Rezeki nyaris dimaknai dengan jumlah uang yang dimiliki. Makin banyak uang dimiliki, makin banyak rezeki yang dipunyai. Begitu, hampir semua kita memaknai rezeki. Akibatnya, berlomba kita mengais rezeki, tepatnya, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Tujuannya, untuk dinikmati saat ini dan nanti.
Untuk mereka yang kini telah memiliki banyak uang, bagaimana tetap mempertahankan jumlah nominal pundi-pundi uangnya. Sementara, merancang untuk masa yang akan datang, dengan pertanyaan bagaimana jumlahnya pundi-pundi itu, semakin bertambah.
Sepintas pola pikir demikian terlihat baik dan ideal, patut untuk diikuti. Namun, pengalaman mengajarkan, bagaimana pola pikir demikian telah banyak menelan korban.
Dari mulai mereka yang tak mengenal siang dan malam, mengumpulkan uang, lupa makan dan istirahat, sehingga bonus lain dari uang yang diperoleh, berupa penyakit fisik dan pshykis. Lupa menikmati uang yang telah diperoleh, karena jumlah perolehan tidak sesuai dengan target yang direncanakan. Lupa bersyukur atas apa yang telah diterima, karena rencana masa depan masih meragukan apakah perolehan kelak, akan sama dengan nominal yang diterima pada saat ini.
Bayang-bayang masa depan yang suram begitu akut membawa petaka. Bagaimana orang tua berpikir, menyekolahkan anak-anak mereka, bukan dengan pertimbangan agar anak-anak memperoleh kebahagiaan hidup dengan ilmu yang dimiliki. Melainkan, agar anak dapat bekerja. Lalu, dengan bekerja, akan memperoleh uang sebanyak mungkin, dengan perolehan uang yang banyak itu, kebahagiaan akan menyusul dibelakangnya. Akibatnya, jangan salahkan anak, jika sang anak, ketika bekerja akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin, tanpa memilah halal dan haram. Alih-alih akan memperoleh bahagia, akhirnya berakhir di penjara.
Betapa banyak mereka yang akan memasuki usia pensiun, dihinggapi ketakutan akan masa depan yang suram. Alasannya, karena perolehan uang akan berkurang. Ketika masih bekerja, penghasilan murni dari gaji saja, sudah kurang. Lalu, bagaimana kondisinya, jika uang pensiun yang lebih kecil dari gaji, kelak akan mereka terima. Belum lagi tanpa penghasilan tambahan berupa uang tunjangan jabatan, dan lain-lain. Padahal pensiun belum dimulai, tetapi gelisah sudah dimulai dari sekarang.
Untuk menjamin bahwa sang buah hati yang telah menghabiskan uang tidak sedikit itu bekerja, tak sedikit orang tua yang bersedia memberikan suap, agar sang anak dapat bekerja sebagai PNS, ABRI, perusahaan Bonafide dll. Tujuan utamanya jelas, bukan kebahagiaan sang anak, melainkan bagaimana agar sang anak memperoleh kerja bagus, lalu memperoleh uang banyak dan terakhir bahagia. Jadi urutan kebahagiaan bukan prioritas. Hanya akibat samping dari runutan sebelumnya.
Dari uraian diatas. Bagaimana Islam memandang tentang rezeki? Apakah tujuannya sama?
Ternyata Islam memandang Rezeki dengan terminology yang berbeda. Islam memandang rezeki sebagai keseluruhan yang diterima manusia. Bukan hanya uang semata.
Kesehatan, kebahagiaan, kenyamanan, ketenangan jiwa semua masuk kategori rezeki. Rezeki bagi seorang muslim adalah sesuatu yang mutlak harus diterima. Rezeki bukanlah sesuatu yang musti dicari. Melainkan sesuatu yang musti dijemput.
Jika dicari, pengertiannya, adalah sesuatu yang keberadaannya belum pasti ada, bisa saja ada, atau juga tidak ada. Akibat pshykis yang diterima oleh sang “pencari”, tak adanya ketenangan jiwa. Karena usaha yang dilakukannya, masih dalam tanda tanya besar. Selanjutnya, kemana pertanyaan itu, akan dialamatkan.