Kini obrolan bergeser pada soal kemiskinan. Pak Ahmad bercerita panjang lebar tentang kemiskinan di NTT khususnya Lambata. Tak heran, jika Pak Ahmad begitu menguasai masalah kemiskinan, ternyata beliau aktif juga pada program pengentasan kemiskinan yang kini sudah selesai eranya, sejak Joko Widodo diangkat menjadi Presiden RI. Saya yang kebetulan juga ikut pada program pengentasan kemiskinan sebelum era Jokowi merasa mendapat teman diskusi yang pas. Pembicaraan jadi hangat.
Obrolan lalu berpindah ke masalah batu akik. Sesuatu yang tidak saya sangka menjadi hal yang kelak, menghasilkan tulisan ini. Saya lihat Pak Ahmad memakai tiga batu akik di tangannya, sedangkan saya hanya satu buah saja.
Beliau menyuruh saya melepaskan akik yang saya pakai, lalu memperhatikan batu yang kini sudah berpindah ke tangannya dengan seksama. Sambil memperhatikan batu Pak Aahmad bertanya kemana sesungguhnya tujuan saya. Dengan polos saya jawab, bahwa saya besok akan ke Larantuka, untuk selanjutnya secara perlahan-lahan bergerak menuju arah ke Barat untuk akhirnya menghentikan perjalanan di daerah Banten, tempat tinggal saya. Sangat jauh ya Pak? Tanya Pak Ahmad. Perlu berhari-hari perjalanan hingga tiba di Banten. Lanjut beliau lagi.
Refleks Pak Ahmad, melepaskan cincin yang beliau Pakai, lalu diberikannya pada saya untuk dicoba dikenakan. Ternyata pas untuk ukuran tangan saya.
Jangan dilepas lagi Pak, Bapak pakai saja. Batu akik cincin itu, bernama Hitam Jahanam.Jika Bapak pakai terus, makin lama kesehatan Bapak makin baik. Jika Bapak sakit perut atau ada masalah dengan pencernaan, batu itu direndam kira-kira setengah jam atau lebih, lalu airnya diminum, maka perut Bapak akan baik kembali. Begitu juga jika badan Bapak capek-capek, batu itu direndam seperti diatas, lalu airnya diminum. Dan, maaf air rendaman batu itu juga, bermanfaat sebagai obat kejantanan. Demikian penjelasan Pak Ahmad.
Cerita tentang si Hitam Jahanam itu, seakan terlupakan, hingga ketika saya telah meninggalkan daratan Flores dari Labuhan Bajo dan mendarat di Pelabuhan Sape, Nusa Tenggara Barat.
Jam menunjukkan pukul satu dinihari,ketika itu. Sebelum ke Bima, saya mengisi perut terlebih dahulu di warung yang masih buka di Pelabuhan Sape. Sang pemilik warung ternyata seorang kolektor batu Akik. Beliau kaget dengan batu yang saya Pakai. Saya tanyakan apa nama batu yang saya pakai. Dengan sepenuh yakin, sang pemilik warung mengatakan bahwa batu yang saya Pakai itu “Hitam Jahanam” seluruh keterangan yang beliau katakan, sama persis dengan yang dikatakan Pak Ahmad, ketika di Maumere tempo hari.
Tetapi yang jelas, selama 12 hari mengendarai kendaraan motor roda dua dari Larantuka hingga ke Malingping di pedalaman Banten, tak sekalipun saya masuk angin. Sebabnya, apakah karena adanya inframerah yang terpancar dari “Hitam Jahanam” atau karena saya yang terobsesi dengan khasiat Hitam Jahanam, saya sendiripun tak tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H