Pagi masih baru saja tiba, nampak cerah dan gembira, semburat warna keemasan nampak diujung langit, memberitahukan bahwa sang surya sebentar lagi akan menyusul menghias sang cakrawala, mengirim sinarnya untuk kehidupan semesta, semua terlihat begitu indah dan menyenangkan. Sangat kontras dengan suasana rumah tanggaku pagi ini. Suasananya begitu krodit dan amburadul. Istriku terlihat kusut masai saja, tak biasanya dia belum mandi, kondisi yang sangat langka, sebab biasanya, sebelum subuh dia sudah mandi dan wangi, hingga ketika usai sholat subuh, disela-sela ketika dia menghidangkan kopi untukku, wangi tubuhnya sempat tercium oleh panca inderaku, harum tubuh itu pula yang terkadang menjadikan aku suka terlambat tiba di kantor, aku terkadang, tak dapat menghindar dari pesona tubuh dibalik harum wangi itu, hingga kami larut dalam lusuh, kusut masai terlempar dalam hempasan gelombang dahsyat pergumulan di pagi buta yang menggelorakan dan melelahkan, akibatnya mudah ditebak, aku terlambat tiba di kantor.
Namun, pagi ini, suasana sungguh berbeda. Tak ada kopi, tak ada istri yang duduk di samping untuk menemaniku ngopi. Istriku tak pergi kemana, dia ada di rumah ini, hanya duduknya di ruangan dalam, tak di beranda, di sebelahku. Juga belum mandi, hingga tak wangi dan tak cantik. Seperti halnya, suasana rumah tangga ini, tak ada canda, tak ada tawa, hanya cemberut dan sindiran-sindiran halus, yang membuat telinga ini rasa tak nyaman mendengarnya. Benar-benar suasana rumah tangga yang tak wangi dan tak cantik.
Semua berawal, ketika cerpenku berjudul “selingkuh” di muat di harian “M” minggu. Penayangan tulisan yang membuatku benar-benar bahagia sekaligus tersiksa. Bagaimana tak bahagia? Cerpen itu berhasil menjadi tulisan cerpen terbaik pada harian “M” untuk tahun 2013. Aku yang penulis amatiran, berhasil memenangkan lomba tulisan pada harian keren Ibu Kota, mengalahkan penulis professional, pengarang, sastrawandan mereka-mereka yang menjadi peserta lainnya.Mereka yang selama ini menjadi idolaku, tak sengaja aku kalahkan. Berbagai ucapan selamat masuk ke ponselku, dengan berbagai variasi ucapan yang sedikit “nakal”. Seperti; tulisan yang menceritakan pengalaman pribadi, tulisan yang menceritakan kisah nyata, ingin mengalami seperti apa yang aku alami, tolong berikan kiatnya agar bisa di copy paste dll.
Tersiksanya, karena istriku, terpengaruh dengan variasi ucapan-ucapan nakal itu, lalu hanyut dengan prasangka dan kesimpulannya sendiri. Dia jadi percaya dengan variasi ucapan itu. Aku yang bekerja sebagai orang proyek, memang suka tugas keluar kota, apalagi jika ada kerja sampingan, maka frekwensi keluar kota akan makin sering dan kadang untuk waktu yang lama. Dalam kondisi demikian, maka perselingkuhan mungkin saja terjadi. Bahkan sangat mungkin terjadi. Mengingat aku yang memang ganteng. Hehehe… paling tidak ini menurut versi penilaian isteriku.
Tiba-tiba ponselku berbunyi;
“Kamu sehat Ben? Bagaimana dengan isterimu?” suara di seberang sana bertanya tentang kesehatanku dan isteri. Suara yang sangat aku kenal. Pak Sasmita, Bapak Mertua
“Semua Sehat Pak, Bapak sama Ibu tentu sehat semua?” jawabku, surprise juga, gak biasa Bapak Mertua menelponku. Atau ada hubungan dengan ketegangan yang terjadi dalam rumah tanggaku belakangan ini, ah.. aku jadi sensitive, berprasangka yang bukan-bukan.
“Bapak sudah rindu sama kalian semua, kalau ada waktu, datang ke rumah ya. Kebetulan kolam Ikan Mas, sebentar lagi akan panen” kata suara di seberang sana lagi. Ah… Bapak Mertuaku, selalu tahu, kalau aku suka makan Ikan Mas. Perhatian begini, yang membuatku benar-benar merasa memiliki orang tua sesungguhnya. Maklum aku yang yatim piatu sejak kecil, selalu haus akan perhatian orang tua.
“Baik pak, sore nanti ke rumah pak, InsyaAllah” jawabku singkat. Untuk Bapak Mertuaku, apa yang tidak akan aku lakukan. Untuk anak Mertuaku saja, aku sanggup membaktikan semua kerja dan hidupku, apalagi untuk orang yang telah melahirkan dan mengasuhnya dengan sepenuh cinta. Soal kerja, semuanya bisa diatur, kalau perlu, nanti aku akan buat alasan yang logis, sehingga pihak tempat aku kerja, bisa maklum akan ketidak hadiranku satu dua hari.
****
Aku, Isteriku, Ibu Mertua, Bapak Mertua dan Wak Ahmad sudah duduk di ruang tengah rumah Bapak Mertuaku. Agaknya, perkiraanku benar, kehadiranku di rumah ini, memang ada kaitannya dengan prahara rumah tangga yang kini sedang kualami. Wak Ahmad, adalah tokoh Agama yang semua kami segani, beliau sungguh bijak, pemahamannya tentang agama sangat mumpuni, kesimpulannya selalu kami rasa benar dan memberikan solusi. Kalau tidak menyangkut soal rumah tanggaku, lalu kenapa pula, Wak Ahmad harus dihadirkan.
“Bapak sebenarnya menganggap masalah kalian, masalah salah mengambil kesimpulan saja. Lalu karena dibumbui dengan cemburu, masalahnya seakan pelik, tapi solusinya sangat gampang” begitu, Bapak Mertua memulai pembicaraannya. Kulihat isteriku menunduk saja, apa malu atau apa, aku sendiri kurang tahu. Ibu Mertua wajahnya tetap teduh, tak ada tatapan menyalahkan disana, baik untukku maupun untuk isteriku. Wak Adam masih diam saja, sebagaimana biasa, orang yang kami hargai itu, tak bicara jika tak dianggap perlu atau kami minta untuk bicara.
“Sekali lagi, bapak anggap solusinya sangat gampang” tutur Bapak Mertua lagi. Agaknya, beliau mengulangi soal solusi gampang, agar aku bertanya, bagaimana solusinya. Tapi, aku tetap diam, aku ingin beliau sendiri yang menguraikan solusinya. Tokh, menurut beliau, solusinya hanya gampang saja.
“Solusinya, nanda bercerita pada kami dengan jujur, apa sebenarnya yang terjadi? Setelah nanda bercerita, kami akan dapat kesimpulan, dengan demikian, masalahnya dapat kita selesaikan, sesuai dengan kesimpulan yang kami dapatkan nanti. Begitukan Wak Ahmad” tutur Mertuaku, sambil minta pendapat Wak Ahmad.
“Ya… begitulah, ceritakanlah dengan jujur nak Ben, kita harus mendengarkan seluruhnya, hingga kesimpulan kita jadi benar. Jika data tidak utuh, Wak kuatir, kesimpulannya jadi tidak utuh pula” jawab Wak Ahmad pula, mendukung usulan Mertuaku.
“Silahkan Cerita nak Ben..” kata Bapak Mertua, menyuruhku untuk cerita.
Sebenarnya, tak ada kejadian yang luar biasa pak. Nanda mengerjakan seperti yang biasa nanda kerjakan. Tetap bekerja setiap hari, jika ada kerjaan keluar kota, tetap keluar kota, jika ada kerjaan sampingan akan nanda ambil juga, disamping, jika pada waktu-waktu luang, nanda menulis. Suatu waktu, lepas nanda sholat Ashar, di beranda Mesjid, nanda termenung. Apakah pekerjaan sampingan yang nanda kerjakan selama ini sudah benar? Bukankah dengan mengerjakan pekerjaan sampingan itu, nanda sudah korupsi waktu terhadap pekerjaan pokok nanda. Karena, korupsi sesungguhnya, bukan saja terhadap uang atau materi, tetapi bisa juga terhadap waktu. Apakah dengan mengambil kerjaan sampingan itu nanda tidak berbuat dzalim pada isteri nanda, karena dengan pekerjaan sampingan, nanda harus meninggalkan rumah hingga berhari-hari. Dengan korupsi waktu, nanda menghasilkan uang, lalu uang itu, ketika nanda berikan pada keluarga, termasuk uang halal atau uang haram.
Perilaku menerima pekerjaan sampingan itu, persis seperti perilaku orang selingkuh, sedapat mungkin dilakukan tanpa diketahui kantor resmi tempat nanda bekerja, dikerjakan dengan sembunyi-sembunyi dari pekerjaan yang sesungguhnya. Akhirnya nanda memberi lebel pekerjaan sampingan itu sebagai selingkuh. Di beranda Mesjid itu, selesai Ashar, perilaku selingkuh itu sangat mengganggu pemikiran dan perasaan nanda.
Malamnya, dengan bekal perasaan bersalah dan kecamuk pikiran tentang selingkuh itu, nanda menulis cerpen, judulnya “selingkuh”.Bagaimana gejolak rasa dan pikiran lelaki dewasa yang telah berselingkuh dari isteri yang syah. Nanda ceritakan secara detail dan terperinci. Tokoh isteri syah itu, sebenarnya adalah personifikasi tempat kerja resmi nanda, tokoh selingkuhan itu, sesungguhnya adalah personifikasi tempat nanda kerja sampingan. Sungguh sebuah cerpen yang sangat bagus yang pernah nanda hasilkan.
Masalahnya kemudian, cerpen nanda itu, menjadi cerpen terbaik versi harian M, nanda terpilih sebagai cerpenis terbaik tahun ini, lalu berdatangan ucapan-ucapan selamat dengan variasi ucapan nakal, seakan yang nanda tuliskan itu, benar adanya dalam kehidupannya nyata. Mereka mengatakan, pelakunya nanda sendiri. Masalahnya belum selesai disitu saja, isteri nanda akhirnya ikut percaya dengan cerita cerpen itu, bahwa nanda telah melakukan selingkuh, ketika kerja di luar kota.
Itulah sesungguhnya pak, cerita ini, tidak nanda lebihkan atau kurangi, nanda sampaikan dengan sejujurnya, pada Ibu, Bapak dan Wak Ahmad nanda malu untuk berbohong, pada Allah, nanda takut Murkanya, jika nanda berbohong.
Kulihat isteriku, dari sudut mataku, mulai sesenggukkan menahan tangis penyesalan akan kesalahan kesimpulan yang telah diambilnya, melihat itu, aku sudah tak peduli lagi pada apa yang akan dikatakan Bapak Mertua, demikain juga dengan apa yang akan diwejangkan oleh Wak Ahmad. Yang penting bagiku, prahara rumah tangga ini, akan segera selesai dan berakhir bersama jatuhnya air mata isteriku, disela-sela sesenggukan isak tangisnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H