Memasuki kabupaten Nagekeo, kita tersadarkan betapa Flores bukan hanya perbukitan nan tak berujung, di kabupaten Nagekeo didominasi dengan daratan yang rata, udaranya memang cukup panas dan menyengat.
Namun di Nagekeo, ada sebuah bendung yang mampu mengairi sawah irigasi seluas 15 ribu hektar, ada lahan yang direncanakan untuk Bandara, dimana lokasinya bekas Bandara yang dulu dibuat oleh Jepang dan terakhir kali dipakai ketika Sutami mengunjungi daerah ini, guna meresmikan Bendung Sutami. Daerah itu, disebut sebagai Surabaya dua.
Di Kabupaten Nagekeo, juga terdapat pelabuhan laut yang refresentatif yang berada di daerah Maropokot, dan pelabuhannya sendiri, diberi nama sesuai dengan lokasi keberadaannya “Pebuhan maropokot”. Namun sayang, kapal penumpang PELNI yang menyinggahi daerah ini, hanya terjadi setiap dua minggu sekali.
![Kepala Suku Kampung Ruteng, Lambertus Dapur. Di Depan Rumah Tambor, perhatikan lambang Kepala Kerbau pada Atap rumahnya (dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/10/lm4-57d41a30b17a613d5825d3d5.jpg?t=o&v=555)
Melangkah ke barat, kita tiba di Kabupaten Ngada, dengan Ibu Kota Bajawa. Kota dingin dengan bentuk kontur seperti kuali, mirip kota Bandung di Jawa Barat. Di Bajawa kita akan bertemu dengan sekolah Seminari Mataloko dan Kampung Kuno Bena, dan yang membuat saya terkejut, disini garis keturunan di tentukan menurut garis keturunan Ibu, seperti halnya di Sumatera Barat.
Garis keturunan Martiarchat itu, bukan hanya terjadi di Kampung Bena. Melainkan, hampir menyeluruh di daerah kabupaten Ngada, hingga ketika sesaat sebelum saya memasuki Kabupaten Manggarai Timur dengan ibu kotanya Borong, saya sempat berhenti di Pantai dan memesan ikan bakar di Kampung Nelayan tersebut, dalam obrolan dengan sang penjual, mereka masih mengakui jika menggunakan system Matriarchat.
Memasuki Ibu Kota Manggarai, Ruteng. Kota yang berhawa sejuk, saya merasa belum sempurna jika tidak mengunjungi “Kampung Ruteng” Sebuah pemukiman dimana asal mula keberadaan orang Manggarai. Saya diterima langsung oleh Kepala Suku Kampung Ruteng, sore itu. Nama beliau, Lambertus Dapur.
Pria yang mendekati usia senja dengan segala wibawa yang melekat padanya. Kepada saya, beliau berkisah, bahwa nenek moyang mereka berasal dari Minangkabau. Hal demikian dapat dilihat dari rumah Asli suku kami, rumah Tambor dan Rumah Gendang, demikian pak Lambertus pada saya sambil kami berjalan menunujukkan atap rumah yang dimaksud.
Sore itu, ketika saya makan di rumah makan “Takana Juo” di kota Ruteng, sang pemilik Rumah makan, membenarkan apa yang dikatakan oleh kepala suku Ruteng Puu (nama Suku Asli Manggarai) yang baru saya temui beberapa jam sebelumnya.
Esok harinya, pukul empat sore saya meninggalkan Labuhan Bajo, kota terakhir di Pulau Flores yang terletak di Manggarai Barat. Sekaligus sebagai Ibu Kota Manggarai Barat. Labuhan Bajo, juga terkenal dengan destinasinya, dari kota pelabuhan ini juga kita dapat mencapai Komodo. Dengan Kapal Cakalang II, saya meninggalkan Labuhan Bajo berlayar menuju pelabuhan Sape di Nusa Tenggara Barat. Selamat tinggal NTT.
![Selfie sejenak di Depan Papan Nama Kuta Lombok, agar tidak disangka tulisan hoak (dok. Pribadi)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2016/09/10/lm-5-57d41ae1717a615c48c13d4d.jpg?t=o&v=555)