[caption caption="Kang Pepih Nugraha, Isson Khaerul, Muhammad Sobary, Iskandar Zulkarnain pada Kompasianival 2015 (dok. Pribadi)"][/caption]Masih tentang kompasianival tahun 2015. Inilah salah satu catatan yang tertinggal dari ajang pertemuan blogger terbesar di Republik ini.
Siang itu, saya bertemu dengan seorang yang pada puluhan tahun lalu, saya tahu sering tafakkur berlama-lama di sebuah Mesjid di kawasan Depok. Kalau saja mereka tahu, siapa yang sedang tafakkur berlama-lama itu, tentu akan meninggalkan kesan mendalam.
Betapa tidak. Dialah salah satu Budayawan besar republic ini. Mantan Pemimpin Umum Kantor Berita Antara. Pengagum sekaligus sahabat kental Gus Dur. Pria yang lahir di Bantul Yogyakarta, 7 Agustus 1952 itu bernama Mohammad Sobary.
Dalam usianya yang sudah menginjak 63 tahun, kang Sobary, demikian budayawan gaek ini akrab di panggil, masih terlihat gagah, masih tetap nyeleneh dan masih menghisap rokok bersama penulis siang itu, ditemani dengan sobat kental saya Isson Khaerul.
Saya sebagai pengagum Mohammad Sobary, siang itu terkagum-kagum dengan dialognya yang terkesan ndeso, terus terang dan langsung pada inti masalah. Bukan soal tampilannya, biasalah tampilan budayawan tentu berbeda dengan birokrat atau pengusaha maupun blogger yang lalu lalang siang itu.
Tetapi, dengan pemikiran dan cetusan ide-idenya. Salah satunya, bersama dengan Bang Isson Khaerul, berencana melakukan dialog-dialog kecil setiap minggu, sebagi pencerahan bagi para blogger. Tempatnya, bisa di lantai 6 Jalan Palmerah no 29. Atau dimana? nanti akan dibicarakan.
Sayangnya, sekali auto kritik untuk panitia kompasianival, kedatangan kang Sobary pada ajang kompasianival tidak mendapat mendapat tempat yang semestinya. Beliau tidak diberikan waktu untuk berorasi pada panggung utama, bahkan pada panggung kedua pun tidak. Untunglah “Koplak yo band” mewawancarainya. Saya sedikit terhibur untuk itu. Saya ucapkan terima kasih untuk koplak yo band.
Siang itu, masih menurut Kang Sobary yang lulusan Monash University Australia itu, bentuk maju sebuah daerah, bukan dilihat dari berapa PAD daerah yang bersangkutan atau berapa kayanya mereka dalam kepemilikan materi. Tetapi, berapa banyak putra-putra daerah itu yang berkiprah dalam dunia keilmuan. Menjadi dosen, menjadi ilmuan, menjadi tenaga-tenaga riset serta inovasi-inovasi yang dilahirkan mereka untuk perabadan dan kebudayaan.
Sedang fenomena tentang ustad dan agamawan yang sedang “in” saat ini, kang sobary mengatakan, “agamawan yang tidak bisa memakai agama tenaga, akan menjadikan mereka penjilat, dan kultus-kultus yang menghasilkan jabatan, uang dan nama”.
[caption caption="Dua ahli "hisap" yang asyik berdiskusi pada kompasianival 2015 (dok. Pribadi)"]
Soal kemodernan kang sobary mengatakan bahwa kemodernan itu, dilihat dari akibatnya. Jika akibatnya akan memudahkan, maka itulah modern. Mudah dalam segala hal. Termasuk, mudah dalam pengembangan usaha kecil, mudahnya akses dalam menuntut ilmu dan mudahnya dalam memperoleh keadilan.
Rasanya waktu cepat sekali berlalu untuk berbincang-bincang dengan penulis buku, Kang Sejo Melihat Tuhan, Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal, Demokrasi Ala Tukang Copet, Semar Gugat di Temanggung, Jejak Guru Bangsa, Kidung, Sang Musafir, Singgasana dan Kutu Busuk, Kisah Karna dan Dendam Kita, dan masih banyak tulisan beliau, baik Cerpen, Reportase, catatan ringan dan Opini.
Harapan saya, semoga untuk tahun berikutnya, sebagai blogger yang aktif menulis, sudah selayaknya pada pertemuan ajang blogger terbesar di republic ini, Kang Sobary mendapat tempat yang lebih terhormat. Sediakan panggung utama untuknya, silahkan kita sebagai blogger menyerap sebanyak mungkin apa yang beliau orasikan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H