Mohon tunggu...
Iskandar Zulkarnain
Iskandar Zulkarnain Mohon Tunggu... Administrasi - Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Penulis Buku ‘Jabal Rahmah Rendesvous Cinta nan Abadi’, 'Catatan kecil PNPM-MPd', 'Menapak Tilas Jejak Langkah Bung Karno di Ende', 'Sekedar Pengingat', 'Mandeh Aku Pulang' (Kumpulan Cerpen) dan 'Balada Cinta di Selat Adonara' (Kumpulan Cerpen). Ayah. Suami. Petualang. Coba berbagi pada sesama, pemilik blog http://www.iskandarzulkarnain.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hikmah dari Tepian Danau Sentani

14 April 2014   18:34 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:41 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kapal Umsini baru saja merapat, Pelabuhan Jayapura ini termasuk besar, penerangan disana-sini cukup memadai, malam menunjukkan pukul 23 WIT, udara malam itu cukup cerah, ada bintang bersinar terang yang dapat kulihat, dibalik sorotnya lampu penerangan di Pelabuhan. Perjalananku ke tanah Papua ini merupakan perjalanan melelahkan. Bayangkan saja, kamis pukul 13 Kapal meninggalkan Tanjung Priok, kini Kamis malam Jum’at pukul 23 aku baru meninginjakkan kaki di Jayapura. Delapan hari sepuluh jam, lamanya perjalanan. Bukan main!.

Aku masih belum beranjak meninggalkan Pelabuhan. Sesuai janji, aku akan dijemput. Aku masih melihat ke kiri-kanan, ketika sebuah tangan menepuk pundakku. Reflek aku menolehkan wajah. Sederetan putih gigi menyeringai di depanku, kurasa hanya gigi itu saja yang terlihat putih, Martin sahabatku, seorang putra daerah telah berdiri dihadapanku. aku menjabat erat tangannya.

“Bapa, kita tidak langsung ke Sentani, tapi singgah dulu di Dok Lima” Demikian kata Martin

“Ada apa Tin?”

“Seorang teman sedang terkena Malaria” Jawab Martin pula.

“Kok ke Dok Lima?”

“Oya Bapa, saya lupa kasitau, Dok Lima itu nama Daerah, disitu ada rumah sakit umum”

“Ooo… ayo kita kesana dulu, gak ada masalah”

Mobil kami langsung ke Dok Lima. Ternyata di Dok Lima, seorang teman satu team, terserang Malaria Tertiana. Kondisinya mengenaskan, Tono teriak-teriak tidak sadar. Menurut Martin, kondisi demikian sudah mengkhawatirkan. Kemungkinannya hanya dua. Kemungkinan pertama meninggal dunia, kemungkinan kedua, walaupun sembuh, kondisi syarafnya rusak. Ada sedikit kurang-kurangnya, istilah Medannya.

Baru saja menginjakkan kaki di Daerah Papua, aku sudah dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan. Malaria. Kondisi yang menakutkan. Sebuah sinyal bagiku, untuk membentengi diri, agar tak terjangkiti penyakit Malaria. Malam itu kami tidur di Dok Lima, tak tega meninggalkan Tono sendiri.

*****

Sudah tiga hari ini, aku di Sentani, dua hari lagi, akan hari raya Idul Adha. Jakarta mengabarkan bahwa pekerjaan agak tertunda, karena masih ada beberapa hal yang belum selesai disepakati. Untuk itu aku diminta standby dulu di Sentani, hingga ada perkembangan selanjutnya.

Sejak pagi tadi, Pak Athok, lelaki pensiunan asal Malang, tempat kami kost di Sentani ini,ngomel-ngomel terus, Sapi Bali miliknya, meninggalkan kandang, tak seorangpun tahu kemana perginya. Padahal Sapi Bali itu, sedang hamil besar, segera akan melahirkan, apa yang terjadi dengan Sapi itu? Jangan-jangan sudah dicuri orang, jangan-jangan sudah dipotong orang. Semua orang, kecuali kami yang kost, dimarahi oleh pak Athok.

Aku yang kebetulan di rumah saja, sudah jengah dengan ucapan-ucapan yang dikeluarkan pak Athok, kalimat-kalimat itu sudah mulai kasar di telingaku. Tapi, karena bukan ditujukan pada kami, kami hanya mengelus dada. Rasanya tak elok juga untuk ikut campur menengahi masalah internal pada keluarga pak Athok.

Diam-diam, kami bersepakat untuk membantu pak Athok, ikut mencari Sapi Bali miliknya. Aku akan pergi dengan Amos, sementara Yanto dengan Wanggai dan Yunus dengan Martin. Kami sepakati mencarinya sekitar landasan udara Sentani, pada sisi luar bandara itu tentunya, sisi yang masih ditumbuhi alang-alang khas Papua, alang-alang yang tingginya setinggi manusia dewasa, disitulah biasanya Sapi Bali itu akan bersembunyi, begitulah menurut Amos dan Martin. Sebagai putra daerah mereka yakin benar, jika Sapi Bali itu tak akan jauh dari sana. Lalu, aku dan Amos akan mencarinya pada sisi utara, sedangkan Yanto akan menyusuri dari Selatan, sedangkan Yunus dari sisi Barat.

*****

Sholat Maghrib telah ditunaikan, dari Mesjid yang tak jauh dari rumah pak Athok, tempat kami kost. Mulai terdengar suara Takbir, mengagungkan Asma Allah, besok hari Raya Idul Adha atau yang biasa juga disebut Hari Raya Kurban. Ada rasa haru yang merambat dihati ini, tetapi sebagai orang tekhnik, bukan sekali ini saja, aku mengalami lebaran jauh dari keluarga, termasuk lebaran kurban tahun ini. Besok Lebaran haji, aku akan rayakan di Tanah Papua ini, yang jaraknya delapan hari perjalanan kapal laut dari Jakarta.

Aku, Yanto dan Yunus, telah siap dengan masing-masing partner, telah siap-siap untuk memulai pencarian Sapi Bali yang hilang dari rumah pak Athok dua hari lalu. Senter, rokok, korek, sepatu Boot dan Jas hujan. Kamipun bergerak menuju Bandara Sentani yang berjarak sekitar dua kilo dari rumah pak Athok. Kami bergerak dengan jalan kaki saja, pertimbangannya, itu lebih praktis, kalau naik motor, akan merepotkan, dimana kami akan titipkan motor? Kalau diletakkan saja di pinggir jalan, bisa-bisa motor itu hilang.

Kami sudah berpisah, aku dan Amos menyusuri dari sisi Utara bandara Sentani, sementara Yanto dan Yunus menyusuri dari arah yang sudah kami sepakati sebelumnya.

“Bapa, jalan di depan saja” kata Amos

“Oke, tapi.. tolong kasi aba-aba, kemana arahnya, ke kiri atau kanan”

“Iya Bapa” kata Amos pula.

Jalan itu hanya, setapak, Amos memandu ke kiri-kanan, awalnya alang-alang hanya sebatas lutut, makin ke dalam makin tinggi, lalu sebatas pinggang, akhirnya setinggi kepala kami. Berbeda dengan di Jawa, alang-alang ini lebih besar dan tinggi, kalau saja ada yang memulainya untuk dijadikan atap rumah, atau ada yang mengajarkan penduduk setempat untuk dijadikan atap rumah, agaknya sangat bermanfaat. Atapnya bermanfaat untuk atap rumah, side efeknya, lingkungan ini akan bersih dengan sendirinya. Karena alang-alang itu akan diburu masyarakat, dengan begitu, jarak antara Danau Sentani dan Bandara Sentani akan terang, tanpa tumbuhan alang-alang besar ini, kesan seramnya akan hilang, pada gilirannya, mungkin akan ditanami palawija. Dengan demikian akan ada tambahan penghasilan bagi masyarakat.

Tiba-tiba…Brruuuggghhhhhhh!!!!!! Aku terperosok dalam lumpur..

Mula-mula hanya, sebatas lutut, lalu pelan-pelan turun, kini… sudah sampai pangkal pahaku..

“Pegang tangan saya Bapa…” Amos menjulurkan tangannya reflex.

“Jangan Mos, kalau saya pegangan tangan kao, kao akan jatuh juga”

“Terus bagaimana Bapa?”

“Kao potong alang-alang itu dengan golok yang ada di pinggang kao, lalu ikat pada beberapa bagiannya, jadikan dia seperti kayu atau bambu, githu” kataku

“Iya.. Bapa”

“Kao buatnya agak cepat ya..!”

“Iya.. Bapa”

“Ini lumpur hidup Mos, kita berpacu dengan waktu…” kataku pula

“Iya.. Bapa, Bapa jangan banyak gerak, makin Bapa bergerak makin masuk nanti”

“Siap….!!!”. aku kagum dengan diriku sendiri, tak ada kepanikan pada diri ini. Kini, posisiku dalam lumpur, sudah sampai pinggang, aku tak berani banyak gerak, makin ku bergerak, maka makin cepat diri ini masuk lebih dalam lagi. Waktu seakan bergerak lambat sekali. Amos yang memotong beberapa alang-alang, lalu menyatukannya dengan ikatan tali rapia, terasa lambat sekali. Sementara aku, hanya menonton dari dalam lumpur, tak ada yang bisa ku bantu, untuk bergerak saja aku tak berani. Bergerak, berarti mempercepat badan ini ditelan lumpur. Kini sudah sepinggang lewat, badanku ditelan lumpur. Sayup-sayup…. Suara takbir dari Masjid terdengar, menandakan besok akan hari raya Kurban. Akankah aku akan jadi kurban untuk Danau Sentani?

Lumpur sudah sampai diatas perut, sebentar lagi akan mencapai dada.

