Pada hari minggu kemarin (18/11/2012) saya mendapat sms dari adik kandung saya, yang juga sebagai ketua Cabang Muhammadiyah disebuah kabupaten di luar Jawa, isinya mengundang untuk ikut merayakan Milad Muhammadiyah yang ke seratus di Stadion Utama Gelora Bung Karno, karena sesuatu hal saya tidak dapat memenuhi undangan tersebut, sebagai rasa turut sukacita atas Milad itu, saya ingin merefleksi gerakan Muhammadiyah itu dalam kontek hubungannya dengan NU pada masyarakat akar rumput.
Sebelum tahun 1980, saya masih tinggal di daerah, ketika itu banyak sekali perbedaan antara NU-Muhammadiyah yang tidak enak untuk di dengar, bahkan kadang menimbulkan perdebatan yang menjurus pada mendiskreditkan satu dengan lain. Ketika tahun 80an saya di Jakarta, saya sering menghadiri pengajian hari minggu di PP Muhammadiyah, jalan Menteng Raya 62, suasana berbeda saya rasakan, para buya ketika itu, sebut saja, Buya Malik Ahmad, Buya Hamka, Natsir dll tidak pernah mendiskreditkan NU, topic bahasan mereka umumnya tentang Tauhid, dengan kajian yang sangat detail, kalaupun ada koreksi ketika itu, hanya pada pemerintahan Orba yang sedang menekan umat Islam. Pada waktu yang sama, saya juga sering mengikuti pengajian di Salemba di kantor Pusat PBNU, disana juga tidak pernah mendiskreditkan Muhammadiyah, topic ketika itu yang dibahas tentang gerakan budaya dalam kaitannya dengan Islam.
Mendekati akhir decade 80an saya pindah ke Medan, disini kembali ada pembahasan perbedaan antara NU-Muhammadiyah dalam beberapa hal, berbeda dengan sebelum periode Jakarta, perbedaan antara NU-Muhammadiyah ini, dibahas berdasarkan semangat keilmuan dan sangat kritis, semua dalam kaitan dengan sejarah, hadist dan budaya. Beberapa hal yang dibahas itu dapat saya berikan contoh sebagai berikut:
Perihal tahlil
Ada kebiasaan dalam kalangan NU bahwa setelah ada kerabat yang meninggal, maka diadakan tahlil dimalam harinya, sedangkan bagi kalangan Muhammadiyah istilahnya Takziyah, mana yang benar diantara dua kegiatan ini? Setelah diadakan diskusi dan penelaahan panjang, ternyata kedua cara diatas, baik yang dilakukan kalangan NU maupun kalangan Muhammadiyah tidak sepenuhnya benar, karena hadist yang soheh menyatakan ketika ada kalangan muslim yang wafat, rasul selama dua minggu setelah kejadian itu, ketika bertemu dengan krabat Almarhum selalu memberikan dukungan moril, seperti memberi nasehat, ucapan bela sungkawa dll, dan hal ini sungguh sulit untuk dilakukan, maka bentuk modifikasi dari hal tersebut, NU melakukan tahlilan dam Muhammadiyah melakukan takziyah.
Takbir ketika mayat akan dikubur
Ada klaim di kalangan Muhammadiyah, ketika mayat akan dimasukan ke liang lahat dikumandangkan Adzan, adalah sebuah perbuatan yang salah, dan melakukan perbuatan demikian termasuk bid’ah dan mengerjakan bid’ah balasannya adalah api neraka. Sementara dikalangan NU perbuatan tersebut dianggap sunah, sehingga perlu dilestarikan perbuatan demikian.
Setelah dilakukan Setelah diadakan diskusi dan penelaahan panjang, ternyata perilaku demikian adalah hubungannya dengan budaya, bukan ibadah, ketika terjadi hal-hal besar, maka dikumandangkanlah adzan sebagai pemberi-tahuan pada khalayak ramai, seperti ada kebakaran, banjir atau kematian, kenapa adzan? Karena kalau membunyikan lonceng, dianggap menyerupai prilaku umat agama lain, sedangkan membunyikan bedug, di Arab tidak ada bedug, jadi ketika mayit akan dimasukkan ke liang lahat, maka dikumandangkan adzan, itu sifatnya pemberitahuan, bagi mereka yang masih ngobrol, agar segera menghentikan obrolan, yang sedang duduk diminta berdiri, karena ada mayat yang akan dimasukkan ke liang lahat.
Muhammadiyah yang tidak mau melakukan ya tidak masalah, karena menganggap mungkin sudah ada sirene sebagai pengganti adzan, atau NU yang tetap adzan ya tidak apa-apa, karena sirene mungkin ketinggalan di rumah.
Demikian hanya beberapa contoh dari pembahasan-pembahasan di akar rumput, tentang beberapa perbedaan antara NU-Muhammadiyah. Jika saja kita mau menyimak dan menjelaskan “beda” diatas, maka akan lebih mempererat ukhuwah Islamiyan antara NU-Muhammadiyah, khususnya dikalangan akar rumput, maka benarlah hadist yang mengatakan perbedaan diantara umat, adalah rahmat. Bukankah rumah tangga yang ideal itu karna ada beda jenis kelamin antara suami dan istri, Negara yang kokoh dibangun karena ada beda fungsi antara rakyat dan pemimpin…………. Bravo Muhammadiyah!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H