Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Lelaki Dewasa

20 April 2014   18:49 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:26 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

”Bang...hujan sudah mulai turun, agaknya musim kemarau akan segera berakhir”

Pesan SMS singkat dari Dinda.

Agaknya ini, sinyal peringatan, bahwa sudah tak nyaman lagi untuk mengunjungi Dinda disore hari hanya dengan Jaket katun. Air hujan, tentu akan tembus dari Jaket katun. Mengenai kulit yang tak muda, menyebabkan rasa dingin, lalu penyakit masuk angin dengan mudah singgah.

”Iya Dinda... hujan sudah turun dibeberapa hari ini..” Jawabku singkat.

Mengunjungi Dinda? Agaknya kalimat itu, tak sepenuhnya tepat. Persisnya, aku hanya mengendarai vespa tuaku, melintas di muka rumah Dinda, tentunya Dinda akan berdiri, dibalik pagar rumahnya. Aku menghentikan Vespa sejenak, bertukar sapa dalam beberapa saat. Ada tatapan mata yang lebih mewakili semua kata yang terucap. Lalu dalam waktu singkat, aku akan melanjutkan kembali perjalanan. Aku hanya ingin memastikan Dinda dalam keadaan sehat, serta senyum itu. Masihkah semanis hari-hari kemarin.

Untuk bercinta dalam pengertian sekarang. Bukan usiaku, bukan usia Dinda, bukan cara pandang hidup kami. Tak ada pertemuan berdua sebelum perkawinan. Yang ketiganya tentu syetan. Fitnah dan gunjingan tetangga hal paling kami jaga, jangan masyarakat berdosa, tersebab perilaku kami, lebih utama lagi Dia yang diatas, tak pernah luput melihat hambaNya, termasuk kami.

Namun, getar cinta, hati yang berharap, jiwa yang memohon, kadang melenakan, melahirkan getar itu disemua waktu, melambungkan angan hingga ufuk tertinggi yang mampu diraih asa. Akan ku pinang kau Dinda.... kubawa dalam layar bahtera menuju ridhaNya.

*****

”kenapa ingin meminang Dinda..”

”Karna, akhlakmu sungguh terpuji..”

”Hanya karena itu?”

”Bukan...”

”Lalu?’

”Karena Dinda Cantik”

”Lalu?”

”Dinda cerdas”

”Lalu?”

”Karena abang butuh Dinda”

”Dalam hal apa”

”Bergandengan tangan menuju RidhaNya”

”Dengan cara apa?”

”Bergandengan tangan menuntaskan kerja mulia. Menolong mereka yang dhu’afa, menjadi penerang dalam gulita, mencerdaskan mereka yang kini belum berilmu, mengentaskan mereka meniti jembatan untuk hidup yang sejahtera. Menunjukkan arah jalan yang benar”

”Ohhhh....”

”Kenapa Dinda..?”

”Apakah Dinda sanggup?”

”Tentu tidak, jika hanya Dinda sendiri, jika hanya Abang sendiri. Makanya...”

”Makanya apa Bang..”

”Makanya kita perlu bergandengan tangan berdua..”

”Dinda paham”

”Tentang apa?”

”Tentang tujuan Abang, menggandeng Dinda. Kalau untuk ”mereka” aja Abang, mau habis-habisan, apalagi untuk Dinda”

”Tentu... Dinda”

****

Tak ada yang sempurna dalam kehidupan ini, semua sudah tertulis di Lauh Ma’fudzh, ketika bumi ini sedang didesign, termasuk kelak, apa yang akan terjadi pada seluruh makhluk yang menghuninya.

Sepuluh tahun sudah berlalu, sejak Dinda ku pinang. Kumaharkan Dinda, sebagai tanda tiupan pluit, untuk memulai perjalanan panjang kami, dengan sebuah kitab al-Qur’an dan seperangkat alat sholat. Itu artinya, menjadikan kwajiban bagiku untuk mengajarkan al-Qur’an pada Dinda, bukan pada huruf-huruf dan tajwidnya, tapi pada praktek keseharian, al-Qur’an yang telah ditransformasikan pada kehidupan nyata. Salah satunya, dalam pelaksanaan sholat keseharian, dalam Jemaah malam yang kami lakukan, Dinda selalu menggunakan seperangkat alat sholat yang aku berikan.

Namun, buah cinta kami, belum juga hadir. Pesantren sebagai wadah pengabdian kami, semakin hari, semakin besar saja. Kesibukanku makin berjibun saja. Dinda makin larut pada tugas kemanusiaannya. Satu hal yang belum berubah, kami masih rutin melakukan Tahajud berjamaah, dirakaat-rakaat terakhir penghambaan kami padaNya, teriakan akan kerinduaan pada sang buah hati, masih kami rintihkan. Tak ada kebosanan disitu, masih Istiqomah meminta, biarlah Allah saja yang kelak memutuskan, apakah kami diberi kepercayaan untuk memelihara amanatNya. Apalah kami, dibanding dengan Ibrahim. Tak ada yang bisa dibandingkan, antara Ibrahim dan kami. Jika Ibrahim saja, perkenan do’a diperoleh ketika usia senja. Lalu apakah kami akan memaksa Tuhannya Ibrahim? Mungkin saja, do’a-do’a kami, akan terkabul pada ujung usia kelak.

Di akhir Dinda mengaminkan do’a, pada tahajud malam itu, kudengar ada suara lirih dibelakangku.

”Bang...”

”Iya...”

”Dinda, merasa...”

”Iya..Abang tau apa yang akan Dinda utarakan. Kita harus sabar Dinda, bukankah Ibrahim juga pernah mengalami hal yang sama. Allah sedang menguji kita”

”Tapi rumah ini sepi..”

”Tidak Dinda, rumah ini ramai sejak kita memulai pernikahan dulu, begitu banyak anak-anak di sekitar kita. Karena mereka lah kita bertemu, Karena mereka lah kita semangat untuk mengarungi hidup ini, mereka adalah ladang amal kita Dinda”

”Tapi... bagaimana dengan hadist, jika meninggal anak Adam, terputuslah amalnya, kecuali, amal jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh... bukankah kita tidak memiliki anak?”

”Pengertian anak disana, bukan dalam pengertian anak biologis Dinda. Tetapi mereka yang telah kita perlakukan sebagai anak. Bisa anak asuh, bisa anak yang kita besarkan dengan kasih sayang, bisa juga dengan anak didik. Sebab, jika hanya anak biologis, berarti Tuhan tidak adil. Berapa banyak pasangan di dunia ini, yang tidak memiliki anak biologis. Padahal Allah Maha Adildan Maha Pengasih. Anak biologis hanya dihadirkan tiap pasangan, dalam hitungan jari, tetapi anak yang kita perlakukan sebagai anak, bisa saja hitungannnya ratusan, ribuan dan bahkan jutaan. Disanalah letak keadilan Allah itu”

”Okh... Abang” kulihat ada keharuan di wajah Dinda, ada genangan air yang tak sempat jatuh di sana. Segera kuraih dinda, kami hanyut dalam haru biru lelaki dan wanita dewasa, Hingga ketika adzan subuhberkumandang, kami harus mandi Junub, untuk syarat sahnya peribadatan subuh, sebagai kewajiban pertama yang harus ditunaikan diawal hari itu.

Aku adalah tonggak tua

Tempat mengikatkan domba agar tak hilang dirimba hedonisme dunia

Tempat rambu jalan, petunjuk arah kembali bagi mereka yang lelah

Simbul ketegaran, bagi yang putus asa.

****

Kehidupan di Pesantren itu, masih berjalan sebagaimana biasa, kegiatan rutin yang tak kunjung usai, sejak dari subuh hingga malam seakan tiada putus. Aku masih tetap bersemangat, demikian juga Dinda. Silih bergantinya tahun tak menyurutkan semangat ini. Kami tak lagi muda. Tetapi kini, gairah itu makin tinggi saja untuk sebuah pengabdian luhur. Karena sejak lima tahun lalu, telah hadir diantara kami ”Haidar” buah cinta kami. Singa yang kelak akan meneruskan perjuangan kami, yang menggenapkan apa-apa yang belum sempat kami lakukan pada masa hidup kami.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun