Rusli masih duduk di teras Mesjid Istiqomah, kampung Waluran, Jasinga Bogor.Sholat Ashar sore ini cukup banyak Jamaah. Ada sekitar enam shaf. Memang beberapa waktu belakangan ini, ada kecenderungan Jamaah yang ikut sholat semakin bertambah saja, fenomena apakah ini? Apakah kesadaran masyarakat makin bertambah, atau memang karena jumlah penduduk semakin banyak. Jasinga yang sekarang, memang bukan Jasinga yang dulu. Jumlah kendaraan yang lalu lalang di depan Mesjid Istiqomah semakin ramai saja, jumlah mereka yang memiliki kendaraan pribadi juga semakin banyak saja.
Yang pasti, Rusli yang sekarang bukan Rusli yang dulu. Rusli yang sekarang, Rusli yang tua, semakin renta saja, rumah sudah mulai sepi saja, ketika anak-anak satu-satu berumah tangga, satu-satu meninggalkan rumah. Kesepian itu, makin lengkap ketika Dedeh meninggalkan Rusli untuk selamanya sekitar delapan bulan lalu.
Setelah semua peristiwa yang dilewati, apakah apa yang dulu dicari Rusli sudah terpenuhi? Sebuah keinginan untuk menetap disatu tempat, berbagihal yang riel untuk manusia di satu tempat, tumbuh dan berkembang bersama pertumbuhan masyarakatnya.
*****
Sudah seminggu ini Rusli berdiam di Jasinga, sangat membosankan dan menjemukan, daerah yang berbatasan dengan lebak di Banten ini, benar-benartertinggal. Mau ke kota Bogor terasa jauh dan melelahkan, tinggal terus di lokasi itu berarti kerja dan kerja. Lalu kapan selesainya pekerjaan ini? Seakan tak berkesudahan. Jikapun selesai, maka proyek baru segera menunggu. Itu artinya, akan berpindah ke lokasi baru. Meninggalkan daerah lama menuju daerah baru, dengan segala persoalan dan masalah yang baru. Meskipun, perkerjaan Rusli tetap pada bidang konstruksi, tetapi bukan berarti ketika memasuki proyek baru, pengalaman di konstruksi sebelumnya dapat dicopy-pastekan pada proyek baru,selalu saja ada hal baru yang perlu dipelajari, selalu ada hal baru untuk dimodifikasi. Lalu kapan untuk memikirkan diri sendiri? Usia kepala tiga sudah saatnya untuk berumah tangga, saatnya berpikir untuk generasi penerus, saatnya berpikir untuk berbuat sesuatu yang lebih bermanfaat untuk masyarakat sekitar. Bukan hanya berpikir untuk proyek, untuk perusahaan yang ujungnya untuk peningkatan karier dan sejumput uang, lalu menisbikan kewajiban untuk sesama.
Berpikir tentang itu, menyebabkan Rusli lelah. Kalau ujung-ujungnya uang, lalu apakah perlunya bertahan di proyek? Tokh adiknya yang berdagang memiliki uang dan keluarga yang bahagia. Teman ketika Rusli kecil, si Komar, memiliki uang dan dihargai dilingkungan masyarakatnya,meskipun hanya sebagai guru SD. Lalu dia yang insinyur, hanya berpindah dari satu proyek ke proyek lain, tak memiliki keluarga, tak memiliki akar dalam masyarakat dan tak mendapatkan kepuasan rasa bergaul dalam masyarakat. Tak ada orang yang mengenalnya, tak juga dia mengenal masyarakat di daerah tugas proyeknya. Secara materi Rusli memang memiliki materi lebih, nominal rupiah yang dimilikinya juga lebih, tapi untuk apa semua uang itu? Tokh dikasi ayam juga, ayam gak doyan uang.
Tapi, masalahnya, darimana memulainya, bagaimana cara memulainya, target apa dulu yang harus dicapai.berpikir hingga demikian, membuat Rusli makin butek, semuanya bagai benang kusut, tak tahu, bagaimana mengurai benang itu, sehngga layak digunakan dan bermanfaat.
“Gak ke Bogor pak?” tiba-tiba suara Herman, mengagetkan Rusli. Menyadarkannya sekaligus membawanya pada dunia nyata, setelah tadi dia tenggelam pada dunia yang dia sendiri tak tahu harus didefinisikan sebagai dunia apa.
“Gak Man, jauh dan buat capek aja” jawab Rusli sekenanya.
“Tapi, di sini terus bosen pak”
“Iya juga sih, tapi ke Bogor membuat badan lelah, saya ingin refreshing yang membuat pikiran jadi fresh dan tubuh tak terlalu lelah” jawab Rusli lagi.
“kira-kira apa itu ya pak” balik kini Herman yang bertanya.
“Mana saya tahu, kalo saja saya tahu, saya dari tadi sudah berangkat dan gak perlu lama-lama duduk di sini” jawab Rusli lagi.
“Saya punya usul pak, gimana kalau kita ke Ajengan Buchory saja, mudah-mudahan ada penyegaran di sana”
“Siapa itu Ajengan Buchory?” tanya Rusli penasaran.
“Beliau tokoh agama pak, manatahu, ada wejangan beliau yang membuat kita bisa fresh”
“Ok, kita berangkat…ingat ya, kita Cuma refreshing, bukan mau jadi jamaah pengajian beliau”
“Siap pak” jawab Herman, lalu berlari kecil menuju kendaraan proyek. Tak lama kemudian, Rusli dan herman sudah meninggalkan mess proyek, menuju pesantren Ajengan Buchory.
*****
“Maksud nak Rusli gimana?” tanya Ajengan Buchory.