“Bapa…pegang ini!” suara Amos menyadarkanku

“yupz…” sekali raih, aku sudah memegang alang-alang yang dijulurkan Amos. Lalu Amos mulai menarik tubuhku, kulihat Amos kepayahan menariknya.

“Pelan-pelan saja Mos, jangan kao malah ikut jatuh, atau alang-alang ini putus”

“Iya.. Bapa”

Akhirnya…… aku keluar dari lumpur mematikan itu. Badanku penuh lumpur hitam, sebelah Boots tertinggal dalam lumpur. Kuputuskan untuk kembali ke jalan raya tempat awal kami masuk tadi. Perih kaki yang tidak disepatui Boots, ketika menginjak bongkolan alang-alang pada jalan setapak itu, tak kuperdulikan lagi. Ketika kami sampai di jalan aspal itu, langsung ku buang Boots yang sebelah lagi.

*****

Sore ini, aku sedang duduk diberanda rumah kost kami, Sapi Bali yang menghebohkan itu, subuh tadi telah pulang dengan membawa anak yang telah dilahirkannya. Aku tak sempat ikut Sholat Idhul Adha, badan ini terasa remuk, apakah karena masuk lumpur semalam atau karena lelah phsykis yang diakibatkan terjerumus dalam lumpur itu. Kulihat Martin, menuju arah tempat aku duduk, Martin baru saja pulang dari Bezoek, ke Jaya Pura, tepatnya ke Dok Lima, tempat Tono di opname.

“Bagaimana kondisi Bapa?” Tanya Martin

“Baik, Tin..”

“Bapa harus banyak istirahat. Kejadian semalam membuat Bapa capek”

“Makasih Tin, cape fisik sekaligus Pshykis. Menegangkan!” Jawabku pula

“Iya begitulah…, kita semua hanya jadi korban Bapa”

“Maksud Kao apa Tin?”

“Korban dari pak Athok dan orang-orang seperti pak Athok. Waktu Sapi Bali itu pergi dari rumah dan pak Athok marah-marah, saya sudah menemui beliau, saya sudah bicara sama beliau, saya sudah katakan, bahwa memang prilaku Sapi Bali, kalau mau beranak, akan pergi meninggalkan kandangnya, dia akan beranak di suatu tempat, dimana tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Ketika Sapi itu telah melahirkan, maka Sapi itu akan pulang dengan sendirinya. Ke tempat dimana dia hidup sebelumnya. Tetapi pak Athok tidak percaya. Kegagalan pak Athok memahami perilaku Sapi saja, akibatnya nyaris fatal, nyaris merenggut nyawa Bapa. Apalagi kegagalan memahami perilaku manusia lain, kegagalan memahami budaya lain, akibatnya sangat tidak terbayangkan Bapa. Dapat merenggut banyak nyawa manusia, merenggut kebanggaan daerah anak bangsa, merenggut kebanggan sebagai satu kesatuan kita, sebagai bagian dari bangsa besar ini. Dan konyolnya, itulah yang dialami oleh kami orang Papua. Kami, orang Papua, telah lama menjadi korban dari orang-orang model pak Athok itu. Mereka datang kemari tanpa bekal yang utuh, bekal pemahaman terhadap budaya dan perilaku kami. Akibatnya Bapa bisa lihat. Kami gagal dalam segala hal. Apakah kami bodoh? Apakah kami malas? Semuanya tidak Bapa. Merekalah yang bodoh, merekalah yang malas. Orang-orang model pak Athok itu, bodoh karena tidak tahu perilaku dan budaya kami, Orang-orang model pak Athok itu, malas karena tidak mau belajar untuk mengerti perilaku dan budaya kami”

“Iya.. Tin, saya maklum dan paham soal itu”. Jawabku singkat. Aku tak tahu harus menjawab apa, apa yang dikemukakan Martin itu, membuatku terperangah, aku tak menyangka, dari tampilan fisik yang demikian, lahir pemikiran yang sungguh-sungguh jernih dan brilliant. Bahkan, mungkin, tak pernah terpikirkan oleh mereka-mereka yang bergelar sarjana, termasuk pak Athok yang katanya orang pinter, dari Malang dikirim ke Papua ini, untuk memajukan Papua. Tetapi kenyataannnya, orang-orang demikian hanya menjadi parasit saja.

*****

Proyekku di Papua batal dikerjakan, Jakarta memutuskan proyek ini gagal, besok aku dan team akan kembali ke Jakarta, kami akan kembali menghabiskan waktu selama delapan hari diatas kapal, sebelum akhirnya tiba di Tanjung Priok. Tetapi bagiku, semuanya tidaklah sia-sia, peristiwa ditepian Danau Sentani memberikan pelajaran luar biasa bagiku. Bagaimana mereka telah menyelamatkan hidupku dan membekaliku, dengan bagaimana pentingnya mengetahui perilaku orang sekitar kita dan buadaya sekitar kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun