[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="Singgasana Raja. (dok. Pribadi)"][/caption]
Dua hari sudah saya di Medan, kota yang pernah begitu akrab dalam kehidupan masa lalu saya. Pagi itu, selepas menikmati kopi sidikalang yang terkenal itu, salah seorang teman mengingatkan saya tentang Istana Maimun. Saya tersadar, ada sebuah ujaran yang mengatakan bahwa, belum lengkap mengunjungi Kota Medan, sebelum singgah di Istana Maimun. Analoginya, seperti belum sempurna mengunjungi Jakarta sebelum melihat Monas.
[caption id="attachment_410700" align="aligncenter" width="600" caption="Pagar sisi depan Istana Maimun, jalan terlihat lengang pada Minggu pagi itu (dok. Pribadi)"]
Sadar akan ketidaksempurnaan saya mengunjungi Medan, kami pun bergerak, dari Taman Merdeka, sebagai pusat Kota Medan, yang di Pulau Jawa disebut sebagai alun-alun. Menyelusuri jalan A. Yani, kami melalui kantor Harian Analisa, kantor harian yang punya kenangan khusus, di harian itulah, dulu pada tahun sembilan puluhan, setiap hari Jum’at, tulisan saya selalu muncul pada rubrik “agama”, sesekali pada hari Rabu dalam rubrik Budaya. Kenangan itu muncul kembali, begitu melintas di depan kantor Harian Analisa.
Kami, terus melangkah. Perjalanan pagi itu, sengaja dilakukan dengan berjalan kaki, dengan tujuan jelas, menyerap sebanyak mungkin, hal-hal yang bisa dikenang dalam seluruh perjalanan menuju Istana Maimun. Tak terasa, di ujung Jalan Brigadir Jendral Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Maimun. Istana Maimun yang menjadi tujuan perjalanan pagi itu, mulai jelas terlihat.
[caption id="attachment_410702" align="aligncenter" width="600" caption="Tampak, Istana Maimun dari depan dengan dominasi warna kuning (dok.Pribadi) "]
Tak disangka, kami sudah berada di depan Istana Maimun. Istana yang kadang disebut juga dengan Istana Putri Hijau. Sebuah Istana yang menggambarkan sisa kebesaran Kerajaan Melayu Deli. Istana yang didominasi dengan warna kuning. Warna kebesaran dari Kerajaan Melayu Deli.
Istana Maimun, dibangun pada masa kekuasaan Sultan Makmun al-Rasyid Perkasa Alamsyah sebagai Sultan atau Raja Deli ke IX. Putra sulung dari Sultan Mahmud Perkasa Alam, pendiri Kota Medan. Pembangunan istana ini selesai pada 25 Agustus 1888 M. Istana yang berada di antara Jalan Halat, Jalan Denai, Universitas Sumatera Utara, Stadion Teladan dan Mesjid Raya ini, memiliki beberapa kelebihan, seperti luas istana lebih kurang 2.772 m², luas halaman mencapai 4 hektar, panjang halaman dari depan ke belakang 75,50 m, serta bangunan istana yang berlantai dua dengan tinggi 14,14 m.
Bangunan Istana Maimun, terdiri dari tiga ruang utama: ruang utama, ruang sayap kiri, dan ruang sayap kanan. Ruang utama yang disebut sebagai balairung, memiliki luas 412 m², pada ruang utama inilah terdapat singgasana. Di dalam Istana Maimun, terdapat 30 ruangan. Dengan berbagai desain interior yang unik. Berbagai perabotan bergaya Eropa, seperti lemari, kursi, dan lampu-lampu kristal.
[caption id="attachment_410704" align="aligncenter" width="600" caption="Balairung, lampu kristal, ornamen pada dinding dan plafond, terlihat jelas dominasi Timur Tengah dan Spanyol, warna yang mendominasi kuning (dok. Pribadi)"]
Pada Balairung, juga terdapat peninggalan raja-raja Deli dengan nilai sejarah yang sangat berharga, seperti senjata, keris, foto-foto raja dan keluarga.
Arsitektur bangunan Istana Maimun merupakan perpaduan antara Timur Tengah, Spanyol, India, Belanda, dan Melayu yang membuat kita berdecak kagum. Pada pintu gerbang atau tangga masuk Istana, terdapat tulisan selatan datang dan doa keselamatan bagi yang datang dan yang tinggal di Istana, dalam bahasa Arab pada sisi kanan dan bahasa Belanda pada sisi kiri.
Untuk memasuki Istana, pengunjung dikenakan biaya yang relatif murah, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah). Untuk mereka yang datang dari luar kota, di mana pun posisi bermalam, asal masih dalam Kota Medan, jarak ke Istana relatif dekat. Jika menggunakan becak khas Medan, yang disebut bentor, ongkos termahal yang dikenai tidak akan lebih dari Rp 25.000,-.
[caption id="attachment_410706" align="aligncenter" width="600" caption="Penulis, dengan latar belakang Singgasana. Sekali warna kuning, mendominasi Singgasana (dok.Pribadi)"]
Lelah dengan pemandangan yang menyita perhatian dan menghabiskan waktu yang tak sebentar. Saya pun keluar Istana. Ternyata, masih ada satu hal yang tertinggal, yakni mengunjungi rumah Meriam Puntung. Terletak pada halaman Istana, pada sisi sebelah kiri, agak ke depan. Terletak pada sebuah bangunan kecil dengan arsitek daerah Batak Melayu.
Mariam Puntung, menurut hikayatnya, adalah adik kandung dari Putri Hijau, putri dari Kerajaan Melayu Deli. Ketika itu, konon ceritanya, lamaran Iskandar Muda, Raja Aceh, pada Putri Hijau ditolak, maka terjadilah pertempuran antara kedua kerajaan besar itu. Untuk membela sang kakak, sang adik merelakan dirinya, mengubah wujud menjadi sebuah meriam. Ketika Meriam yang merupakan perwujudan dari adik Putri Hijau sedang asyiknya memuntahkan peluru sehingga seakan-akan batang tubuhnya memerah terbakar, pasukan Iskandar Muda menyiramkan air pada Meriam yang sedang merah membara itu. Akibatnya, tubuh Meriam terputus (bahasa setempat puntung).
[caption id="attachment_410707" align="aligncenter" width="600" caption="Kursi Tahta kerajaan (dok.Pribadi) "]
Mendengar hikayat di atas dari sang pemandu, saya teringat pada film yang dibintangi aktor kawakan Dedy Mizwar dengan judul Nagabonar. Di mana lagu soundtrack-nya menyanyikan lagu Meriam Puntung.
Oooo~~~~ Meriam puntung
Dainang~~~~
Oooo~~~~ Meriam puntung
Sinapan masin
Sambil meninggalkan Istana Maimun, lamat-lamat saya bersenandung kecil, mengulangi lagu lagu soundtrack film Nagabonar yang berjudul Meriam Puntung….
Oooo~~~~ Meriam puntung
Dainang~~~~
Oooo~~~~ Meriam puntung
Sinapan masin
[caption id="attachment_410709" align="alignnone" width="668" caption="sudut lain dari Balairung dengan foto sang Raja (dok.Pribadi)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H