Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Biaya Sosial, Buah Kerja Ahok?

8 Mei 2016   02:56 Diperbarui: 8 Mei 2016   03:00 1703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ahok (sumber gambar : Aktual.com)

Untuk menjadi atlit lari yang sukses, dibutuhkan latihan lari yang keras tiap hari. Petinju sukses bukan hanya mereka yang mampu memukul lawannya hingga KO. Melainkan, juga mereka yang kenyang dipukul hingga babak belur dalam proses latihannya.  Tak ada yang instant, kemudian, tiba-tiba jadi.

Ada hukum sebab akibat. Ada proses yang mengiringinya. Semuanya dapat dijelaskan. Semakin kuat kita mengejar mimpi, semakin dekat kita pada peraihan dari mimpi itu.

Ada hukum kekekalan energi yang berlaku. Semakin kuat kita melemparkan bola pada dinding, sekuat itu pula, pantulan bola kembali pada kita.

Demikian juga dengan mereka yang menorehkan sejarah dalam kehidupan umat manusia. Mereka yang kita sebutkan sebagai pribadi luar biasa. Bukanlah hasil pendidikan yang biasa. Mereka adalah hasil tempa-didik yang luar biasa.

Sebut saja misalnya Ibrahim. Dalam hitungan hari setelah dilahirkan, beliau ditempatkan dan ditinggalkan sendiri di dalam gua oleh sang Bunda. Alam yang menempa beliau. Hasilnya? Ibrahim diakui sebagai bapak para nabi.

Demikian juga dengan nabi Isa, nabi Muhammad dan lain-lain utusan Allah. Mereka ditempa dengan sesuatu yang keras. Bagaimana Musa harus membawa umatnya keluar dari penjajahan bangsa Mesir yang dipimpin oleh Fir’aun. Di belakang Musa, ada tentara Fir’aun yang mengejar sementara di depan Musa ada laut yang siap menenggelamkan Musa dan pengikutnya. Akhirnya, kemenangan dan keberhasilan berpihak pada Musa.

Lalu apa yang membedakan para pemimpin yang membawa kedamaian itu, dengan pemimpin yang kejam. Pembawa bencana. Sebut saja, misalnya seperti Yoseph Stalin, Muammar Khadafi, Saddam Husein?

Ternyata, perbedaan diantara mereka terletak pada kejadian yang menimpa mereka, saat masa kecil mereka. Pada pemimpin yang disebutkan terakhir ini, ada kejadian yang menjadikan traumatik pada masa awal-awal kehidupan mereka, sehingga, akhirnya membawa akibat yang serius, ketika mereka dewasa.

Yoseph Stalin yang dilahirkan pada tahun 1879 di kota Gori, dibesarkan dalam kondisi miskin papa. Ayahnya yang tukang Sol sepatu, pemabuk berat. Sering memukuli Stalin kecil hingga melintir-melintir. Dan Stalin kecil, baru bebas dari kekejaman sang ayah saat berusia 11 tahun, ketika sang Ayah meninggal dunia.

Saddam Hussein dilahirkan di kota Al-Awja, tiga belas kilometer dari kota Tikrit. Ibunya, Subha Tulfah al-Mussallat, menamai anaknya “Saddam” yang berarti “dia yang menantang, dia yang melawan”. Saddam kecil tak pernah mengenal ayahnya, Hussein Abd al-Majid. Selanjutnya, Saddam dibesarkan pamannya dengan cara “keras”

Muammar Khadafi lahir di Surt, Tripolitania, 7 Juni 1942. Di dalam tenda Badui, ditengah padang pasir. Besar dalam angin  Padang Pasir yang keras. Suasana dunia yang sedang bergolak saat itu, terserap habis dalam jagad khadafi kecil. Khadafi muda seorang penganut gelora nasionalisme Arab yang diperjuangkan pemimpin Mesir Gammal Abdul Nasser pada 1952.

Pengalaman traumatis semasa kecil seperti merasa sebagai anak terbuang, terabaikan dan terancam, meninggalkan luka pshykis yang dalam. Pengalaman traumatis semacam ini, ternyata mengakibatkan kerusakan emosi dan pshikologis yang lama dan akut

Dalam presentasinya, Dr. Nadine Burke Harris, dokter anak terkemuka dan CEO pendiri CYW (Center for Youth Wellness) San Fransisco, mendefinisikan trauma masa kecil akut, sebagai “ancaman-ancaman yang begitu parah atau meresap sehingga mereka merasuk ke dalam diri kita dan merubah fisiologis kita: hal-hal seperti pelecehan atau pengabaian, atau tumbuh dengan orangtua yang berjuang melawan penyakit mental atau ketergantungan obat-obatan”

Pusat respon takut di otak, akan menyebabkan seseorang mengambil tindakan yang beresiko tinggi manakala menghadapi tekanan

Jadi, tidaklah mengejutkan apabila korban-korban trauma masa kecil, bergulat dengan emosi-emosi amarah, kenangan-kenangan menakutkan, penyakit, dan depresi di masa dewasa.

Turunan  dari traumatik masa kecil ini, melahirkan tindakan-tindakan yang sulit untuk diterima, terutama oleh mereka yang tidak mengalaminya.

Lalu bagaimana, jika korban traumatik bukan hanya dialami oleh person-person perorangan, melainkan dalam sebuah  komunitas. Mereka  inilah yang dalam aksinya kelak dikenal dengan teroris. Mereka dalam menjalankan aksinya, bisa saja membawa agama sebagai dasar ideology, membawa nama suku, nama daerah atau yang lainnya. Tersebar hampir diseluruh belahan dunia. Terutama yang  system pemerintahannya masih memarginalkan kelompok tertentu. Apakah  itu kelompok agama, suku atau daerah.

Contoh konkret yang  dapat kita lihat seperti kelompok separatis bersenjata Spanyol di Basque, ETA. Di era delapan puluhan hingga Sembilan puluhan, ada kelompok bersenjata IRA di Irlandia, Al-Qaeda di Afhganistan. Dan yang kini hangat dibicarakan adalah kelompok Abu Sayaf di Philipina dalam kaitannya  penyanderaan terhadap WNI.

Apakah Indonesia akan memiliki kemungkinan itu? Saya berharap, jawabannya tentu saja tidak. Akan sangat mengejutkan, jika kelak, terjadi kelompok-kelompok  pembuat kerusuhan disana-sini. Setelah ditelusuri. Ternyata, mereka adalah  anak-anak yang kini mengalami trauma berat akibat penggusuran yang dilakukan Ahok di Pasar Ikan Luar Batang.

Masalahnya, bukan pada, apakah yang dilakukan Ahok itu, salah atau benar. Tetapi apakah Ahok sudah memikirkan, kemungkinan akibat yang akan terjadi, dari tindakan yang diambilnya, akan berbuah demikian.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun