Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemberdayaan, Berdaya dan Diperdaya

8 Juni 2013   19:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:20 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagai seorang praktisi, saya hanya ingin membahas soal pemberdayaan,sebatas yang ada kaitannya dengan implementasi, bukan yang teoritis an sich, sehingga sulit diambil korelasinya dengan yang terjadi dilapangan.

Sejak berakhirnya orde baru, yang sangat menonjol, adalah istilah pemberdayaan dalam setiap pembangunan, utamanya dalam skala kecil dan dilakukan di daerah urban/pinggiran. Goalnya, mengikut sertakan masyarakat dalam segala hal yang berhubungan dengan pembangunan yang dimaksud, dari mulai penyediaan material yang digunakan, masyakat yang mengerjakan, serta tekhnologi yang dipergunakan.

Artinya, pemberdayaan itu, menyediakan sumber daya alam berupa material yang akan digunakan, sumber daya manusia yang akan mengerjakan, serta tekhnologi yang tepat yang akan digunakan sebagai acuan dalam proses pengerjaan. Akibatnya yang diharapkan akan ada, perguliran dana yang beredar pada masyarakat, akibat transaksi jual-beli material, upah yang dibayarkan, adanya peningkatan kemampuan masyakarat dalam hal sumber daya manusia, akibat keikutsertaan mereka dalam pengerjaan proyek serta mengubah mindset dari penonton sebagai bagian yang memiliki dari proyekyang mereka kerjakan.

Untuk dapat serta dalam pemberdayaan maka masyarakat terlebih dahulu dibuat berdaya, itu artinya, ada sebuah perubahan radikal, yang menjungkir balikan kaedah yang umum berlaku di masyarakat. Para peserta dinilai bukan karena posisi dimasyarakat tetapi posisi dalam pemberdayaan, maka dilakukan pelatihan-pelatihan untuk menyamakan persepsi, menyamakan kemampuan, menghilangkan hambatan psykologis yang mungkin muncul, inilah mengapa disebut sebagai perubahan radikal.

Dari beberapa pekerjaan yang menggunakan program parsipasi masyarakat yang penulis pernah ikuti sejak tahun 1999, apakah di Departemen Kesehatan, Departemen Pendidikan Nasional, maka yang program PNPM-MPd merupakan program yang dapat dikatakan lebih unggul, masyarakat sejak awal selalu diikut sertakan, mulai dari menggagas apa yang mereka butuhkan bagi pembangunan di daerahnya, bagaimana membuat gagasan itu menjadi rencana pembangunan desa, bagaimana rencana pembangunan desa itu dibuat menjadi proposal, kemudian bagaimana proposal yang telah dibuat diverifikasi oleh masyarakat itu sendiri, termasuk kategori layak atau tidak layak. Ketika kesimpulannya layak, bagaimana membuat desain bangunannya, bagaimana menghitungnya, bagaimana menjadikan sebuah surat perjanjian pemberian bantuan dan layak dikerjakan. Lalu bagaimana pula, para team pelaksana kegiatan desa ini, menginventarisir penggunaan uang dan material, lalu membuatnya dalam sebuah pembukuan untuk dipertanggung jawabkan pada masyarakat dimana mereka berada.

Dalam rangkayan panjang, mengikut sertakan masyarakat itu, ada peran mereka yang disebut dengan fasilitator, mereka berasal dari sarjana yang memiliki kepedulian pada masyarakat tertinggal, mereka inilah yang melakukan pelatihan-pelatihan panjang sesuai dengan tahapan-tahapan yang sedang dihadapi masyarakat. Seperti sebelum melakukan penggalian gagasan, para fasilitator mempasilitasi masyakat bagaimana gagasan itu dapat muncul, lalu melatih mereka pula, bagaimana gagasan yang telah muncul itu disusun menjadi rencana pembangunan desa, lalu mereka juga yang melatih bagaimana rencana itu dituangkan menjadi proposal, begitu dan begitu terus, setiap langkah satu selesai, memasuki tahapan berikutnya, selalu diadakan pelatihan. Sehingga jika saja terlihat masyarakat mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan “kecil”, semuanya tidak lepas dari pendampingan fasilitator yang menyertai mereka.

Dengan fasilitasi yang dilakukan fasilitator, jika nampak seakan masyarakat sudah berdaya dalam menyusun dan melaksanakan pembangunan di desa, di kecamatan, didaerahnya. Semua itu tidak lepas dari jasa “silent” fasilitator. Namun, siapakah yang tahu, jika sang “silent” fasilitator itu kini sedang gundah, sudah tiga bulan ini gaji mereka belum juga dibayarkan.Apakah ini tidak bertentangan dengan Pasal 10 ayat(1) PP No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah (“PP 8/1981”), upah harus dibayarkan langsung kepada buruh pada waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian (Pasal 95 ayat [3] UUK) yang kita temui dalam Pasal 19 PP 8/1981. Ataukah terlalu singkat untuk menyimpulkan ketika masyarakat sudah berdaya, maka kini giliran fasilitator diperdaya …….. Wallahu’Alaam bish-shawab.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun