[caption caption="Rumah Gadang Tilatang Kamang (dok.Pribadi)"][/caption]Kuhirup udara segar khas Agam, sekuat yang mampu aku lakukan, bau udara segar ini, selalu khas terasa. sebentar lagi, kurang dari setengah jam, aku akan menginjakkan kakiku di kampung. Untuk mereka yang sama-sama berasal dari daerahku, keputusan yang aku ambil kini, terasa aneh. Semua yang yang mereka impikan, bagiku bukan mimpi, jabatan dan status sosial itu, hanya selangkah lagi akan dalam genggaman. Tetapi semua aku lepaskan. Aku lebih memilih Mande. Memilih untuk kembali ke kampung. Memilih melupakan semua impian mudaku, untuk selanjutnya menemani Mande menghabiskan sisa hari-harinya di dunia.
“Coba kamu pikir lagi Man, kurang cantik apa Ida yang tergila-gila sama kamu” kata Afrizon, teman se daerahku. “IPnya hanya selisih nol koma dibanding kamu. Kamu nomer satu, sedang Ida nomer dua. Pasangan yang pas” tambah Afrizon lagi.
“Bener juga sih” jawabku singkat, tak ingin berdebat dengan Afrizon. Sayangnya Afrizon gak tahu, bagaimana cantik-cantiknya gadis di desaku, dilereng Danau Maninjau sana.
“Lalu… masalahnya apa” desak Afrizon lagi.
“Aku ingin Mande selalu dekat denganku Zon, beliau sudah tua” jawabku singkat.
“hahaha… Arman-Arman, kamu lucu, apa susahnya, membawa Mande tinggal di Jakarta. Kamu yang sudah mapan gini, bisa menyenangkan Mande sebaik yang kamu suka” sela Afrizon lagi.
“Tapi beliau gak mau zon”
“kenapa?”
“Udaranya tak senikmat udara di kampung, begitu kata beliau”
“hahaha, kamu kan bisa pasang AC di setiap kamar, atau kalau perlu di halaman sekalian.” begitu desak Afrizon lagi. Akh, Zon. Kalau saja kamu, berasal dari kampung yang sama dengan aku, kau pasti tahu, beda antara segarnya udara di kampungku dengan AC. Jangankan Mande, aku saja merasakan hal yang sama dengan Mande.
“lalu, bagaimana dengan Ida?”