Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ritual Ziarah di Stasiun Itu

4 April 2014   12:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:06 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja temaram mulai turun, rona merah sisa Mentari jatuh dilereng pegunungan nan hijau. Indah sungguh sebenarnya, tetapi bagiku, keindahan itu menyimpan banyak kenangan yang menyertainya. Aku masih duduk di Emplasment Stasiun ini, masih menatap ke arah sisi pegunungan itu. Tampak temaram sinar senja yang bertelingkah dengan hijaunya lereng pegunungan. Pegunungan yang menyimpan banyak cerita masa lalu.

Stasiun ini, sudah kembali dipugar, dikembalikan pada bentuk awalnya. Tak ada lagi kekusaman yang kutemui seperti ditahun-tahun sebelumnya. Memang, dulu stasiun ini, merupakan stasiun yang hidup. Kereta yang dari Bandung ke Surabaya atau arah Solo, akan berhenti di sini, lalu dari stasiun ini. Sebagian diantara mereka meneruskanperjalanan dengan Kereta Api lain ke kaki gunung itu. Tetapi, sejak Gunung itu meletus tiga puluhdua tahun lalu, jurusan ke kaki Gunung itu berhenti. Stasiun inipun tak disinggahi lagi. Lalu mulailah perlahan-lahan stasiun ini mulai kusam dan lapuk di sana-sini. Persisseperti rumah yang ditinggalkan penghuninya.

Sebentar lagi bulan Ramadhan akan tiba. Itu sebabnya mengapa aku duduk di Emplasment stasiun ini. Ada semacam ritual zaiarah yang kulakukan pada setiap akan memasuki bulan Ramadhan. Duduk di Emplasment, lalu memandang ke Gunung itu, seperti orang yang menikmati keindahannya. Padahal, sesungguhnya tidak demikian, di kaki Gunung itu, terkubur anak istriku dan seluruh keluarga besar mereka pada kejadian letusan yang terjadi tiga puluh dua tahun lalu. Lalu setelah dua hari aku duduk di Emplasement ini, akupun kembali ke kota. Meneruskan rutinitas kehidupan.

Kini, kembali aku duduk di sini, ini adalah hari pertama, nanti malam aku akan bermalam di penginapan yang berada di dekat stasiun ini, lalu lewat tengah harinya, aku akan kembali duduk di sini hingga waktu maghrib tiba, setelah sholat Maghrib,maka akupun akan meninggalkan stasiun ini, menuju kota. Kembali ke rumah, kembali pada rutinitas kehidupan.

Kulihat pengemis tanpa kaki itu masih duduk disana. Tinggal dia yang masih ada di stasiun, sedangkan yang lain sudah pulang, kereta yang akan singgah masih lama, sekitar jam sepuluh malam nanti. Memang empat tahun terakhir, setelah stasiun ini direhab, kembali ada KA yang singgah untuk menurunkan penumpangnya, apakah itu yang dari Bandung atau yang dari Surabaya. Jika saja anakku, ketika itu selamat, mungkin umurnya akan sama dengan pengemis itu. Tetapi sayang, mereka hilang semua, terbawa lahar yang tidak ramah itu, ketika Gunung itu meletus tiga puluh dua tahun lalu.

Aku berpindah tempat duduk, mendekati sang pengemis tanpa kaki itu, lalu dengan sebuah lambayan, pengemis tanpa kaki itu, mendekat. Kami duduk berdekatan, aku duduk di kursi, pengemis itu di lantai, dekat kakiku.

“Belum pulang?” Tanyaku memulai perbincangan

“Belum pak, tanggung… jam sepuluh nanti Kereta akan singgah”

“Namanya siapa jang?”

“Haris pak, tapi disini orang memanggil saya cepi”

“Apa itu Cepi?”

“Ceker Pincang”

“Oh… sorry”

“Gak apa apa pak”..

“Sudah lama kerja di sini” Aku gak tega untuk menyebutkan ‘mengemis’.

“Sudah empat tahun, sejak Stasiun ini berfungsi lagi”

“oooo….”

“Bapak jarangke sini ya?” Tanya pengemis itu

“Iya… hanya setahun sekali”

“Setiap mau masuk bulan puasa ya pak?”

“kok tahu…?”

“Iya… saya selalu perhatiin Bapak, setiap mau masuk puasa selalu datang ke sini, lalu duduk di kursi sana setelah lewat tengah hari… Memandang Gunung itu..”

“Wah…. Hebat kamu Ris, segitunya kamu perhatiin saya” Jawabku, tak menyangka dia memperhatikanku sampai sedetail gitu.

“Memang Gunung itu indah pak, banyak orang kota yang mengatakan itu sama saya”

“Heheheh… iya, tapi ini bukan soal keindahan Gunung itu”

“Lalu soal apa pak?”

“Kenangan yang terjadi di Gunung itu”

”Bapak pecinta alam ya? Suka naik Gunung?”

“Bukan…”

“Lalu…”

“Keluarga Bapak hilang ketika Gunung itu meletus”

“MasyaAllah… Jadi bapak berasal dari sana ya pak”

“Iya…”

“Dari Desa apa pak?”

“Sirna Galih..”

“MasyaAllah…. Saya juga berasal dari sana”

“Oooohhh… kamu masih punya keluarga Ris” Tanyaku antusias, aku seakan dapat tambahan energy. Ternyata ada orang kampungku yang masih tersisa hidup.

“Orang tua saya sudah meninggal pak, saya hanya hidup dengan Bibi, tetapi sekarang beliau sedang sakit-sakitan, sayalah mencari nafkah. Kami hanya berdua yang tersisa”

Tak terasa, ada rasa hangat di kelopak mata ini, tetapi air mataku sudah tak akan jatuh lagi, sudah habis tanpa sisa setelah tertumpah pada awal-awal kejadian dulu.

“Begini aja Ris, kamu pulang sekarang aja, kamu belikan makanan kesukaan bibimu, lalu belikan beliau obat, mumpung masih belum malam, besok pagi kita ketemu disini, lalu kita ke rumahmu, bertemu dengan Bibimu. Pulanglah..!” kataku, sambil kutempelkan dua lembaran uang kertas merah, ratusan ribu.

*******

Semalam aku susah tidur, setitik harapan masih tersisa. Sepulangnya aku dari Sumatera, begitu mendengar kabar letusan Gunung itu. Aku segera menghadap komandanku untuk minta ijin menjenguk keluargaku, karena lokasi kejadian tepat berada didekat desa istriku. Tetapi, semuanya terlambat. Butuh waktu dua hari untuk sampai lokasi bencana. Semuanya sudah tertimbun abu dan larva, tak satupun anggota keluarga yang tersisa. Hanya jasad istriku yang dapat dikenali, sedangkan yang lain, bak hilang di telan bumi. Sejak itu, aku masih berharap dapat bertemu dengan anakku, atau dengan siapa saja yang merupakan keluarga istriku, apakah adik ipar, kakak Ipar atau Mertua. Sembilantahun pertama, aku masih mengunjungi desa Sirna Galih setiap akan memasuki Bulan Ramadhan, seminggu lamanya aku disana, mencari informasi kesana- kemari. Tetapi hasilnya tetap nihil. Memasuki tahun ke sepuluh, hingga kini, aku hanya sampai di stasiun ini, memandangi Gunung itu, tepat dilerengnya dusun kami, Ziarah itu, kuanggap cukup dari sini saja. Tidak seminggu seperti dulu, tapi cukup hanya dua hari saja.

Aku melihat jam tanganku, baru jam 6.30, terlalu pagi memang, aku janjian dengan Haris jam setengah delapan pagi, ketemu di stasiun ini, untuk menjenguk bibinya. Detik-detik waktu berjalan lambat sekali, seakan jarum jam enggan untuk berpindah tempat. Ada sesuatu yang sulit ku gambarkan pada pertemuan dengan Haris semalam, mata Haris itu, seakan aku kenal, persis seperti mata Neng, almarhum istriku. Tetapi untuk meyakinkannya aku tak berani, aku ragu sendiri dengan usiaku dan perasaanku. Jangan-jangan itu, hanya perasaanku saja, atau mata tuaku yang salah melihat. Pertemuan dengan Bibi Harislah yang akan menjawab teka-teki itu, perasaanku mengatakan demikian.

Tiba-tiba haris muncul, aku segera menghampirinya.

“Bagaimana Ris?” Tanyaku tak sabar

“Maaf pak saya terlambat..”

“oh.. tidak Ris, baru jam 7.18. kamu belum terlambat, bapak aja yang datang kepagian”

“Semuanya karena Bibi pak?”

“Kenapa dengan Bibimu?”

“Setelah saya cerita tentang Bapak, beliau maksa untuk ikut ke stasiun ini..”

“Sekarang dimana beliau?”

“Di Luar pak, gak boleh masuk oleh Satpam, katanya kereta datang masih lama….”
Tanpa menunggu lagi, aku segera melangkah keluar, aku ingin segera tahu, siapakah sosok Bibi Haris ini, benarkah mata tuaku tidak salah ketika melihat tatapan Haris semalam.

MasyaAllah….sosok tua yang duduk di kursi itu aku kenal betul, dialah Iroh, adik iparku. Adiknya Neng, almarhum istriku. Kami berpelukan, tepatnya aku yang bersimpuh untuk memeluk Iroh yang duduk di kursi, dia tak mampu berdiri dengan kokoh lagi. Iroh menagis dengan sedu sadannya, karena terharu.

Mata tuaku ternyata tak salah lihat, Haris adalah anak yang selama ini kucari. Tetapi kenapa kakinya buntung? Bukankah dulu kedua kakinya utuh. Tetapi saat ini, aku tak membutuhkan semua jawaban itu, kenapa Iroh bisa selamat? Kenapa Haris berganti nama dari Sutisna menjadi Haris, Mengapa kaki yang utuh menjadi buntung?.Kami bertiga hanyut dalam keharuan pertemuan itu. Suatu keajaiban telah diperlihatkan oleh Yang Maha Kuasa. Jam tiga sore nanti supirku akan datang menjemputku, biarlah semua jawaban dari seluruh pertanyaan itu, akan terjawab dalam perjalanan pulang nanti sore, ketika Iroh dan Haris ikut bersamaku, aku tak ingin berpisah lagi dengan mereka. Mereka adalah hartaku yang paling berharga, Anugerah dari Tuhan yang tiada tara, yang tersisa dari masa laluku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun