Semua kita memiliki rasa takut, bisa bermacam-macam rasa takut, ada yang takut miskin, ada yang takut pada atasan, ada yang takut kalau tidak memiliki pekerjaan, takut pada hantu, takut pada keramaian, takut digigit nyamuk, takut pada suami, takut pada isteri dan berbagai rasa takut lain.
Ada cerita lucu tentang rasa takut, dalam rangka promosi jabatan pimpinan cabang, seorang direktur menseleksi 10 orang yang dinominasikan, sang direktur menyuruh mereka berbaris dalam dua barisan, barisan pertama yang takut istri dan barisan kedua yang tidak takut istri, ternyata barisan yang tidak takut istri hanya diisi satu orang, ketika sang direktur bertanya apa yang menyebabkannya tidak takut istri, maka jawab sang nominator tadi, tidak tau, dia hanya disuruh istrinya berdiri disitu dan tidak boleh pergi kemana-mana.
Lalu apakah rasa takut itu tidak perlu? Tentu saja perlu, tanpa rasa takut, maka tidak akan ada pabrik obat nyamuk, tidak ada pabrik helm, tidak ada polisi, tidak ada hakim, tidak ada jaksa dll. Semuanya diadakan karena untuk mereka yang memiliki rasa takut. Pabrik obat nyamuk dibuat untuk mereka yang takut digigit nyamuk, polisi untuk para pelanggar aturan yang masih punya rasa takut pada polisi, hakim untuk mereka yang takut pada hukuman, demikian seterusnya.Jadi rasa takut itu, memang perlu dan manusiawi. Sesuai dengan fitrah manusia. Yang jadi masalah jika, rasa takut sudah tidak proporsional lagi, sudah menanggalkan akal sehat, sehingga menjadikan kita tidak berprilaku normal lagi, melakukan hal-hal yang tidak lazim hanya dikarenakan karena rasa takut yang berlebihan. Akhir dari ketakutan yang berlebihan itu disebut phobia. Aksi internalnya merugikan si pelaku phobia sendiri, sedangkan reaksi eksternal, dapat merugikan banyak orang lain.
Sejarah mencatat, kekejaman yang dilakukan Hittler adalah reaksi eksternal dari phobia terhadap yahudi, kekejaman yang dilakukan Fir’aun tidak lebih dari reaksi eksternal dari phobia akan lengsernya kekuasaan, kerakusan akan dominasi ekonomi oleh Amerika dan beberapa Negara lain, prinsipnya karena phobia yang dilahirkan dari teori Malthus, meskipun ternyata teori itu ternyata gagal untuk sebuah Negara yang berbasis hight tekh dan banyak lagi contoh-contoh lain.
Managemen takut.
Untuk menghilangkan ketakutan-ketakutan kecil diatas, idealnya memang kita harus membuat sebuah model ketakutan yang besar, sehingga dengan demikian, ketakutan-ketakutan yang kecil bisa diminimalisir atau dihilangkan, atau paling tidak bisa diuraikan secara akal sehat. Model ketakutan besar yang benar adalah ketakutan pada Allah, karna zat ini adalah yang paling besar, maka takut pada zat yang paling besar, akan menghilangkan ketakutan pada zat lain yang lebih kecil. Hal ini sesuai dengan ayat “mereka takut kepada-Nya dan mereka tidak merasa takut kepada seseorangpun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan (QS. 33:39). Suasana takut pada Allah (al khauf minallah) dalam artian luas, melahirkan prilaku yang semuanya bernilai ibadah. Akibatnya, manusia akan melakukan hal-hal yang diperintahkan dan menjauhkan segala yang dilarang, melakukan yang diperintahkan menghilangkan rasa takut yang bersifat pshykis dan menjauhi yang dilarang akan sama dan sebangun dengan menghindari perilaku yang menyimpang dari hokum positif yang dibuat manusia,semisal ketika manusia tidak mencuri karena takut pada Allah, akan terus tidak mencuri meskipun tidak ada Polisi,tidak membunuh karena takut pada Allah, tetap tidak akan membunuh, meskipun hakim menjanjikan tidak akan dijatuhi hukuman, inilah kira-kira tafsir dari ayat : “..Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku” (QS. Al Ma’idah: 44)…………… Wallahu A’laam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H