Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku di Antara Mereka

11 Maret 2014   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:04 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Kang jangan lupa ya” kata suara diseberang sana, telpon dariNia Istriku

“Iya Nia, sebentar lagi Akang meluncur” Jawabku singkat.

“Kasian Dilla kalo kita datang kelewat malam” Sambung Nia lagi

“Iya sayang, Akang tahu”.

Aku segera berkemas, memasukkan segala peralatan kerja ke dalam tas, lalu turun ke halaman parkir dan menghidupkan kendaraan. Sore ini, aku dan Nia akan ke rumah Dilla. Nia tadi siang dapat kabar kalau Dillasakit. Kasihan Dilla, demikian kata Nia, dia gak ada yang ngurus kalau dia sakit, karena Dilla hidup sendiri, ibunya yang sepuh tinggal di Sumedang, sedang Dilla tinggal di Bandung Utara. Rencananya Nia akan ku jemput, lalu kami berdua meluncur ke rumah Dilla.

Sore itu, seperti biasanya Bandung macet, kota ini kurasa sudah jauh berbeda, kesejukan yang dulu kurasa, ketika SLA dan kuliah sudah sangat berkurang, pohon-pohon besar disana-sini masih ada, tetapi serapannya sudah tak memadai lagi, jumlah kendaraan yang bertambah luar biasa menyebabkan Bandung sekarang lebih panas dari dulu. Setelah melewati RS Hasan Sadikin, lalu kendaraan aku belokkan ke kiri, ketika adzan Maghrib berkumandang, sampailah kami di rumah Dilla.

Nia segera turun, sementara aku memarkir kendaraan, masih sempat kulihat kedua sahabat lama itu cipika-cipiki, ketika aku sampai di pintu, kulihat mereka sudah duduk di ruang keluarga, saling berdekatan, kulihat pada Dilla tak ada tanda bahwa Dilla sakit, kecuali sedikit pucat di wajahnya. Keceriaan jelas terpancar di wajah Nia dan Dilla, aku agak menjauh, duduk sendiri memperhatikan mereka berdua. Nia dan Dilla.

“Kang…. Sini gabung” kata Nia mengajak ku bergabung dengan mereka, sementara Dilla kulihat hanya melihat padaku dengan pandangan agak lama. Seperti ada sesuatu.

“Yups…” kataku lalu berdiri, berjalan menuju ruang keluarga, tempat Nia dan Dilla duduk.

“Ini kang, kita dikerjain Dilla nih….”

“kok..” Jawabku tak tahu kemana maksud Nia.

“Ternyata Dilla gak sakit, dia cuma masuk angin, alasan utamanya dia cuma rindu, dah lama gak ketemu kita” kata Nia

“Hmmmmmm..” Jawabku singkat, aku melihat pada Dilla, sama seperti tadi, pandangan itu, seperti ada sesuatu yang akan dikatakannya.

*************

Nia dan Dilla adalah teman akrab, bersama dengan Dadang dan aku, kami dulu teman satu kelas. Bahkan kami dulu satu geng. Sangat akrab dan kental, kemana-mana bareng. Kamiyang dari kelas IPA, ketika itu, merasa seakan punya kelebihan dibanding dengan teman-teman dari IPS, kebanggan yangbelakangan kusadari sangat lucu dan menggelikan, semua berangkat dari cara pandang kami yang salah, bahwa mereka yang mampu di bidang exacta seakan punya kemampuan lebih. Sejak kelas dua kami selalu bersama, semua teman juga tahu. Hingga akhirnya kami berpisah ketika kami kuliah, Dilla dan Dadang kuliah di Dipati Ukur, sedangkan aku dan Nia disebelah atas. Dua perguruan Tinggi Negri yang punya nama di Kota Bandung, bahkan yang terakhir punya nama di Indonesia.

Awalnya terasa berat, ada sesuatu yang hilang, terutama aku kehilangan Dilla, ada sedikit rasa yang tertinggal pada Dilla, aku tak tahu apa yang dirasa Dilla, tapi hati kecilku mengatakan rasa yang kurasa sama dengan yang dirasa Dilla.

Walaupun satu kampus dengan Nia, jurusan kami beda. Walaupun demikian, pertemuan dengan Nia masih sering juga, walau tak seintens ketika SLTA dulu, sedangkan dengan dadang dan Dilla, bisa dikatakan putus sama sekali.

Selesai, kuliah aku ditugaskan ke seberang, Nia setengah tahun kemudian selesai juga, dua tahun diseberang aku kembali ke Bandung, ketika itu ada reunian di sekolah kami. Aku kembali bertemu dengan Nia, demikian juga dengan Dadang dan Dilla,

Setahun kemudian aku menikahi Nia, kami boyongan ke seberang, Nia mengikuti aku sebagai suaminya, Nia yang kini di rumah saja, akhirnya mengisi hari-hari kosongnya dengan menulis, jadilah dia penulis yang cukup punya nama.

