Jam menunjukkan pukul dua belas, tengah hari bolong. Mentari tepat tegak lurus di atas kepala, udara begitu cerah, tak satupun awan diatas, semua biru, sinar Mentari tembus tak terhalang sesuatu apapun membakar bumi. Memang di bulan Juni, sudah biasanya demikian. Kemarau ini masih akan berlangsung lama, kira-kira tiga hingga empat bulan ke depan.
Ari melambaikan tangan, menggapai sekumpulan tukang ojek yang sedang mangkal. Seorang diantara mereka mendekati Ari, agaknya tukang ojek itu sudah kenal dengan Ari
“Pulang Kang” demikian tukang Ojek
“Hehehe… iya” Jawab Ari
Ari segera menaiki ojek yang arahnya sudah diketahui oleh tukang ojek, perjalanan ini akan menuju rumah di kampung, perjalanan yang sebenarnya dengan jarak dekat, hanya delapan kilo meter. Tetapi, medan yang ditempuh bukan ringan, melewati satu sungai Cikandea yang besar, Jembatangantung dengan panjang lima puluh dua meter, dan jalan yang seluruhnya masih tanah merah.
Tidak jarang, jika musim hujan, jarak yang delapan kilometer itu, ditempuhdengan jalan kaki. Ari hapal betul kapan dia harus pulang, pertimbangannya, bukan pada hari libur atau tidak, karena dia kini sudah bebas dari soal tetek bengek mengisi absen, Ari yang kini adalah pengusaha sukses. Ari bisa kapan saja meninggalkan kantor, kapan saja dia mau untuk masuk kantor. Tetapi untuk pulang kampung, dia tidak dapat melakukan hal demikian. Ari harus tahu betul, kapan ketika dia pulang kampung, kondisi cuaca harus tidak hujan. Kepastian itu penting, jika Ari tidak ingin jalan kaki sepanjang delapan kilometer untuk sampai di rumahnya. Dulu, kondisi demikian, tak begitu jadi masalah baginya. Tetapi kini, sulit baginya membayangkan untuk jalan kaki sepanjang jarak delapan kilo itu.
******
Sore itu, udara cerah, langit di atas hanya sedikit dihiasi awan berwarna putih, tak ada tanda-tanda hujan. Udara terasa sejuk, karena kampung ini, memang berada cukup tinggi di atas permukaan laut, pada anak kaki Gunung Gede.
Di pendopo rumah, ayah sedang duduk, dengan kopi kental dan ubi jalar rebusnya, dua jenis penganan yang menjadi pavorit ayah. Di sebelahnya duduk Ari.
“Bagaimana dengan usahamu Ri?” Tanya ayah
“Alhamdulillah lancar yah..” Jawab Ari singkta.
“Lalu bagaimana rencanamu selanjutnya?”
“InsyaAllah yah, Ari akan ikut nyaleg”
“Pertimbangannya apa?” tanya ayah, ingin tahu apa yang ingin dicapai Ari dengan rencananya nyaleg.
“saya ingin agar daerah kita ini maju yah, dengan jadi bagian dari mereka yang mengatur lalu lalang kebijakan pemerintahan, saya akan lebih banyak berbuat untuk kampung kita ini”
“Kamu yakin dengan rencana dan pemikiran itu?”
“Yakin… yah” Jawabku mantab.
“Ayah kok berpikiran beda Ri”
“Maksudnya?”
“Coba kamu liat Nandar, Syaiful dan Taufik, semua mereka menjadi anggota legislatif. Tetapi apa yang berubah dengan kampung ini? Tetap sama, tak ada perubahan, sejak mereka jadi anggota dewan terhormat, hingga mereka menyelesaikan tugasnya. Semuanya tetap sama. Okelah, mereka bukan dari kampung ini, mereka dari kampung sebelah. Tapi coba kamu lihat, apa yang sudah berubah pada kampung mereka. Tak ada perubahan. Tetap sama. Kalaupun ada perubahan. Perubahan itu terjadi pada pribadi Nandar, pribadi Syaiful dan pribadi Taufik. Mereka kini jauh lebih kaya, lebih terhormat, jauh dari Mesjid dan jauh dari masyarakat yang dulu memilih mereka. Padahal ketika belum terpilih dulu, mereka dekat dengan masyarakat, dekat dalam artian fisik mereka dan dekat dalam artian rezeki yang mereka miliki. Tetapi kini? Iya seperti yang ayah sebutkan tadi”
“Lalu… menurut ayah, bagaimana baiknya?”
“Kamu beda dengan mereka Ri, secara materi, kamu memiliki harta yang jauh diatas mereka. Pendidikanmu jauh diatas mereka, kamu satu-satunya di kampung ini, bahkan di kecamatan ini yang memiliki gelar S2, Jadi apa yang kamu cari dengan nyaleg? Kalo untuk harta, kamu sudah punya segalanya, kalau untuk gengsi kamu sekarang memiliki gengsi diatas mereka, bukan hanya di kampung ini, tetapi juga di kota sana, dimana kamu sekarang tinggal. Kalo untuk mengabdi pada masyarakat kampung ini, contoh ketiga orang sebelumnya sudah cukup bagimu untuk mengambil pelajaran.”
“Lalu..”
“Kenapa kamu gak langsung saja pada pointnya. Kamu langsung majukan Desa ini dengan ilmu dan hartamu. Kamu bisa ajarkan pemuda-pemuda Desa ini dengan berbagai ilmu yang kamu miliki, misalnya kamu ajarkan mereka ilmu bangunan dan Tekhnik Sipil, lalu dengan ilmu yang telah kamu tularkan, pemuda-pemuda itu kamu kerahkan untuk membangun jembatan diatas sungai Cikandea. Sehingga tidak ada penduduk yang terjatuh ketika menyeberangi sungai Cikandea, kamu dapat kerahkan pemuda-pemuda yang telah kamu bekali ilmu itu untuk membangun jalan di Desa kita, yang hanya delapan kilo meter ini, sehingga menjadi jalan aspal atau beton. Ingat Ri, Desa kita hanya selemparan batu saja dari Ibu kota Negara Besar yang disebut Indonesia, tetapi kondisinya memprihatinkan. Sejak zaman Belanda hingga zaman SBY kondisinya sama saja”.
“lalu..”
“Kamu bisa ajarkan kaum perempuan berbagai kerajinan dan usaha-usaha rumahan yang selama ini luput dari mereka. Dengan Jembatan yang bagus, jalan yang bagus, tenaga pengrajin yang cukup tersedia dan pemuda-pemuda Desa yang telah melek tekhnologi, kamu bisa alihkan usahamu yang di kota ke Desa kita. Desa ini sudah ada listrik, TV sudah nyala, signyal Internet sudah tersedia. Jadi kamu tidak bakal tertinggal dalam hal informasi. Yang jadi masalahnya, Desa ini belum ada motivator, sekaligus mereka yang mau membimbing step by step penduduknya. Ayah yakin, semua itu dapat kamu lakukan.”
“lalu…”
“Diatas segalanya, ayah sudah tua, jika semua yang ayah sebut tadi bisa kamu lakukan, kamu akan tinggal dekat ayah, dengan semua prestasimu yang akan kamu kerjakan kelak, maka kamu akan dengan mudah menggantikan ayah kelak, sebagai kepala Desa. Anakmu Faisal akanada yang mengurusnya, karena Rini kini telah menjanda, suaminya terbawa hanyut sungai Cikandea dua tahun lalu, dengan kesendiriannya tanpa anak, ayah yakin dia akan mau mendampingi hidupmu, bukankah dia dulu, teman kamu ketika sama-sama sekolah dasar”
******
Diatas ojek yang menurun tajam dan berdebu itu, Ari sudah tidak sabar ingin segera tiba di rumah. Tekadnya sudah bulat untuk segera membangun Desanya, memenuhi semuakeinginan ayah, yang juga merupakan mimpi besarnya. Menjadikan Desanya berubah. Kerja optimal pada titik pointnya. Bukan berputar-putar tanpa pernah menyentuh akar masalahnya. Ari masih ingat, seminggu sebelumnya, bagaimana ketua partainya membuat hitung-hitungan untuk nyaleg dibutuhkan dana sebesar Dua Milyard. Sejak itu dia putuskan untuk keluar dari partai. Dua Milyard bukan nominal sedikit jika di bawa pulang kampung untuk membangun Desa. Dengan bekal dana dan ilmu yang dimilikinya Ari yakin akan mampu merubah Desa dimana dia dilahirkan dan dibesarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H