Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Peristiwa Yang Berulang-ulang

15 Februari 2014   19:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13924438581400262445

[caption id="attachment_322730" align="alignleft" width="300" caption="ombak yang berulang mencumbu pantai Sawarna (dok.pribadi)"][/caption]

Naluri Manusia, apapun namanya. Ada yang menyebut instink, ada yang menyebut fitrah dan masih banyak nama-nama lain. Umumnya, ingin mengulangi kembali hal-hal yang pernah dialaminya.

Ingat saja peristiwa reuni, reuni dimaksudkan ingin mengulangi peristiwa lama yang pernah terjadi sesama teman, apakah itu ketika masih sekolah, ketika kuliah atau ketika dalam dunia kerja atau dalam event-event tertentu yang meninggalkan kesan mendalam. Ada lagi peristiwa mudik, bisa saja mudik karena lebaran atau mudik karena Natal, latar belakangnya sama, sama-sama ingin mengulangi suasana hangat ketika dulu berkumpul bersama keluarga, bersama ayah bunda dan sanak keluarga.

Seorang Sigmund Freud bahkan menjelaskan, bahwa ketertarikan seorang pria pada payudara wanita, bukan hanya karena pengaruh syahwat semata. Tetapi ada unsur kerinduan pada diri pria, pada nalurinya untuk kembali mengulangi keindahan masa kecil, bagaimana ada rasa damai ketika menyusu pada sang bunda, rasa damai ketika mendekap dada yang mengalirkan air kehidupan pada dirinya pada awal-awal kehidupannya. Rasa yang melenakan, yang tak mungkin kembali diulangi pada bunda tercinta, kini dialihkan pada sang istri tercinta.

Itu sebabnya, mengapa Sang Pembuat naluri itu, selalu membuat aturan yang untuk , mendekatiNya dibutuhkan waktu berulang-ulang, liat saja misalnya, waktu yang berulang-ulang untuk melakukan sholat Jum’at, setiap hari Jum’at secara berulang-ulang. Demikian juga dengan misa Minggu yang dilakukan berulang-ulang setiap Minggu. Natal yang dilakukan setiap tanggal 25 Desember dan Lebaran yang dilakukan setiap tanggal 1 syawal.

Peristiwa yang dilakukan berulang-ulang itu, membuahkan kesan yang mendalam pada diri kita. Memori yang diisi dengan peristiwa yang sama dan pada waktu yang sama akan menjadikannya sebagai sebuah bandul otomatis. Sehingga ketika pada waktu yang sama, kita tidak melakukan hal yang sama, akan diperingatkan oleh memori kita. Mengapa Minggu ini tidak ke gereja atau mengapa Jum’at ini tidak ke Mesjid.

Peristiwa yang berulang itu pula yang pada perkembangan evolusinya menjadikan peristiwa budaya, menjadikan event besar dan untuk hal-hal tertentu menjadi bagian destinasi yang dapat dijual. Bagaimana peristiwa Mudik yang telah menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia, bagaimana Peristiwa tahun baru menjadi budaya bagi seluruh manusia di permukaan bumi dan beberapa ritual keagamaan menjadi tujuan destinasi bagi masyarakat diluar penganut agama yang melakukannya atau gabungan antara keduanya. Peristiwa peribadatan sekaligus menjadi destinasi luar biasa. Liat saja pada peristiwa haji dan peristiwa kunjungan ke Yerusalem.

Berulangnya mentari terbit di ufuk timur, berulangnya ibadah kita pada waktu-waktu tertentu, menjadikan ukuran waktu bagi manusia sekaligus menjadikan jiwa manusia tentram. Ketika mentari muncul, itu berarti pukul enam, ketika mentari tepat berada diatas kepala itu berarti pukul dua belas. Ada kepastian waktu disana, akibatnya ada ketentraman jiwa yang mengikutinya. Apa jadinya jika mentari muncul hari ini jam enam lalu besok muncul pukul Sembilan, tak ada kepastian. Lalu bagaimana kita akan melakukan janji pertemuan dengan klien kita jika waktu yang tidak pernah tepat. Tak ada kepastian, semuanya kacau, ketentraman bathin tak terpenuhi.

Ini pula mungkin sebabnya, mengapa seluruh agama di dunia, melarang umatnya untuk melakukan perbuatan dosa. Karena sebabnya bukan hanya pada peristiwa itu an sicht. Tetapi karena fitrah manusia cenderung untuk mengulangi kembali apa yang pernah dilakukannya. Apa jadinya, jika perbuatan dosa dilakukan-lakukan berulang-ulang, pada waktu yang sama, menjadikannya tradisi atau bahkan menjadikannya budaya. Itu pula mungkin sebabnya, syaratnya ketika kita tobat dari perbuatan dosa, berjanji tidak akan mengulangi kembali apa yang pernah kita lakukan.

Pilihannya sekarang, kembali pada manusia. Sesuai fitrahnya yang cenderung mengulangi perbuatan yang sama. Apakah akan mengulangi perbuatan-perbuatan yang baik sehingga lebih mendekatkannya pada Sang Pencipta, atau mengulangi perbuatan-perbuatan dosa yang menjadikannnya jauh pada Sang Pencipta.

Manusia diberikan kebebasan memilih, manusia diberikan fitrah untuk cenderung mengulangi apa yang pernag dilakukannya dan manusia dibekali dengan akal budi.

Tulisan lainnya: Surat Pada yang Memberi Ujian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun