Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerita Guru, Saya dan Lingkungan kini

25 November 2013   19:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:41 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 25 November 2013 ini, kita memperingati hari guru. Idealnya, kita seluruhnya memberi apresiasi pada guru, karena merekalah, kini, kita dapat menjadi apa-apa dan siapa-siapa. Tanpa mereka, kita bukanlah apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Lebih baik lagi, jika kita seluruhnya, mampu memberi sumbangsih pada mereka, apakah berupa buah pikiran untuk lebih baiknya pendidikan, atau memberikan perhatian untuk berubahnya sarana pendidikan, dari yang yang kurang memadai menjadi memadai atau bisa juga sebuah solusi dari ketertinggalan kesejahteraan beberapa guru yang berdomisili pada daerah terpencil.

Saya sendiri bingung, pada hari ini, apa yang dapat saya berikan pada mereka? Mereka yang dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda Jasa itu. karena, tidak tahu, apa yang mesti saya lakukan, maka saya putuskan untuk sedikit bercerita tentang diri saya sendiri yang berkaitan dengan guru, sebuah persinggungan yang pernah saya alami pada suatu waktu, dalam perjalanan hiidup saya.

Awal tahun delapan puluhan saya, saya ketika itu, masih muda, ketika itu di Ibu kota negara kita, guru eksakta masih kurang, sehingga berbekal dengan status Mahasiswa Tekhnik, saya dapat menjadi guru untuk beberapa SLTP dan SLTA di beberapa sekolah swasta. Tentu bidang study yang saya ajarkan adalah bidang study eksakta. Uang yang saya peroleh sangat minim, tetapi jiwa muda saya terpuaskan, karena ada rasa dibutuhkan oleh masyarakat, ada lahan untuk menerapkan sedikit ilmu yang saya miliki untuk masyarakat banyak.

Pertengahan era delapan puluhan, saya ketika itu, sedang mengerjakan sebuah gedung Bank Swasta Nasional di Medan, pada suatu kesempatan, saya berbicara panjang lebar dengan pimpinan Pondok Pesantren di daerah pedalam Sumatera Utara, jarak dari Medan memerlukan enam hingga tujuh perjalanan. Hasil perbincangan panjang kami, saya putuskan untuk keluar dari tempat kerja saya, sebuah kontraktor swasta Nasional yang besar untuk selanjutnya, mengabdi pada Pesantren itu. Bidang study yang saya ajarkan tetap eksakta. Pada tahun kedua, kami putuskan untuk membuka Jurusan Biologi pada Pesantren itu, segala macam kendala sudah menjadi menu sehari-hari, mulai dari alat peraga, kurangnya literature untuk pelajaran hingga merubah mainseat yang ada ketika itu, dari Pesantren yang hanya memiliki Jurusan IPS, dan Bahasa menjadi jurusan baru Biologi.

Berbekal pengalaman ketika di Ibu kota, perlahan-lahan semua kendala mulai dapat teratasi, hingga Pesantren kami, menjadi salah satu sekolah yang diperhitungkan dalam setiap lomba ilmu-ilmu eksakta di kabupaten kami, dan nama itu, kelak dikenal hingga ke Medan, sebagai Ibu kota Provinsi Sumatera Utara.

[caption id="attachment_304304" align="alignnone" width="663" caption="Salah satu Kondisi sekolah di Lebak, Banten yang saya jumpai (dok.Pribadi) "][/caption] Waktupun berjalan, tahun 2009, saya tersesat di daerah pedalaman Banten, karena urusan mencari nafkah, kejadian serupa yang saya alami, kembali terjadi lagi disini, bahkan kondisinya lebih parah, mengingat, domisili saya hanya sepelemparan batu saja dari Jakarta, Ibu kota Negara. Kondisi sekolah yang saya temu sungguh memprihatinkan, saya menyebutnya sekolah berpintu lebar, karena siswa dapat keluar masuk local kelas, melalui dinding sekolah yang bolong-bolong dan itu terjadi di zaman reformasi ini, zaman yang katanya alokasi pendidikan 20% dari anggaran belanja Negara. Belum lagi jika ditanyakan, berapa honor guru yang mereka terima setiap bulannya, yang rata-rata 125 ribu hingga 150 ribu. Lalu dari bangunan sekolah yang memprihatinkan dan besarnya nominal honor guru yang mereka terima, apakah masih patut kita berharap banyak pada kualitas keilmuan anak didik yang mereka hasilkan?

Ternyata, dihari guru ini, masih banyak PR yang harus kita selesaikan, masih banyak hal-hal yang segera perlu penanganan, terutama pada daerah-daerah yang luput dari perhatian kita semua, termasuk Departemen terkait yang menjadi konsen pekerjaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun