Setiap Idhul Adha tiba, maka selalu dikaitkan dengan Ibrahim. Peristiwa yang mengaitkan dengan Ibrahim itu, dapat dilihat dari peristiwa ibadah haji yang dilakukan setiap tahunnya, peristiwa penyembelihan Ibrahim terhadap anaknya yang bernama Ismail dan perilaku penyembelihan hewan Kurban yang mengiringi Hari Raya Kurban.
Pada peristiwa ibadah haji, hampir seluruh ritual ibadah haji adalah pengulangan dan “pengingatan” terhadap apa yang telah terjadi pada Ibrahim dan keluarganya. Seperti ibadah Sya’I, lari kecil atau berjalan agak bergegas sebanyak tujuh kali antara Syafa dan Marwa, mengingatkan dan mengulang kembali ketika Siti Hajar kebingungan karena pebekalan airnya habis, sementara bayinya Ismail sangat membutuhkan air, lalu Siti Hajar mendaki bukit Syafa untuk meminta perolongan atau ada air disekitar itu, saat dia menyadari bahwa tak ada satupun orang disitu dan tak ada air, maka Siti Hajar berpindah ke Bukit Marwa yang berjarak terdekat dari Bukit Syafa. Ketika dia tak mendapati apa yang dicarinya, lalu dia kembali ke Bukit Syafa, demikian berulang-ulang dilakukan Siti Hajar sebanyak tujuh kali ditengah teriknya Matahari dan panasnya pasir gurun. Saat Siti Hajar kembali pada Ismail, dia melihat air telah memancar dari tanah di dekat bayi Ismail yang sedang menangis itu.
Demikian juga dengan ibadah melempar Jumrah, peristiwa ini, mengingatkan kita ketika Ibrahim bersama Ismail sedang berjalan menuju tempat penyembelihan, lalu Syetan datang menggoda keduanya pada tiga tempat, lalu keduanya melempari syetan yang datang menggoda tersebut pada tiga tempat. Peristiwa pelemparan batu ini sekarang dikenal dengan Jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah Aqobah.
Terakhir, penyembelihan hewan Qurban, hal ini, juga dilakukan dengan peristiwa ketikaIbrahim menyembelih Ismail. Hal ini dilakukan, karena, ketika sesaat sebelum penyembelihan dilakukan, Allah dengan sifat Maha Pengasihnya menggantikan Ismail dengan Domba.
Sekarang, timbul pertanyaan benarkah Tuhan menyuruh Ibrahim untuk mengorbankan atau menyembelih Ismail? Apakah Tuhan demikian kejam dan tidak memiliki dan menyadari pelanggaran HAM akibat perintah-Nya itu pada Ibrahim? Maka dalam masalah ini diperlukan kajian mendalam. Demikian pertanyaan seorang sahabat pada saya pada account Facebook-nya. Untuk maksud itulah maka tulisan ini saya buat.
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya tak akan masuk pada masalah Tauhid, kenapa? Karena, pertama saya bukanlah orang yang pakar dalam masalah itu, yang kedua bukan pada halaman ini mengkaji masalah itu, diperlukan ruang sendiri dan waktu tersendiri pula dalam membahasnya yang ketiga, hanya melahirkan sebuah kesia-siaan jika mempertanyakanmengapa dan alasan apa Tuhan menyuruh Ibrahim
Mengapa bisa demikian? Sebabnya, menurut hemat saya yang awam ini, Tuhan menyuruh manusia berdasarkan bahasa manusia, berdasarkan kemampuan cerna pemikiran yang dimiliki manusia. Sehingga, mempertanyakan apa yang di balik itu, lalu membahasnya secara mendalam dengan kemampuan pikir yang seadanya merupakan buah kesia-sian. Bak pepatah Minang menyatakan “waktu habis, kayu pembakar musnah, nasi yang dijarang tak jua masak”.
Ilustrasi kesia-siaan itu sebagai berikut, seperti jika kita ke Papua, maka kita akan mendengar seorang Bapak menyuruh anaknya untuk membunuh lampu. Sebuah perintah sederhana dan umum saja dilakukan. Peristiwa ini, menjadi tidak sederhana, jika dikaji oleh mereka yang tak memiliki rasa bahasa Papua, lalu kajiannya, dengan apa lampu itu dibunuh? Dengan pisau tajam atau golok atau pedang terhunus, atau pistol atau dengan meriem. Jika lampu dibunuh, maka lampu adalah benda hidup? Lalu bagaimana lampu yang hidup itu bernapas? Makanannya apa? Bagaimana caranya lampu mengonsumsi makanannya? Apakah lampu itu berjenis kelamin perempuan atau laki atau bencong atau hemaprodith? Lalu bagaimana lampu itu berkembang biak? Apakah dengan hubungan suami istri? Apakah lampu itu nikah juga? Lalu bagaimana cara ijab kabul nikahnya? Bagaimana catatan penikahannya? Bagaimana melakukan pesta pernikahannya? Bagaimana ketika punya anak? Bagaimana dengan persalinannya? Apakah ada dokter atau bidan bersalin dari bangsa lampu? Bagaimana lampu itu memberikan makan pada bayiny? Apakah dengan ASI atau dengan cara lain? dst... dst.. dst....
Akhirnya, kajian tentang membunuh lampu dapat kita lakukan berhari-hari yang melelahkan, menghabiskan waktu dan bias juga dijadikan sebuah buku yang sangat tebal... padahal prakteknya, hanya membutuhkan hembusan angin lunak dari mulut sang anak, lalu lampu pun mati.
Masih perlukah kita menghabiskan waktu sia-sia dengan pertanyaan sia-sia, padahal di depan kita, dibutuhkan langkah konkret berupa tindakan yang perlu segera dilakukan untuk sesuatu yang lebih baik, untuk kemanusiaan dan manusia itu sendiri?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H