Tidak mencoba untuk memberinya pupuk, menyiraminya dengan air cinta, sehingga pohon itu, kembali segar dan tumbuh lebat. Jika hal demikian yang kita lakukan, lihatlah akibatnya, bukan hanya jiwa kita yang fresh kembali. Tetapi, keajaiban dan syurgawi rumah tangga sudah menanti untuk kita nikmati seperti periode bulan madu kita dulu pada awal-awal pernikahan.
Tempat indah lain yang perlu kita kunjungi, adalah areal tempat kita menerima cinta dari sang Pemilik Alam Semesta. Semua agama dijagat raya ini, mengakui keberadaan destinasi itu. sebutannya bisa saja berbeda, tetapi maknanya sama. Seperti, semedi, berdzikir dan lain-lain. Pada areal ini, sudahkah kita melakukan Audensi secara rutin pada Sang Pemilik Alam semesta itu? MemujiNya, menyanjungNya, dengan sanjungan super lebay dalam kalimat yang keluar dari bibir kita.
Tetapi, jujur dalam penyebutannya didalam hati. Pujian yang melebihi ketika memuji pasangan hidup kita. Meminta dengan permintaan yang sungguh diluar nalar, yang permintaan itu, mungkin saja tak akan pernah kita mintakan pada pasangan hidup kita, permintaan yang ketika kita minta pada pasangan kita, dapat menimbulkan kemarahan, tetapi pada pemilik Alam Semesta, hanya sebuah permintaan kecil, remeh temeh. Permintaan yang tak akan membuat Sang Pemilik jagat raya ini, menjadi marah, melainkan justru malah senang.
Kunjungan destinasi pada area ini, jika dilakukan dengan rutin dan periodik, maka bentuk fresh kejiwaan pasti sudah dalam genggaman kita. Inilah agaknya tafsir untuk ayat “sesungguhnya,. Dengan mengingatKu, hatimu akan tenang”. Dan ayat “Lalu Mintalah padaKu, maka Aku akan mengabulkannya”
Cukupkah dua destinasi? Tentu tidak, ingat, kita adalah manusia. Makhluk yang selalu ingin dan ingin lagi. Hingga, keinginan itu, akan berhenti dengan sendirinya, ketika nyawa sudah meninggalkan tubuh.
Masih banyak destinasi yang kurang sempurna, yang butuh untuk disempurnakan oleh kita secara terus menerus dan konsisten dilakukan. Areal itu, seperti areal sombong yang bersemayam dihati, areal marah yang bersemayam di hati, areal yang merasa diri paling pintar, merasa diri paling sempurna, iri pada keberhasilan pihak lain, merasa minder terhadap orang lain yang memiliki strata social diatas kita dan masih banyak areal-areal lain yang berupa semak belukar yang menghilangkan keindahan destinasi hati.
Kalau untuk mengunjungi destinasi diluar hati yang terlihat indah, setelah dibersihkan oleh pengembangnya, kita rela mengeluarkan biaya, waktu dan tenaga yang tidak sedikit. Mengapa untuk membersihkan areal semak belukar dalam hati pada diri sendiri kita tidak mau melakukannya? Tidak mau melakukannya dengan sepenuh hati, atau bahkan dengan mengeluarkan sejumlah uang. Aneh bukan?
Pengingkaran atau ketidak-mauan membersihkan semak belukar dalam hati itu, bukan saja aneh, melainkan sebuah bentuk pengingkaran terhadap fitrah kita sendiri sebagai manusia. Fitrah manusia itu, adalah sebagai khalifah dimuka bumi. Sebagai kreator kecil yang tugasnya memakmurkan bumi. Maka, sebagai kreator kecil, manusia dibekali seluruh sifat-sifat Sang Kreator besar, dengan ukuran yang kecil pula. Jika sang Kreator besar memiliki sifat Cinta pada keindahan, kesucian, kebersihan, kasih sayang, suka memberi dan lain-lain.
Maka, idealnya, hal yang sama, tentunya harus juga dilakukan oleh sang kreator kecil, dengan bentuk yang kecil pula.
Membersihkan semak belukar dalam hati, merupakan implikasi dari sifat cinta akan kebersihan, cinta akan kesucian dan cinta akan kasih sayang, pada diri sendiri maupun pada sesama manusia.
Tekhnisnya, dalam upaya pembersihan semak belukar itu, sangat sederhana. Kita hanya disuruh untuk lebih banyak beraudensi denganNya, banyak-banyak memohon ampunan padaNya, melaksanakan seluruh yang diperintahkanNya baik dengan suka rela atau dengan terpaksa, meninggalkan seluruh laranganNya, baik dengan suka atau terpaksa. Selanjutnya biarlah Sang Pemilik diri ini yang membersihkannya. Sehingga, ketika seluruh belukar dalam hati sudah bersih, maka kita akan suka dan sering, untuk melakukan perjalanan destinasi hati.