Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pesona Navis

2 Juni 2019   18:41 Diperbarui: 2 Juni 2019   19:04 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.skyscrapercity.com

Meja yang dipakai itu, masih meja lama, Eli tahu persis itu, sangat tahu, juga ukurannya mejanya, 42 cm lebar dan panjang 64 cm. yang berubah hanyalah telapak meja. Sedang kursinya, tetap sama. Bahkan, warnanya masih tetap yang lama.

Kalaupun mau disebutkan ada perubahan, hanya pada warna yang kini semakin nampak kusam, termakan waktu. Sepuluh tahun.
Eli tahu persis ukuran meja, hingga pada detailnya. Karena, dialah yang selalu memasang telapak meja disana, sebelum acara pengajian yang selalu diisi oleh uni Hasnah.
Surau Tabek Gadang masih seperti dulu, kokoh berdiri tidak tergerus zaman. Begitu  juga taklim yang masih tetap di hari yang sama, pada jam yang sama, ba'da Ashar.
Namun, meski semua tetap sama, bukan berarti sama persis. Sudah terjadi sedikit perubahan, perubahan terjadi, pada guru yang memberi materi pengajian.

Pasca berpulangnya uni Hasnah, guru semakin banyak berganti, bahkan kini sudah ada guru laki-laki yang mengisi. Ustadz Navis.
****
Setahun sudah Eli meninggalkan kampung, mengikuti suami ke Jakarta. Tidak banyak berita yang dia ketahui  tentang kampong. Kecuali, ketika Midah singgah ke rumahnya, di Kebayoran dan mengabarkan Navis ke Mesir melanjutkan sekolahnya.

"Patah hati karena kau" bisik Midah ke telinga Eli. Terkesiap darah Eli mendengar ucapan Midah. Dia hanya tertunduk. Tidak ada pilihan lain, hanya cara inilah yang dapat dia lakukan, memenuhi keinginan bunda. Meski, Eli tahu, ada dua hati yang hancur setelah itu, hati Eli juga Navis.
*****
Jadi, ibu-ibu, amak-amak, mandeh-mandeh dan semua hadirin, nikmat Allah manalagi yang tidak layak kita syukuri. Kita begitu dimanjakan Allah. Udara kampung yang begitu sejuk, menjadikan rumah kita seakan dipasangkan AC oleh Allah. Bukan hanya di dalam rumah, bahkan di halaman, dijalan, di sawah, di kebun tebu kita, semuanya dipasangkan Allah AC. Dan itu gratis, diperuntukkan untuk kita.
Ketika kita mandi di pincuran Tabek Gadang, air yang kita gunakan, diberikan air terbaik oleh Allah, air sekualitas air aqua. Air Aqua inilah yang kita gunakan untuk mandi, mencuci, bahkan untuk memandikan Kerbau sekalipun.
Hasil kebun tebu yang kita peras, menjadikan gula termanis di Sumatera. Bahkan, Indonesia. Gadis-gadis kita, sangat manis, bak air tebu yang keluar dari bumi kita, semanis Zulaikha, secantik Aisyah, seanggun Bilkis.
Jadi, tidak ada alasan untuk tidak bersyukur, untuk tidak merasa kaya. Begitu urai ustadz Navis LC. Pada pengajian taklim pada bakda Ashar sore itu.

Makjlebb, sangat mengena dan menusuk jantung Eli. Menyindir Eli kah Navis? Tapi, rasanya tidak mungkin, Navis tidak tahu akan keberadaan nya di majelis taklim ini. Tapi, uraian itu, tepat kejantungnya. Bukankah dulu, bunda menjodohkannya karena ingin hidup Eli berkecukupan. Tak kurang suatuu apa.

Tapi, apa indikatornya? Jika hanya karena rumah besar, kamar berAC dan minum air mineral setiap saat. Bukankah orang kampung ini, lebih kaya dengan mereka yang di Jakarta sana. Seperti uraian Navis diatas.
****
Navis, masih dengan uraiannya, Eli tak sepenuhnya memperhatikan kata perkata yang disampaikan Navis lagi, dia larut dalam pesona Navis. Seperti larutnya Zulaiha pada Yusuf.

Kenangan pada Navis tidak pernah pudar dalam ingatan Eli. Dia yang satu sekolah dengan Navis sejak SD, lalu bersama pada Pondok Pesantren yang sama hingga tamat kelas 3 Aliyah di Pesantren.

Perjalanan yang panjang selama Sembilan tahun pada sekolah yang sama, berasal dari kampung yang sama. Seiring perjalanan waktu, menumbuhkan rasa asing pada mereka berdua. Rasa gembira dan berbunga jika bertemu, rasa yang ingin selalu bersama. Rasa yang kata pepatah "witing tresno jalaran kulino".

Namun, semua kandas ketika, Bunda menjodohkan Eli pada keluarga dari pihak ayah. Perjodohan yang bagi keluarga Minangkabau sangat dianjurkan. Inilah perjodohan yang disebut sebagai "pulang ka bako".

Perjodohan yang kelak, tidak membawa kebahagiaan bagi Eli, kecuali kemapanan dari segi materi. Meski tidak berlebih. Kemapanan yang menurut uraian ustadz Navis Lc, masih kalah jika dibandingkan dengan nikmat yang diterima oleh masyarakat kampung Eli.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun