Selepas Maghrib seorang teman mengajak saya untuk mengunjungi kerabatnya yang baru datang dari merantau “Jauh”. Sebuah budaya yang baik menurut saya. Selain untuk mengucapkan “welcome home” bagi sang perantau. Secara kejiwaan, ada sebuah kenyamanan bagi yang dikunjungi, bahwa mereka tetap diakui sebagai warga meski sudah lama merantau. Bagi kita yang berkunjung, tentu ada manfaat juga, paling tidak ada informasi tentang budaya dan situasi geografis, dari daerah tempat kerabat sang teman merantau.
Dalam perjalanan pulang, sehabis mengunjungi kerabatnya. Sang teman bertanya pada saya, apakah memang perlu untuk merantau? Meninggalkan anak isteri begitu lama, demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Untuk menjawab pertanyaan sang teman, maka, tulisan ini saya buat. Tidak sepenuhnya ilmiah memang, melainkan, lebih pada sebuah pendekatan dari apa yang pernah saya alami, ketika “harus” meninggalkan anak isteri karena lokasi pekerjaan berada “jauh” diluar kota.
Ada adagium yang mengatakan, sesuatu tergantung pada niatnya. Umumnya, suami meninggalkan anak isteri, untuk merantau jauh, guna mencari nafkah. Bertolak dari rasa cinta. Cinta yang mewajibkan sang suami untuk memenuhi kebutuhan ekonomi anak dan isteri. Bagaimana caranya, agar dapur tetap ngebul dan kelanjutan pendidikan sang buah hati tetap lancar, tanpa terkendala ekonomi. Sampai pada titik ini umumnya semunya oke. Niatnya sudah benar.
Persoalan baru muncul, ketika sudah berada pada lokasi kerja. Tuntutan kerja dengan beban kerja yang berat, kejenuhan karena rutinitas kerja yang hanya itu ke itu saja, serta rasa “sepi” karena jauh dari orang-orang tercinta, kerap menimbulkan masalah tersendiri untuk diatasi. Sayangnya, solusi yang ditempuh, umumnya tidak paripurna. Masih menyisakan masalah. Tidak sesuai dengan semboyan Jasa Pegadaian. Menyelesaikan masalah tanpa masalah.
Seperti, ada yang asyik dengan permainan kartu, awalnya memang hanya gratisan saja, dengan sedikit variasi hiburan. Lama kelamaan mulai dengan nominal uang. Hanya recehan saja jumlahnya, tetapi dampaknya, mulai lupa waktu, karena harus mengejar pengembalian dari kekalahan. Akibatnya, pekerjaan pokok terbengkalai, minimal kualitas pekerjaan yang dihasilkan menurun.
Ada lagi yang larut dalam minuman. Alasannya, untuk menghilangkan jenuh. Tokh, uang yang digunakan hanya uang hasil lembur. Padahal, mereka lupa, Uang lembur, mestinya dapat digunakan untuk konsumsi kebutuhan sehari-hari, sehingga gaji seluruhnya dapat ditransfer untuk anak isteri. Dengan demikian, maka, tidak diperlukan waktu lama untuk merantau. Setelah terkumpul modal, dapat segera kembali ke rumah. Memulai usaha di samping anak isteri.
Prilaku yang lain, suka gaul. Menghabiskan malam, ditempat hiburan malam dan bentuk kesenangan yang berhubungan dengan syahwat. Tak jarang, berakhir pada perbuatan selingkuh. Pertanyaannya jika sudah demikian, kemanakah niat awal ketika ingin merantau dulu? Meninggalkan anak istri karena rasa cinta, guna membuktikan rasa cinta dalam bentuk tanggung jawab, pemenuhan kewajiban, untuk ekonomi keluarga dan kelangsungan pendidikan sang buah hati. Anak istri, mungkin saja tidak tahu perilaku sang suami. Ekonomi berbentuk financial yang dikirim ke rumah mungkin saja tidak berkurang. Tetapi, sebuah ikatan suci rumah tangga sudah ternodai.
Bentuk lain yang paling ekstreem, suami tergoda dengan wanita lain. Lalu menikahinya, melupakan istri dan anak yang ditinggalkan. Melupakan niat awal keberangkatan ketika ingin merantau. Sebuah perbuatan yang bukan saja melupakan niat awal, melainkan menyakitkan banyak pihak.
Buah-buah dari perilaku menyimpang itu, mulai dari larut dalam permainan kartu yang berakhir pada judi kecil-kecilan hingga bentuk ekstreem terakhir. Tentu tidak berdiri sendiri, ada sebab, tentu ada akibat. Jangan heran jika anak yang ditinggalkan akan menjadi anak yang nakal, yang hanya bisa hidup foya-foya menghabiskan seluruh pendapatan orang tua, tanpa memikirkan susahnya orang tua mencari nafkah di “nun jauh di sana” atau isteri yang selingkuh, ketika ditinggal suami, yang sedang mencoba memenuhi kehidupan ekonomi keluarga.
Jika demikian, kondisi ketika merantau, seperti pada gambaran diatas, maka, jawaban untuk teman saya itu. Merantau tidak perlu, bahkan kalau bisa dikatakan, haram hukumnya.
Jika hal-hal diatas, tidak terjadi, maka silahkan saja merantau. Tak ada masalah dengan merantau untuk merubah nasib itu. Bahkan jika satu-satunya cara memperoleh kebutuhan ekonomi, hanya dengan merantau, maka, hukumnya menjadi wajib untuk dilakukan.
Merantau hanya pilihan, kitalah yang memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan. Pertimbanganya sudah jelas. Untuk kebahagiaan orang-orang tercinta. Bukan untuk yang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H