157 tahun silam, tepatnya tahun 1860, untuk pertama kalinya buku Max Havelaar terbit. Sejak itulah gema Lebak, bukan hanya bergema di Eropah, khususnya Belanda. Tetapi, menggema ke seluruh dunia. Daerah yang dijelelahi oleh Lebak, seluas daerah dimana Max Havelaar diterjemahkan ke dalam bahasa daerah-daerah tersebut. Dengan induk-induk bahasa seperti Perancis, Inggris, Portugis. Sebagai Negara-negara yang memiliki daerah jajahannya sendiri. Mengingat luasnya daerah jajahan Inggris, Perancis dan Portugis, dapat disimpulkan Max Havelaar dibaca dihampir ¾ luas permukaan bumi. Imagine!.
Belum lagi, belakangan, Max Havelaar menjadi bacaan wajib bagi para pelajar Eropah.
Akibatnya apa? Pemerintah Kolonial Belanda panik. Tekanan yang demikian keras pada pemerintah Kolonial Belanda, memaksa mereka, untuk merubah politik Tanam Paksa dan menggantikannya dengan menerapkan Politik Etis. Politik Balas Budi. Politik yang memberi izin pada kaum pribumi untuk mengenyam pendidikan.
Terlepas, dari kontroversial, bahwa politik etis, pada akhirnya menguntungkan Kolonial Belanda, karena untuk pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan ketrampilan dasar dapat diserahkan pada kaum bumi putera. Akibatnya, ongkos produksi dapat lebih ditekan dan sekaligus mendudukkan “Belanda” pada kelas yang lebih tinggi lagi. Karena, mereka lebih dapat fokus pada level pekerjaan yang lebih “tinggi” lagi.
Namun, roda itu telah bergulir, dan Kolonial Belanda tak mampu untuk menghentikannya. Di generasi pertama, mungkin teori itu benar. Tetapi, Belanda tanpa disadarinya telah menciptakan kelas baru pada kaum pribumi. Kelas baru itu, kemudian, selalu saja, menyekolahkan anak-anak mereka. Pada generasi kedua, ketiga dan seterusnya inilah yang kelak menjadi “generasi terpelajar” dari kaum Bumi Putera. Generasi terpelajar yang menyadari akan harkat diri mereka sebagai bangsa terjajah dan sekaligus mencita-citakan Indonesia Merdeka.
Jadi, Max Havelaar sebagai pemicu perubahan arah politik Kolonial Belanda, realita yang tak terbantahkan. Kejadian yang diceritakan oleh Max Havelaar, berlokasi di Lebak, juga tak terbantahkan. Bahkan, Multatuli dalam banyak kesempatan “menantang” pemerintah Kolonial untuk membuktikan bahwa data-data yang dia ceritakan dalam Max Havelaar adalah data bohong, data tidak valid. Tantangan yang hingga hari ini, tidak pernah berani dibuktikan oleh Kolonial Belanda.
Inilah sumbangan Lebak untuk Indonesia. Penderitaan yang dialaminya, menginspirasi untuk Indonesia merdeka. Bukan main.
Syahdan, seorang anak lelaki kecil di daerah Lebak bernama Saijah kecil yang menyayangi kerbau miliknya seperti sahabat sendiri. Namun, Sayangnya kebahagiaan itu tak bertahan lama. Berkali-kali kerbau milik Saijah diambil paksa oleh orang-orang suruhan Bupati Lebak dan Demang Parungkujang, yang masih terhitung kemenakan dari sang Bupati. Tak ada rakyat yang berani melawan.
Pemerasan ini terjadi terus dan terus. Hingga akhirnya Ayah Saijah tidak memiliki apa-apa lagi. Semua harta kekayaannya habis diperas oleh Bupati Lebak dan Demang Parangkujang. Ibu Saijah terpukul atas perlakuan semena-mena yang menimpa anaknya. Dia sakit, hingga akhirnya meninggal.
Sepeninggalan istrinya, ayah Saijah stres. Dan meninggalkan kampung halamannya. Sebabnya, Ayah Saijah tidak dapat membayangkan bagaimana kemarahan sang Demang jika dirinya tidak mampu membayar pajak. Ayah Saijah pergi dan tidak pernah kembali lagi.
Dalam kesedihan, Saijah tumbuh menjadi seorang pemuda. Lalu, pemuda tanggung itu, menjalin kasih dengan Adinda, sahabat yang dikenalnya sejak kecil.