Dua belas tahun kami di seberang, aku dipromosikan untuk jabatan yang lebih tinggi, aku dipindahkan ke kantor pusat di Bandung. Walaupun aku pulang kampung, tapi semua seakan asing, tak ada teman yang bisa dihubungi, alamat mereka sudah pada pindah, nomer telpon yang bisa dihubungi aku juga tak punya.

Hingga akhirnya, kesempatan itupun datang. Sekolah kami kembali mengadakan reuni. Aku dan Nia, kembali datang ke sekolah berdua, karena kami memang belum diberikan keturunan hingga tahun ke 13 perkawinan. Pagi itu ketika kami sedang menulis di buku tamu…

“Nia…” sebuah panggilan keras mengagetkanku

“Dilla..” kata Nia, dua orang sahabat itu berpelukan erat, aku hanya bengong, sesaat terlupakan oleh mereka.

“Kang..” kata Nia menoleh kepadaku, setelah mereka saling melepaskan pelukannya, aku tahu maksud Nia ingin mengatakan itu Dilla

“Dilla..” kataku, ku pegang erat tangan Dilla, cukup lama.

“Ton…” kata Dilla menyambut erat tangan yang kuulurkan tadi.

“yuk…., Nia, Ton.. kita duduk disana”. Ajak Dilla, sambil memegang tangan Nia, bergerak kearah yang ditunjukkannya, sementara aku hanya ikut dibelakang mereka.

Kami duduk agak ke pojok sebelah belakang, aku, Nia dan disebelah ujung Dilla.

“Hapunten Dilla…. Dadang kok ga keliatan?” tanya Nia.

“iya…dari tadi, aku juga coba cari tapi gak keliatan. Apa dia gak tahu kalau ada acara ini?” Jawab Dilla

“Suaminya kok gak dibawa, Dil?”

“Nggak….” Jawab Dilla singkat.

“Curang nih… masak datang sendiri gitu” Nia ikut nimbrung

“Nah, kalian sendiri, kenapa cuma berdua? Anak-anak kenapa gak dibawa?”

“Kami belum beruntung Dil, sampai sekarang belum dipercaya Allah” Jawab Nia

“Yah… nasib kita sama” Sambung Dilla.

“Tapi kamu masih beruntung Nia, kalau aku, gara-gara kosong itu, suamiku akhirnya diam-diam nikah lagi, dan ketika dia mendapatkan keturunan, kami berpisah. Dia lebih memilih istri mudanya yang telah memberikan keturunan”Sambung Dilla lagi.

Pulang acara reunian itu, Dilla ikut bersama kami. Kami muter-muter, kami mengunjungi tempat-tempat kami dulu kongkow-kongkow, semuanyasudah berubah. Malam itu, Dilla tidur di rumah kami. Nia dan Dilla terlihat akrab banget, aku hanya coba mengimbangi mereka.

Mulailah, hidup kami kembali rame, sering Dilla nginep di rumah, paginya, ketika aku kerja, kadang aku mengantar Dilla ke kantornya dulu, arah jurusan kantor Dilla searah denganku, bahkan melewatinya, jaraknya hanya terpaut satu setengah kilometer. Tak jarang waktu istirahat siang, aku jemput Dilla, kami makan siang bersama. Begitu, begitu dan begitu terus, satu tahun lebih kami lakukan hampir rutin, sementara Nia tetap pada dunianya yang hanya duduk manis di rumah dengan dunia tulis menulisnya.

***********

Aku lebih dahulu menuju mobil, memindahkan parkirnya agar Nia lebih mudah untuk menaikinya,Nia masih di dalam rumah Dilla,apa saja yang mereka obrolkan aku tak tahu, lalu kulihat Nia dan Dilla sudah dipintu rumah, setelah mereka berpelukan, kulihat Nia menuruni anak tangga, aku segera membuka pintu mobil untuk Nia, Nia duduk disampingku, dia melambaikan tangannya pada Dilla, hal yang sama juga kulakukan.

“Keliahatannya Dilla hanya masuk angin saja kang”

“Iya..”Jawabku singkat.

“Tapi keliatan dia pucat kang, kok aku merasa, dia terlihat manja sekali tadi” kata Nia lagi

Aku belum sempat membalas kata-kata Nia, ketika SMS masuk, dari Dilla, isinya singkat, “Aku hamil Ton”

Untung ruang dalam mobil itu gelap, sehingga aku dapat menyembunyikan kalimat SMS itu dari penglihatan Nia, aku berharap Nia tidak melihat perubahan ekspresi wajahku. Segala rasa campur aduk dalam dada ini, aku telah menjadi laki-laki paripurna, ada Nia yang cerdas, ada Dilla yang cantik dan cinta terpendamku waktu SLA dulu, yang kini telah menjadi isteri siriku, Dilla juga telah melengkapi semuanya dengan bakal kehadiran buah cinta kami. Hal langka yang telah aku tunggu lama bersama Nia.

Biarlah aku nikmati perjalanan pulang ini dengan rasa bahagia dalam dada ini. Soal bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Nia, biarlah aku cari waktu yang tepat. Aku ingin Nia, Dilla, dan anak kami kelak, merupakan bagian dari hidupku yang tak terpisahkan. Semoga harapan ini akan jadi nyata.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun