Lalu, jika tidak boleh melibatkan kepolisian sebagai agen tunggal dalam penanganan dana desa, apa yang harus dilakukan oleh Kemendesa?
Prinsipnya, kebocoran dana desa, secara garis besarnya, disebabkan oleh kebijakan yang tidak tepat dalam pembuatannya dan aplikasinya serta perbuatan menyimpang yang dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam penggunaan dana desa.
Nah, pada sebab pertama itulah domain kemendesa berperan besar terjadinya penyalah-gunaan dana desa. Antara lain, sebab-sebab itu;
Satu. Target Schedule yang ngawur.
Masih ingat tentang schedule terbentuknya BUMDES dan EMBUNG? Mentri Eko dalam banyak kunjungannya selalu  menyatakan bahwa pada tahun 2016 seluruh desa di Indonesia telah memiliki Bumdes dan Embung. Sebuah pernyataan yang sangat ngawur. Mengapa ngawur? Karena untuk membentuk Bumdes banyak syarat-syarat yang mesti dipenuhi, ada filosofi tentang Bumdes yang harus di sosialisasikan, ada masa peralihan cara berpikir masyarakat yang murni agraris atau nelayan menjadi masyarakat yang memiliki jiwa enterpreuner, ada kemampuan membaca pada aparatur desa mana lahan yang dapat dijadikan bidang garapan Bumdes dan bidang garapan yang dapat dikerjakan oleh masyarakat, dan pada akhirnya seluruh syarat-syarat tadi harus di sosialisasikan pada masyarakat desa, khususnya pada aparatur desa.
Tetapi, bagaimana akan di sosialisasikan, jika mereka-mereka yang menjadi TA (Tenaga Ahli) dalam hal Bumdes tidak memiliki kemampuan dan kapabilitas tentang seluruh syarat-syarat yang ditentukan diatas. Maka, akhirnya, ketika dilakukan sosialisasi, isinya hanya berkutat pada administrasi, pada soal bagaimana cara membuat laporan keuangan, bagaimana cara mengisi format dan hal-hal yang sangat bersifat tekhnis. Maka, jangan aneh jika Bumdes yang terbentuk tidak sesuai dengan yang diidealkan, melainkan hanya untuk memenuhi syarat waktu yang ditentukan, sehingga ketika Bumdes beroperasi hanya menunggu saat kematiannya plus kerugian yang mengiringinya.
Hal yang sama terjadi pada Embung. Tidak tuntasnya pengertian tentang Embung, bagaimana memanage embung hingga menjadi lahan yang tidak hanya menampung air, melainkan juga produktif menghasilkan nominal uang selain fungsinya sebagai penampung air di waktu hujan dan sumber air pertanian ketika kemarau.
Dua, Perencanaan yang Premature.
Dalam sebuah perencanaan yang benar, hendaknya dilakukan kajian-kajian secara komprehensif, apa saja perangkat yang dibutuhkan agar perencanaan layak dikerjakan dengan kualitas yang diinginkan serta waktu yang ditentukan. Dalam banyak hal perencanaan yang dilakukan kemendes bersifat premature. Dalam hal konsep baik. Namun, karena tidak dibarengi dengan perangkat penunjang untuk tercapai perencanaan. Maka, dalam banyak hal gagal dalam pelaksanaan.Â
Sebagai contoh, dalam pembentukan Bumdes, tenaga sosialisasi yang paham tentang Bumdes sangat minim, dalam hal Embung, tenaga sosialisasi yang mengerti tentang Embung sangat minim, tenaga tekhnis yang mengerti tentang syarat tekhnis embung serta hubungannya dengan ekonomi dan ekologi, hampir dapat dikatakan tidak ada. Dalam pengerjaan Infrastrukture desa tenaga Pendamping Desa Tekhnik Infrastrukture (PDTI) sangat minim. Bahkan, di salah satu Provinsi di Pulau Jawa dengan jumlah Kecamatan 110 kecamatan, tenaga PDTI hanya 15 orang. Dengan kondisi demikian, jika terjadi penyalah gunaan dana desa, siapa yang patut pertama disalahkan? Tentunya pihak Kemendesa.
Tiga, Tidak adanya integritasi dalam laporan antara Kemendesa dan Kemendagri.