Dua, perlu dikaji ulang, bahwa sejarah perjalanan bangsa ini menyimpulkan, bawa semua usaha untuk memecahkan bangsa, selalu gagal. Lihat pemberontakan pertama yang terjadi pada tahun 1948, hanya beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Pemberontakan yang terjadi pada bulan September 1948 akhirnya gagal. Padahal, mereka telah berhasil masuk pada kesatuan TNI dan mengadu domba di dalamnya, terutama mereka yang berada di kota Surakarta.
Demikian juga dengan peristiwa tahun 1965. Gerakan tiga puluh September yang dirancang matang oleh colonel untung, akhirnya gagal total. Padahal, tujuh pahlawan revolusi telah berhasil mereka eksekusi, kondisi yang terbina sudah begitu kondusif untuk keberhasilan sebuah pemberontakan. Tokh, semuanya berakhir pada kegagalan. Demikian juga yang terjadi pada DI/TII, PRRI dan sejibun lagi pemberontakan yang dilakukan dengan cara kontak fisik. Semuanya, tanpa kecuali gagal total.
Bagaimana dengan cara-cara yang dilakukan tanpa kontak fisik? Hasil yang sama juga terjadi. Gagal total. Coba perhatikan, ketika euphoria reformasi pada pasca1998’an. Berbagai partai politik tumbuh dan bermunculan, bahkan dengan lebel-lebel agama, kedaerahan dan sektorian. Namun, apa yang terjadi? Semua berjalan biasa-biasa saja. singkat cerita, apakah perpecahan itu terjadi? Tidak. Indonesia masih utuh. Pelan tapi pasti, partai-partai yang berbasis sectarian, ditinggalkan konstuennya. Untuk akhirnya, perlahan mati. Indonesia masih utuh,Pancasila masih sakti.
Lalu, bagaimana membaca fenomena kekinan yang terjadi pada masyarakat Indonesia? Menurut hemat saya, akar masalahnya terletak pada keadilan. Keadilan pada hokum yang ditegakkan oleh penguasa dan keadilan pada cara pandang kita melihat fenomena. Jika, saja penguasa mampu memberlakukan keadilan pada seluruh rakyat tanpa pengecualian, maka separuh masalah selesai. Jika saja kita mampu melakukan keadilan pada cara pandang, maka separuh kegaduhan tidak terjadi.
Fenomena yang terjadi, pada cara pandang kita, jika pihak sana tidak sama dengan pihak sini, maka pihak sana salah. Demikian sebaliknya. Padahal, perbedaan adalah keniscayaan. Hukum alam yang mesti terjadi. Bagaimana kita mampu mendiskripsikan malam, jika tanpa kehadiran siang. Perihal salah, percayakah kita, bahwa kita dipihak yang benar, jika tanpa ada tabayyun –klarifikasi- pada pihak sana. Kesalahan itu, bisa jadi bukan pada mereka, namun pada kita.sebabnya, karena ketidak mampuan kita menangkap essential fenomena yang terjadi, keterbatasan kemampuan pikir dan keterbatasan ilmu yang dimiliki. Kesalahan itu, semakin diperparah dengan analisa atau tafsir yang salah pula, lalu dipubhlis pada mereka dengan kemampuan analisa yang sama atau lebih rendah lagi. Jadilah, kesalahan multi efek, kesalahan yang melahirkan kesalahan baru, makin jauh dari kebenaran. Sesat dan semakin menyesatkan. Sebuah efek domino. Semakin jauh dari kebenaran.
Tiga,kesaktian Pancasila tak perlu diragukan lagi. Ujian terhadap Pancasila sudahberulang kali dilakukan. Seperti yang tertulis diatas dan hasilnya selalu gagal total. Apa artinya semua ini. Itulah bukti tak terbantahkan bahwa Pancasila, merupakan bagian hakiki dari batang tubuh Indonesia. Bagian integral yang tak mungkin terpisahkan. Bagian tubuh yang menjadi syarat tubuh itu hidup. Bagaimana manusia hidup tanpa jantung? Tanpa Ginjal? Demikian, analogi Pancasila bagi tubuh Indonesia.
Mencoba mengganti Pancasila dengan dasar lain, sama dengan menafikan fungsi jantung bagi tubuh, fungsi ginjal bagi tubuh.
Soekarno dalam masalah ini, telah berhasil “menyelami” lautan terdalam dalam khasanah“laut” Indonesia, lalu memperoleh “Mutiara” khas Indonesia yang bernama Pancasila. Maka, jika disebutkan, kontribusi terbesar apa yang telah beliau sumbangkan untuk Indonesia? Dengan tidak menafikan jasa-jasa beliau dibanyak hal. Maka Jawaban yang pantas untuk pertanyaan itu, Pancasila. Dan itu, tak dapat dipungkiri, idenya muncul ketika Soekarno duduk dibawah pohon Sukun bercabang lima, di Taman Perenungan Soekarno di Ende.