Sejatinya, hidup itu berbagi. Dalam berbagi, semua jadi indah. Berbagi, posisinya lebih tinggi dari kewajiban, ketika,kita sepakat akan membayar ongkos Ojek sepuluh ribu. Maka, kewajiban kita membayar sepuluh ribu. Tetapi, ketika kita membayar lebih dari kesepakatan awal, itulah berbagi. Ada empati yang mengiringinya, ada cinta yang terejawantahkan.
Suami cinta isteri, atau sebaliknya. Bentuknya abstrak, apa konkretnya? Ketika keduanya saling berbagi. Baik ketika suka maupun ketika duka. Dalam berbagi, cinta terimplementasikan, terwujudkan. Tak selalu indah, berbagi dalam kedukaan.juga bentuk dalam cinta.
Seorang Ayah mencintai anaknya demikian sebaliknya, seorang bu mencintai anaknya demikian sebaliknya, dalam bentuk nyatanya, terreflesikan dalam bentuk berbagi. Dalam perhatian dan pemberian. Dalam bentuk nyatanya, tak selamanya ibu atau Ayah selalu dalam kondisi tersenyum, mungkin saja cemberut atau bahkan marah. Sebabnya jelas, dalam bentuk pemberian seperti itulah mungkin yang terbaik, untuk sang anak ketika itu. Latar sebabnya juga jelas, ada rasa cinta yang mengiringinya dibalik peristiwa cemberut atau marah sang orang tua.
Dalam memberi, soal nominal atau kuantitas, bukan menjadi ukuran. Tak selalu berbanding lurus antara kuantitas pemberian dengan kualitas pemberian. Yang menjadi ukuran adalah rasa dan alasan dibalik pemberian itu. Apakah ada pamrih atau tidak ketika pemberian dilakukan. Semakin tak memiliki pamrih, semakin tinggi kualitas pemberian itu. Adagium tak berpamrih itu, bagaikan sang surya menyinari dunia.
Tak ada seorang ibu, yang rela menyabung nyawa, ketika menyambut kedatangan sang buah hati, berharap untuk sebuah upah materi kelak, dari sang anak. Tak ada seorang Ayah, yang menyabung nyawa untuk mencukupi kebutuhan anak istrinya, berharap untuk penggantian yang sama, dari mereka yang dicintainya.
Orang tua, hanya memberi, tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia.
Adalah aneh dan mencengangkan ketika para pejabat, atasan atau apapapun namanya, menepuk dada, telah berjasa banyak pada bawahannya, pada rakyat dan Negara. Karena telah berjasa banyak untuk mereka semua.
Kalian, sesungguhnya tidak berbuat apa-apa terhadap rakyat yang kalian pimpin. Kalian telah diberikan segala macam fasilitas oleh rakyat. Dari mulai mulai gaji yang besar, rumah mewah, kendaraan mahal serta keamanan dan keselamatan Prima. Lalu apa yang telah kalian perbuat untuk rakyat yang kalian pimpin? Sudahkah kalian menyabung nyawa untuk rakyat yang telah memberikan segalanya, pernahkah kalian terganggu tidur, karena memikirkan rakyat di sudut-sudut negri yang jatuh miskin dan nyaris tak memiliki segalanya karena kebijakan yang telah kalian buat.
Demikian juga yang telah manusia perbuat pada Allah sang Maha Memiliki Segalanya. Terhadap putra sang buah hati, seorang Ibu mampu menumpahkan darah menyabung nyawa, demikian juga seorang Ayah,demi Isteri dan sang buah hati mampu menyabung nyawa. Padahal jelas, tak ada jaminan kalau sang buah hati itu, kelak akan memperjuangkan sang Ibu dan sang Ayah. Tak layakkah Allah dalam hal ini, cemburu pada jenis manusia demikian?
Yang diharapkan Allah, bukan pemberian dengan jumlah nominal besar. Tetapi pemberian yang mereflesikan sikapNya yang teleh memberikan segalanya untuk manusia dan seluruh isi dunia.
Maka secara logika sederhana, sangatlah wajar, seorang Pelacur yang telah berlumur dosa, diganjar Allah dengan syurga, dengan hanya memberi minum semangkok air pada seekor Anjing yang sedang keausan. Karena, bagi seekor Anjing, semangkok air itu, mampu menyelamatkan nyawanya, sedang bagi sang Pelacur, itulah harta satu-satunya yang dia miliki, ketika seluruh negri sedang dilanda kemarau panjang.
Refleksi cinta Sang Khaliq, yang telah diwujudkan sang Pelacur dalam mencintai ciptaanNya untuk kelangsungan kehidupan Makhluk itulah yang tak dimiliki semua orang. Hatta mereka yang bergelar Kiyai, Ulama, Pendeta atauapapun namanya.
Berbagilah, berbagi adalahkebahagiaan sejati, tak peduli berapapun nilainya, berbagi dengan tanpa berharap, bagai sang Surya menyinari dunia. Kalaupun mau berharap, berharaplah, agar Dia tersenyum dan senang. Inilah yang dalam bahasa agama, disebut berharap agar Allah Ridha pada kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H