Perbincangan tentang kandidat Presiden, ternyata makin hari makin tidak sehat. Saya maklum, jika perbincangan itu dilakukan di warung kaki lima, di warung-warung kopi, dimana saya suka sekali menghabiskan waktu luang disana. Tetapi bagaimana jika perbincangan itu di lakukan oleh orang yang “melek”. Baik melek terhadap informasi apalagi melek terhadap politik.
Peristiwa ini, terjadi dalam perjalanan Mudik kemarin. Saya yang sedang berada di rumah seorang sahabat, akhirnya terpaksa mendengarkan pembahasan tentang kandidat Presiden. Pembahasan yang sesungguhnya saya sendiri tidak suka. Karena prinsip saya, siapapun Presidennya, mereka tetap manusia, yang tak luput dari kelebihan dan kekurangannya.
Pembahasan yang saya dengar, mengkritisi Kandidat Prabowo. Sesuatu yang awalnya saya suka, tetapi makin lama, makin terperosok pada hal-hal yang bersifat pribadi. Maka ketika itulah, saya jadi kurang suka. Prinsipnya, seperti diatas tadi. Mereka tetap manusia, yang tak luput dari kekurangan dan kelebihannya.
Diantara pembahasan tentang Prabowo itu, adalah….
Satu, Prabowo tidak memiliki kans untuk menjadi Presiden terpilih, karena selisih jumlah suara yang delapan juta bukan hal yang sederhana untuk dikejar, termasuk jika pemilu pilpres diulang, mendengar pemaparan ini saya ikut setuju, meskipun dari sahabat lain yang berada di kubu Prabowo memberikan argument lain. Bahwa untuk menang kemungkinan itu tetap ada.
Dua, Prabowo hendaknya menyadari kekeliruannya untuk masuk dunia politik, dengan kekayaannya yang beliau miliki, Prabowo bisa melakukan sesuatu yang besar, misalnya dengan memberikan bea siswa pada anak-anak bangsa yang cerdas, yang sangat membutuhkan biaya guna menuntaskan pendidikannya. Mendirikan sekolah-sekolah ketrampilan, atau merehab sekolah-sekolah di pedalaman yang kondisinya sangat memprihatinkan. Terhadap usulan ini, saya juga setuju, meskipun bagi pendukung Prabowo. Semua usulan itu, telah dilakukan Prabowo, mereka mengeluarkan data, berapa ribu anak asuh didik Prabowo, berapa sekolah yang sudah direhab Prabowo.
Tiga, Prabowo hendaknya lebih fokus pada hal-hal yang bersifat kemanusiaan, sebagai bentuk penebusan dosanya, karena selama ini disebut pihak pelanggar hak azasi manusia. Caranya, mendirikan rumah sakit khusus untuk mereka yang tak mampu, mendirikan panti-panti jompo, sehingga dengan demikian, maka Prabowo bisa dianggap menjadi dewa penyelamat, seorang Filantropis. Terhadap usulan ini, saya juga sepakat, meskipun dari pihak pendukung Prabowo, hal itu telah dilakukan Prabowo, meskipun belum banyak diketahui oleh publik.
Empat, terhadap semua yang telah dilakukan oleh Prabowo itu, apakah kepedulian pada pendidikan anak bangsa, atau kegiatan sosial kemanusiaan, hendaknya Prabowo menghindarkan diri dari pemberitaan media massa. Karena prinsipnya, tangan kanan memberi, tak perlu tangan kiri mengetahuinya. Pengingkaran terhadap prinsip ini, hanya akan membuktikan bahwa Prabowo, benar-benar telah menghidap penyakit Jiwa yang bernama Megalomania. Pernyataan terakhir ini. Membuat saya sangat kaget, begitu prematurnya kesimpulan yang dibuat sahabat saya, yang selama ini, saya kagumi dengan pemikirannya yang jernih.
Belum habis rasa kaget saya. Sahabat saya yang lain, pendukung Prabowo segera menimpali. Kalau begitu, Jokowi lebih akut sakit Jiwa Megalomania nya, bagaimana tidak, Prabowo dengan kurasan koceknya yang tidak sedikit, disebut Megalomania hanya karena diberitakan media, lalu bagaimana dengan Jokowi yang tanpa menguras koceknya, lalu masuk Got di Jalan Thamrin, diberitakan dengan gegap gempita oleh Media.
Nah lho….
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI