Ini kisah lama di Stasiun Gambir. Ketika Gambir masih di atas permukaan tanah, belum dibuat megah seperti sekarang. Sehingga Kereta Api berada dilantai dua.
Sambil menunggu KA datang yang akan membawa saya ke Bandung. Seorang teman yang searah dalam perjalanan ke Bandung, pria usia senja yang baru saya kenal di Stasiun Gambir siang itu, dengan menggebu-gebu menceritakan tertibnya lalu lintas Jakarta pada Era Belanda, Jernihnya sungai Ciliwung pada Era Belanda. Bahkan Noni-noni Belanda tak jarang, mandi di sungai yang berada di depan Bina Graha.
Lelah dengan segala celoteh kehebatan Jakarta pada Era Belanda, dengan sedikit berkelakar saya berkata;”Bagaimana kalau kita undang kembali Belanda ke Indonesia, untuk membenahi Jakarta?”. Mendengar kelakar saya, sang Bapak terkejut dan menyatakan tak mungkin hal itu dilakukan. Karna masalahnya bukan hanya sekedar pada lalu lintas yang lancar dan sungai yang bersih. Melainkan juga pada Arogannya sang Belanda pada masyarakat kecil.
Mengapa saya menuliskan nostalgia di Stasiun Gambir tempo dulu?
Karna, warga Jakarta sebentar lagi akan menghadapi pilkada. Sebuah pesta demokrasi yang akan menentukan siapakah yang akan menjabat sebagai Gubernur untuk lima tahun ke depan. Di tangan pemimpin Jakarta itulah, wajah Jakarta akan banyak ditentukan. Untuk itu, pilihan yang dijatuhkan jangan salah. Hal demikmian, semakin krusial mengingat Jakarta adalah Ibu kota Negara. Sehingga apa yang terjadi di Jakarta gaungnya akan terasa ke daerah.
Mengambil iktibar dari obrolan di Stasiun Gambir tempo dulu, ternyata untuk menjadi seorang gubernur, pertimbangannya, bukan hanya mampu menjadikan kali bersih dan jalanan lancar. Masih banya dimensi lain yang dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Seperti, Dimensi Perilaku, Tata krama, sopan santun, menghargai wanita, tidak arogan, memiliki empati yang besar pada masyarakat kecil, cerdas mengambil keputusan, sehingga tidak menimbulkan kegaduhan dari kebijakan yang diambil, mampu dan mau merangkul masyarakat Jakarta yang heterogen dengan segala suku, agama dan asal-usul mereka datang. Tidak sok pintar, karena di Jakartalah hampir semua cerdik pandai tinggal, mampu membangun Jakarta dengan tidak meninggalkan akar budaya asli masyarakat Jakarta. Tidak melakukan melakukan hal-hal kontra produktif dengan usil dengan hal-hal yang bukan domain tugas sang Gubernur
Lalu, siapakah Calon Gubernur yang memenuhi criteria diatas? Masyarakat pemilihlah yang lebih tahu. Adagiumnya, bukankah masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang sudah cerdas.
#suksesuntukpemilukadajakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H