Menan perlahan menapak anak tangga turun menuju daratan, tak bergegas dia, tak ada yang perlu dikejar, perlahan saja. Menan membiarkan penumpang lain turun dulu, penumpang yang bergegas agar segera tiba di rumah. Sedangkan Menan, apa yang dia kejar? Tak ada.
Satu-satu anak tangga turun dia tapaki, dia nikmati sepenuhnya, sesekali matanya dia arahkan ke sekeliling Dermaga Muara. Setiap detail dari Muara ini, Menan hapal betul. Tempat yang dulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Menan. Di sanalah, pada tiap detail Dermaga ini, Menan habiskan masa anak-anaknya. Â
Itu salah satu sebab, mengapa Menan masih menggunakan Kapal laut untuk pulang. Ada keterikatan emosi pada Menan tentang Dermaga ini, tentang laut, tentang kapal dan jarak ke rumah dan Mandeh. Meski, semuanya sudah berubah. Namun, masih tersisa harapan pada Menan untuk menelusuri jejak itu, mengais sisa dari masa lalunya, sekecil apapun sisa yang yang masih dapat dia raih.
*****
"Pergilah nak, suatu waktu kelak kau akan kembali jua" kata Mandeh, sambil mengelus kepala Menan.
"iya Mandeh" jawab Menan, haru sangat hati Menan meninggalkan Mandeh sendiri.
"Merantaulah. Anak bujang di negeri kita, memang harus merantau" lanjut Mandeh.
"Iya Mandeh" jawab Menan lagi, pendek.
"Mandeh akan menunggu Nak. Dermaga Muara akan senang kalo kau kembali"
Tak ada kata lagi yang diucapkan Mandeh, tak ada peluk Menan pada Mandeh, tak ada peluk Mandeh pada Menan, yang ada hanya elusan tangan Mandeh pada kepala Menan. Pada anak semata wayangnya, yang diusia sangat muda, karena budaya yang kaku, mengharuskan sang putra untuk merantau.
Diluar perkiraan Menan, itulah terakhir kali dia melihat Mandeh, merasakan elusan tangan sang Mandeh pada kepala Menan. Karena, ketika dia pulang, Mandeh telah terbujur kaku diatas sejadahnya menantikan kepulangan sang anak tersayang. Menan.