Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Toleransi, Ada Apa Dengannya?

4 Februari 2017   14:28 Diperbarui: 4 Februari 2017   15:16 1074
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : disini

Lalu, kemana semua sifat-sifat toleransi yang telah mendarah daging pada masayarakat kita itu pergi? Apalagi, jika konteksnya dilekatkan pada konteks kekinian. Bukankah kita kini lebih berpendidikan, lebih terbuka dalam informasi, lebih memiliki alat komunikasi canggih. Yang lebih memperihatinkan, kita sering tersulut pada konfrontasi “agama”. Demikian akutnya kondisi, agama memprovokasi umatnya, sehingga timbul pertanyaan apakah karena agama kita jadi “bermusuhan”? Bukankah Agama seharusnya menjadi rakhmat, bukan laknat. Untuk menjawab pertanyaan ini. Beberapa kaidah diatas masih relevan sebagai solusinya. Seperti.

Satu, Lihat Persamaan. Semua agama, mengajarkan kebaikan, kasih sayang, tolong menolong dan peduli pada sesama manusia. Pegang adagium pertama ini. Jika ada kajian “agama” yang melahirkan kesimpulan bukan pada adagium pertama itu, berarti ada kesalahan dalam kajian atau kesimpulannya. Baik pada agama yang kita anut atau pada agama yang menjadi anutan tetangga. Tugas kita, dengan semangat adagium pertama (kasih sayang, tolong menolong dan peduli pada sesama manusia) mengembalikan mereka pada semangat adagium pertama. Caranya? Tentu dengan cara kasih sayang dan kepedulian yang prima. Bangsa ini memiliki sejibun contoh kerukunan antar umat beragama. Masalahnya, mau atau tidakkah, kita membuka lembaran lama khasanah lama, tentang guyubnya masyarakat antar umat beragama kita, lalu menduplikasi ulang pada kehidupan kekinian kita. 

Dua, Sadari kita memang Berbeda. Ketika kita sadari bahwa kita memang berbeda, lalu apa perlunya kita memaksakan “agama lain” untuk sama dengan kita. Dengan menyadari bahwa kita berbeda, maka upaya yang layak dilakukan adalah mengelola perbedaan itu. Caranya, dengan menghormati perbedaan yang ada. Apa yang “diyakini” agama yang satu harus dihormati oleh yang lain pula. Ketika umat Islam memiliki keyakinan agar memilih pemimpin yang beragama Islam, maka umat agama lain harus menghargai keyakinan itu. Tokh, agama lain, memiliki keyakinan yang sama. Memilih pemimpin yang satu agama. Lalu dimana salahnya, dimana letak ketidak harmonisannya. Jika pun ada salahnya, ketika keyakinan itu, dipaksakan untuk dilakukan oleh pemeluk agama lain. Jadi, meyakini apa yang menjadikan keyakinan agama sendiri, bukan sebuah kesalahan. Menghormati keyakinan agama yang lain merupakan kewajiban. Harmonisasi antara melaksanakan keyakinan sendiri tanpa memaksakan pada pemeluk agama lain, dan pada saat yang sama menghormati keyakinan orang lain, inilah yang disebut dengan Toleransi.

Tiga, Komitmen Dalam Bernegara. Kesepakatan kita dalam bernegara adalah dengan ideologi  Pancasila. Artinya, kita sepakat untuk menjadi hamba dari “Tuhan YME”, kita sepakat untuk saling Adil dan beradab dalam berintek-aksi sebagai warga Negara, kita sepakat untuk menjaga Persatuan dalam bingkai Negara kesatuan Indonesia, sebagai rakyat kita sepakat, untuk dipimpin dengan cara musyawarah dan mufakat, artinya semua masalah yang timbul dicarikan jalan keluarnya dengan cara bermusyawarah, tanpa ngotot-ngototan sehingga dihasilkan kata mufakat pada akhir musyawarah yang dilakukan. Sebagai anak bangsa, kita sepakat untuk bersikap adil pada semua masalah yang timbul dalam bernegara. Kita akan meninggalkan sentiment golongan, agama dan kesukuan ketika mencari pencapaian, dalam upaya memperoleh rasa keadilan bagi seluruh warga anak bangsa. Butir-butir  Panca Sila yang diejawantahkan masyarakat, dalam kehidupan kesehariannya, itulah yang menjadi kata kunci, mengapa masyarakat kita mampu bertoleransi dalam kehidupan keseharaiannya. Jika kini, dirasa toleransi mulai terkikis dari kehidupan keseharian kita, maka saatnya kita kembali pada nilai-nilai luhur Panca Sila. Bukan sekedar pada tataran teori semata, namun, dilakukan pada praktek keseharian kita.

Empat, Hilangnya rasa Tasamuh. Tasamuh berasal dari bahasa Arab yang artinya, berlaku lemah lembut, saling menghargai dan saling memaafkan. Untuk mewujudkan rasa Tasamuh diantara anak bangsa, maka syarat utamanya adalah adanya inter aksi antara anak bangsa. Adanya saling bertemu, saling guyub dan saling berdiskusi dan tatap muka dan tatap mata.

Betapa banyak masalah yang awalnya terlihat rumit, setelah saling bertemu, kemudian berdiskusi dengan semangat saling menghargai, dengan cara lemah lembut dan kelapangan dada untuk saling memaafkan. Masalah-masalah yang awalnya terlihat rumit, ternyata selesai dengan cara sederhana, melegakan semua pihak dan mencerahkan semua anak bangsa.

Namun, entah karena kita semakin sibuk, semakin individulistis dan egois serta tidak memiliki waktu untuk saling bertemu. Semua masalah, yang awalnya dicarikan solusinya dengan manual, kini diwakili dengan tekhnologi.  Seperti dengan WA, SMS atau FB. Terlihat praktis dan banyak memberikan keringanan memang. Tetapi, satu “kehilangan” yang tidak disadari oleh kita, dari kehadiran tekhnologi itu, adalah rasa Tasamuh. Rasa kasih sayang, rasa saling menghargai dan saling memaafkan. Kita, hanya terpaku pada huruf-huruf dan angka-angka yang tertulis. Lalu, ditafsirkan sesuai nalar masing-masing, tanpa melihat suasana yang melatar belakangi tulisan itu dibuat, tanpa melihat ekspresi apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh sang penulis. Ada sesuatu yang “miss” antara niat pesan yang ingin disampaikan dengan “tafsiran” dari pesan yang diterima. Semakin pesan ini disebar-luaskan, semakin lebar jurang “miss” yang terbentang. Karena, pesan itu, telah ditafsirkan semaunya sendiri oleh mereka yang tak memiliki pengetahuan tentangnya dan menurut hawa nafsu mereka yang menafsirkan.

Inilah agaknya, fenomena yang kini disebut dengan hoax pada dunia media sosial.  

Padahal, jika saja, dilakukan pertemuan tatap muka dengan semangat Tasamuh, semua kegaduhan itu, tidak akan ada, atau setidaknya dapat diminimalisir.

Agaknya, apa yang terjadi kini, nyaris hilangnya toleransi pada bangsa Indonesia, bukan sesuatu yang rumit untuk dicarikan solusinya. Karena, jauh sebelumnya, kita pernah memiliki suasana itu. Karena pernah memilikinya, maka jalan pintas yang dibutuhkan hanya kebulatan tekad untuk kembali pada “suasana” ketika kita pernah memilikinya.

disini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun