Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kedai Kopi, Ini Dunia Laki-laki Bung!

16 September 2015   14:41 Diperbarui: 16 September 2015   14:47 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="kopi Aceh....maknyussss (dok.Pribadi)"][/caption]Ketika Kompasianival tahun 2014, saya ketemu dengan Boss Penerbit Jentera Pustaka. Lelaki yang sayang keluarga dan Bapak yang baik untuk anak-anaknya. Kami ngobrol kesana-kemari, hingga beliau akhirnya bertanya tentang asal daerah saya. Ketika saya sebutkan asal daerah saya, beliau menyebutkan, jika beliau juga berasal dari daerah yang sama. Bahkan Kampung kecilnya, hanya terpisah Desa saja dengan saya.

Satu hal yang saya ingat dari pertemuan itu, beliau mengatakan, mengapa banyak penulis-penulis handal lahir dari daerah beliau? Jawabnya, dikarenakan adanya budaya “maota di lapau”.

Sebuah budaya ngobrol di warung kopi. Yakni, budaya bergaulnya para laki-laki setelah penat ke ladang atau sawah atau selepas Isya untuk sekedar melepas lelah, menghabiskan waktu sejenak di kedai kopi. Pada saat maota, segala topik dibicarakan, dikupas habis, hingga hal-hal yang kadang tak terpikirkan sebelumnya. Hal yang kadang menyerempet-nyerempet bahaya, meminjam istilah Sutan Batugana, “ngeri-ngeri sedap”. Dari budaya maota ini, jika bahasa lisan dalam pergaulan maota itu, dirubah menjadi bahasa tulisan, maka dengan mudah, menjadi sebuah tulisan.

Apakah benar analisa beliau? Wallahu A’laam. Benarkah budaya maota memberikan kontribusi akan lahirnya penulis handal? Saya sendiri kurang tahu. Tapi, satu hal yang pasti, dari daerah beliau, memang banyak lahir penulis-penulis handal.

Bahkan legenda Koran yang hidup hingga kini, Adinegoro berasal dari daerah beliau. Nama Asli Adinegoro adalah Djamaluddin gelar Datuak Marajo, lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904, meninggal di Jakarta, 8 Januari 1967 pada usia 62 tahun. Dari nama dan tempat lahir beliau, kita tahu darimana asal Adinegoro. Djamaluddin gelar Datuak Marajo adalah adik kandung dari sastrawan dan pejuang Muhammad Yamin.

Jika saja, saya tidak pernah ke Sumatera Barat, ke Sumatera Utara, atau daerah-daerah yang kental dengan Budaya Melayu-nya, juga kental dengan budaya maota atau dengan istilah lain pada daerah yang lain pula, seperti budaya Kombur-kombur di Sumatera Utara, saya tentu akan, beranggapan bahwa apa yang dikatakan Boss Jentera Pustaka itu, hanya ilmu yang digatuk-gatukkan saja. Sesuatu kebetulan, yang dicari-cari pembenarannya, dengan cara dipas-pasin.

Bukankah di Jakarta, juga kota-kota besar lain, ada warung kopi? Bahkan pada era delapan puluhan dan Sembilan puluhan ada istilah yang terkenal dengan coffe shop, dan pada era selanjutnya, dikenal warung kopi yang beken-beken seperti starbuck dll?  Bukankah pada warung kopi itu, juga dilakukan budaya maota?  

Pada kegiatan yang kasat mata, seakan-akan memang sama. Tetapi, secara prinsip, terdapat perbedaan yang mendasar. Pada warung kopi, katakan seperti coffee shop dan Starbuck, para pengunjungnya terdiri dari laki-laki dan wanita. Tujuan mereka datang, juga dengan berbagai alasan, mulai dari kencan, rendezvous, hingga kepentingan bisnis. Tetapi, pada kedai kopi untuk acara maota, pengunjung yang datang, seluruhnya lelaki, tujuannya hanya satu, sebagai ajang komunikasi sesama pengunjung, silaturahmi sesama anak negri, relaks sejenak. Tak ada kepentingan lain yang dituju selain itu.

Akibatnya, jika dalam budaya maota itu, diisi dengan pembahasan tertentu, maka semangat yang lahir disana, semangat mencari kebenaran, mencari informasi yang akurat berserta kajian yang mengiringinya tanpa kepentingan dan tujuan apa-apa. Sekritis dan setajam apapun kajian yang dibahas, semuanya hanya untuk konsumsi  mereka sendiri, tanpa ditunggangi dengan kepentingan diluar komunitas itu. apalagi dengan tujuan mencari keuntungan dibalik itu. Istilahnya Medannya, sekedar melepas suntuk.

Dipertengahan tahun delapan puluhan, ketika itu, saya yang masih aktif di dunia konstruksi, di kirim ke Medan untuk membangun sebuah Bank Swasta Nasional di sana. Di Medan inilah saya berkenalan dengan budaya “maota”.

Di kedai kopi yang seluruh pengunjungnya lelaki itu, suasana yang tercipta sungguh akrab, sesuai dengan namanya, kuliner yang tersedia terdiri dari kopi, biasanya kopi Aceh, yang cara pengajiannya, berbeda dengan yang ada di Pulau Jawa, bubuk kopi tidak dimasukkan ke dalam gelas, lalu gelas dituang air panas. Melainkan, Kopi di masukkan ke dalam jaring yang khusus untuk itu, lalu air mendidih di tuang ke jaring yang sudah diberi kopi. Hingga air kopi yang masuk ke dalam gelas tidak mengandung bubuk kopi lagi. Sebagai teman dari kopi, biasanya ketan –dalam bahasa Melayu sering disebut dengan pulut-  dan pisang goreng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun