba di batas kota. Hal yang lumrah sebenarnya, jika saja, saya tak melihat sebuah patung besar yang menggambarkan seorang lelaki memegang golok di tangan kanan dan tameng pelindung diri di tangan kiri.
Siapakah lelaki yang dijadikan patung selamat datang kota Maumere itu? Pertanyaan yang menghentikan laju motor untuk meneruskan perjalanan. Saya harus tahu siapa dia? Apa perannya hingga mendapat penghormatan menjadi Ikon kota Maumere?
Dalam usaha mencari jawaban atas pertanyaan itu, saya menjumpai serombongan Jemaat yang baru saja pulang dari kebaktian minggu di Gereja terdekat. Mungkin, pada salah seorang Jemaat yang baru pulang kebaktian itu, saya akan memperoleh jawaban. Demikian yang terlintas dalam pikiran ini.
Benar, dari Jemaat yang saya temui dan dari beberapa sumber lain, saya memperoleh jawaban akan siapa tokoh yang dijadikan Ikon Maumere itu.
Semua kita tahu, bahwa Belanda menjajah Indonesia dari Sabang – Merauke. Setiap ada perlawanan melawan penjajah, itu artinya perlawanan rakyat melawan penjajah Belanda. Penyebab dari perlawanan rakyat, hampir dapat dipastikan, ketika beban rakyat sudah pada batas toleransi yang dapat ditanggungkan. Maka, melawan merupakan konsekwensi logisnya. Tak ada cara lain.
Demikian juga yang terjadi di Maumere. Penindasan Belanda sudah sampai pada puncaknya, ketika Belanda mengeluarkan aturan pajak baru. Kewajiban membayar 4 buah kelapa setiap pohon, ketika setiap kali petani kelapa, memetik hasil kelapa.
Bayangkan!. Harus menyetor empat buah kelapa, pada setiap pohon, ketika memetik buah kelapa. Itu artinya, besar pajak yang harus dibayar petani, mencapai 40 – 50 % dari pendapatan petani.