“Iya githu kiyai, seakan semua hampa. Ketika jalan itu hancur, kami yang memperbaikinya, ketika sudah bagus, mereka yang menggunakannya, sedangkan kami mengerjakan yang rusak kembali, ditempat lain di waktu yang lain lagi”
“Seperti tukang jahit ya?’
“Persis pak kiyai. Tukang jahit yang membuat Jas, sementara dia sendiri pakai kaos oblong”jawab Rusli.
“Lalu yang jadi masalah apa? Bukankah itu kerjaan mulia, menjadikan orang lain senang”
“Tapi kiyai..”
“Tapi apa?”
“Kami tak punya waktu untuk diri sendiri”
“Kalau githu, tinggalkan pekerjaan itu..”
“Terus…apa yang kami lakukan selanjutnya?”
“Mohon ampun pada Allah, nak Rusli telah melakukan sesuatu yang salah”
“Lalu..?”
“Kerjakan sesuatu yang lain, sehingga nak Rusli menjadi pemilik Jas bukan sebagai penjahit, penikmat jalan bukan sebagai pembuat jalan”
“Caranya..?” tanya Rusli, tak sabar dia mendengar solusi yang akan diberikan oleh Ajengan Bukhory.
“Itulah bedanya antara belajar di bangku sekolah dengan belajar agama”
“Maksud kiyai..?”
“Di bangku sekolah, nak Rusli dapat menjadi sarjana tanpa harus memperaktekan atau mengerjakan apa yang diketahui. Tetapi, ketika belajar agama, nak Rusli harus praktekan dulu apa yang telah diketahui, sebelum mengerjakan yang selanjutnya” papar Ajengan Bukhory.
“Lalu apa yang harus saya lakukan kiyai?” Tanya Rusli lagi.
“Tadi kan sudah saya katakan, berhenti kerja lalu mohon ampunan Allah, karena telah melakukan kerja yang membuat hati gelisah, lakukan itu dulu, selanjutnya saya akan beritahukan lagi setelah yang pertama dikerjakan”
“Saya paham kiyai” jawab Rusli. Hati Rusli berkecamuk, antara melakukan apa yang disarankan Ajengan Bukhory dengan kekhawatiran akan nasibnya kelak, ketika dia melepaskan pekerjaannya.
*****
Alhamdulillah Dedeh telah melahirkan putra Rusli yang pertama, anak lelaki yang diberi nama Umar. Rusli berharap kelak Umar memiliki kecerdasan seperti dirinya dan keteguhan prinsip seperti kakeknya Ajengan Bukhory.
Tak terasa waktu enam tahun berjalan begitu cepat, sejak Rusli memutuskan untuk berhenti kerja, lalu menjadi santri Ajengan Bukhory. Tabungan yang dimiliki Rusli dia gunakan untuk membeli tanah di samping pesantren, Rusli membuka warung. Disela-sela waktu belajar pada Ajengan Bukhory dia membuka warungnya. Bukan sebaliknya disela-sela membuka warung belajar pada Ajengan Bukhory.
Dua tahun pertama Rusli telah mampu membaca al-Qur’an beserta makhroj dan tadjwidnya, disamping fiqh dan hadist. Ajengan Bukhory bukan hanya memberikan ilmu yang dimilikinya, Ajengan Bukhory bahkan menjadikan Rusli sebagai menantu.
Sempurna sudah, ilmu dapat, ketenangan jiwa diperoleh, Dedeh menjadikan hidup berarti, Umar sebagai penerus generasi dan dapat berbuat banyak pada masyrakat sekitar.
Tak semua ibarat sebagai lilin itu salah, lilin yang membakar dirinya untuk menerangi sekitarnya. Memang ada pada bagian dari diri kita yang harus kita bakar terus menerus untuk menerangi sekitar kita. Seperti sifat sombong, kikir, riya, ujub, dan takabur. Dengan membakar sifat-sifat itu, maka kita berharap menjadi api yang dapat menerangi sekeliling kita. Demikian kata-kata Ajengan Bukhory yang selalu diingat Rusli.
*****
Rusli masih duduk di teras Mesjid Istiqomah. Tak terasa, waktu telah lama berlalu, Ajengan Bukhory dan Dedeh telah mendahuluinya, Rusli yang kini jadi penerus apa yang telah dirintis Ajengan Bukhory merasa perjalanan ini masih berat, secara fisik memang Rusli tak kemana-mana, tapi membawa kapal pesantren yang dipimpinnya tetap menghadapai tantangan yang tak berkesudahan, bukanlah perkara mudah dan gampang. Tantangan berat itu kini berupa IT, bagaimana menggunakan IT untuk lebih mempercepat membawa manusia sekelilingnya menjadikan lebih beriman, lebih bermanfaat untuk sesama.
Agaknya, pembakaran diri dari sifat-sifat jelek akan terus berlanjut dan akan terus selalu dilakukan, hingga ketika ajal menjemput, diri ini menjadi ringan, karena, yang tinggal hanya sinar itu sendiri, sinar yang ringan menuju pada sang Pencipta.
Lalu lintas masih saja ramai dijalan di depan Mesjid Istiqomah itu, semuanya memang sudah berubah, karena yang kekal adalah perubahahan itu sendiri. Perubahan yang kini paling diharapkan Rusli, bagaimana menghabiskan sisa-sisa diri yang harus dibakar itu segera terlaksana.
Tiba-tiba Rusli berdiri…. Adzan Maghrib sudah dikumandangkan, dia harus menjadi Imam sholat Maghrib bagi santri dan masyarakat sekitarnya. Itu juga menjadi tugas Rusli, dalam rangka menghabiskan sisa-sisa diri yang harus secara tuntas dibakar habis.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI